Tulisan berikut ini adalah catatanku beberapa tahun yang lalu. Iseng-iseng hari ini aku buka-buka file. Sepertinya masih cukup menarik untuk kita nikmati bersama.
Cinta dan rindu…
Biarlah kuawali tulisan ini dengan dua kata itu karena memang karena keduanya, apa yang aku lakukan hari ini dapat terjadi. Aku tak yakin jika bukan karena cinta dan rinduku padanya, Allah akan menolongku dengan memberikan kekuatan dan “kenekatan” yang aku sendiri tidak bisa memahaminya.
Ceritanya begini, hari ini aku berencana untuk pulang ke rumah, di Kudus. Sudah lama memang kurencanakan perjalanan ini. Kupilih hari Rabu ini karena memang kutepatkan dengan pelaksanaan peringatan maulid Nabi di Pekalongan, tempatnya Abah Habib Lutfi. Pengennya sich, dari Jogja mampir dulu ke Pekalongan, ikut acara maulid, lalu go home ke Kudus.
Tapi kenyataannya tak seindah dan semudah yang dibayangkan. (hehe). Tanpa ada teman, aku yang sebenarnya tidak tahu seberapa jauh dan seperti apakah perjalanan “mampir” ke Pekalongan itu, nekat berangkat sendirian. Dengan naik sepeda motor (untung sudah diservis), aku berangkat ke Pekalongan pukul 06.00 WIB. Berbekal penuturan temanku, kususuri rute yang ia ajarkan. Menurut perkiraannya, perjalanan dari Jogja ke Pekalongan hanya sekitar tiga jam. Agak bosan aku mengendara, tak jua sampai kota yang aku tuju itu. Padahal aku belum sempat sarapan tadi pagi, dan aku tak ingin berhenti untuk sekadar istirahat sebelum sampai di kota Pekalongan. Magelang, Secang, Temanggung, Weleri sudah terlewati. Meskipun butuh konsentrasi penuh untuk melewati kota-kota itu, terutama Temanggung-Weleri. Jalannya banyak berlubang, tikungan-tikungan tajam, pokoknya bahaya dech.
Setelah Weleri, aku terlupa dengan petuah temanku mengenai rute yang harus aku tempuh (lupa atau memang petuahnya tidak jelas, hehe). Jalur yang seharusnya aku ambil ke kiri (menuju arah Jakarta), malah aku mengambil arah ke kanan (menuju Semarang). Jadinya aku salah arah. Seandainya kayak di game-game balap, pasti enak. Baru salah arah sedikit saja, langsung ada peringatan. Tapi tidak denganku (wong aku memang bukan tokoh game). Aku nyasar dan salah arah sampai melewati kota Kendal, sudah hampir memasuki Semarang. Seolah baru menyadari kesalahan (kebodohan), lalu aku berhenti sejenak dan bertanya kepada seorang penjual nasi di tepi jalan. Katanya, aku mesti kembali lagi, masih sekitar empat jam perjalanan lagi. Bagai seorang pecinta yang harus kehilangan keksihnya, aku seperti patah hati. Bayangkan, masih empat jam lagi perjalanan, sama saja dengan aku melanjutkan arahku dan pulang ke Kudus (ingat, waktu itu aku belum sarapan, laper…sendirian lagi). Aku mulai bimbang, apakah aku harus memutar menuju Pekalongan ataukah meneruskan langkahku, pulang ke Kudus.
Aku coba menelpon salah satu teman yang ada di Kudus, kukira ia juga berangkat ke Pekalongan. Di ujung telpon sana, ia menjawab bahwa dia tidak berangkat. Agak kecewa memang, tapi darinya aku mendapat semangat. Aku yakinkan diriku untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Pekalongan.
Melewati Kendal kembali, Batang, setelah itu Pekalongan. Tidak susah sebenarnya mencari lokasi acara. Hanya saja, perjalanan ke sana memang belum pernah kutempuh, jadi terasa lebih lama.
Tiba di sana, suasana sudah ramai dengan para jamaah yang berlalu lalang di sekitar lokasi. Ada yang dari Cirebon, Tegal, Jepara, dan kota-kota lainnya, serta Kudus tentunya. Anehnya, dari sekian banyaknya jamaah, tapi tak ada yang aku kenal ataupun mengenal aku, padahal aku sudah sering merasa menjadi orang yang terkenal, hehe. Karena lupa tak membawa peci, aku berniat untuk membeli peci. Setelah pilih-pilih, akhirnya satu peci cocok sesuai pilihanku. Waktu membayar peci itulah aku melihat seorang kawanku semasa Aliyah dulu. Shomad namanya. Dan akhirnya, sepanjang acara maulid tersebut, aku bersama kawanku itu dan rombongannya.
Pertemuanku dengan Shomad layak ku syukuri, lantaran bersama dengan ia dan rombongannya aku dapat melihat dan bertemu kekasihku, Abah Habib Lutfi dari dekat. Waktu itu kami sedang mencari-cari tempat duduk, ternyata tempat yang kami tempati itu adalah jalan yang dipergunakan sebagai jalan bagi para kyai, habaib dan tamu-tamu undangan lainnya dari ndalem Abah Habib Lutfi menuju Gedung Acara “Kanzus Sholawat”.
Di tempat itu, lewat ketua panitia acara yang juga wakil gubernur Jawa Barat, H. Dede Yusuf, Menteri Penanganan Daerah tertinggal, dan para “orang-orang penting” lainnya. Namun yang paling menggembirakan dan menyenangkanku adalah tatkala pambacaan Maulid akan dimulai. Abah Habib Lutfi lewat tepat di hadapanku. Meskipun hanya sekilas dan hanya seberapa detik, tapi aku sudah sangat senang sekali. (Masya Allah, sejuk wajahnya memancarkan kesejukan bagi siapapun yang memandangnya. Tenang langkahnya memberikan ketenangan bagi semua murid-muridnya. Jernih hatinya ikut menerangi hati dan jiwa para pengikutnya) Keinginanku sudah tercapai. Terima kasih ya Allah, Engkau telah memberikan kesenangan pada pecinta ini. (Basyir muhibban Ya Sayyidi walaw bi rukyah). Rasanya tidak sia-sia perjalanan jauh dan melelahkan yang aku tempuh.
Selama pembacaan maulid Nabi, hujan mengguyur Pekalongan. Tempat yang kami duduki dengan pelan terkena air hujan. Semua jamaah khusyuk mengikuti pembacaan maulid sambil berdiri karena lantainya basah. Menurutku hujan yang “memaksa” kami berdiri ini adalah cara indah Allah untuk kami agar menghaturkan penghormatan (dengan cara berdiri) bagi Nabiyyallah yang turut hadir dalam acara tersebut. Khusyuk dan khudhu’ dalam lantunan shalawat Nabi.
Setelah pembacaan shalawat selesai, kamipun bersama-sama jamaah lainnya ngalap berkah dari nasi yang telah disiapkan oleh panitia sebagai bentuk ikramudh dhuyuf kepada para jamaah pecinta Nabi. Suasana jadi semakin ramai dengan lalu lalang para panitia yang membagikan nasi, dan para jamaah yang terkadang sedikit berebut nasi berkah tersebut (saking semangatnya). Namun tak ada ricuh di sana, karena hati mereka sama, sama-sama mencintai Sang Nabi.
Selepas makan, saatnya untuk pulang. Aku pun berpamitan kepada temanku Shomad, dan kami berpisah meskipun arah tujuan kami sama, Kudus. Berangkat dari Pekalongan pukul 16.00, aku mampir sejenak di sebuah Masjid di perbatasan Kota Pekalongan untuk menunaikan sholat ashar. Aku segera bergegas melanjutkan perjalanan seusai sholat. Aku tahu, perjalanan dan tantangan masih panjang dan tidak mudah.
Benar saja, perjalananku dari Pekalongan ke Kudus tidaklah mudah. Bagaimana tidak, belum sampai setengah jam berkendara, hujan turun dengan derasnya. Dengan segera kukenakan jaket dan celana khusus hujanku. Karena khawatir basah, sepatu aku taruh di bagasi motor. Kalau istilah waktu kecil dulu, ngodok (mungkin kata “ngodok” ini berasal dari kata ‘kodok’ yang berarti katak. Aku sendiri tidak paham, kenapa yang dipakai adalah istilah katak. Bukankah hewan lain yang tidak memakai sepatu atau alas kaki juga ada sekian banyaknya. Tapi itulah bahasa, arbitrer). Tak hanya itu, ternyata muncul masalah yang lain. Kaca helmku warnanya hitam, jadi lumayan gelap ketika ditutup, dan waktu itu agak berbahaya karena kondisi cukup gelap. Malangnya, memang kaca itu tidak bisa dibuka. Setiap kali dibuka, langsung melorot. Ah daripada repot, akhirnya aku melepas kaca itu.
Hujan yang sangat lebat dan deras ternyata belum rela membiarkanku pulang dengan mudah. Setelah melepas kaca helm, aku meneruskan perjalananku. Namun karena hujan dan kaca helm sudah kulepas, air hujan yang turun dengan deras itu bagai beribu amunisi yang diberondongkan ke wajahku. Untunglah hal itu tidak sampai menyiutkan nyaliku untuk pulang. Kuterobos hujan deras itu sambil meringis-meringis menahan gempuran air hujan di wajahku. Hujan baru mereda ketika hampir keluar kota Semarang. Dan setelah itu, perjalanan menjadi lancar.
Rasa letih sepanjang perjalanan baru terasa ketika aku sudah tiba di rumah. Tapi aku bahagia. Bahagia dengan orang-orang yang aku cintai, Abah Habib Lutfi dan juga kedua orang tuaku dan keluargaku. Aku puas. Aku puas, meskipun letih, capek; meskipun harus melakukan perjalanan seharian penuh, sendirian, dengan perut yang keroncongan. Tapi demi mereka orang-orang yang kucintai dan kurindukan, semua akan kulakukan.
Kudus, Rabiul Awal 1431 H
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
SubhanAllah... perjalanan yang mengagumkan...
ReplyDelete