I. PENDAHULUAN
Bagi setiap institusi, mutu menjadi agenda utama dan meningkatkan mutu menjadi tugas penting dalam institusi. Meski demikian, masih banyak kalangan yang meyakini bahwa mutu merupakan sebuah konsep abstrak dan tidak dapat diukur. Mutu dalam pandangan seseorang terkadang berbeda dengan mutu dalam pandangan orang lain. Maka, sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat antara dua pakar dalam hal cara menciptakan sebuah institusi yang baik.
Kesadaran akan pentingnya peningkatan mutu dalam sebuah institusi muncul sesuai naluri manusia yang menginginkan terpenuhinya kepuasan atas barang atau jasa yang diterima. Setiap manusia yang memperoleh layanan jasa atau barang dari sebuah institusi pasti menginginkan kualitas jasa atau barang yang baik. Keinginan dan harapan itulah yang menjadi pemicu lahirnya gerakan mutu.
Dalam dunia industri selalu ada keharusan untuk merasa yakin bahwa produk sudah sesuai dengan spesifikasinya agar mampu memberikan kepuasan pada pelanggan dan mendatangkan keuntungan. Menjaga mutu sebuah produk akan menyebabkan pelanggan semakin percaya terhadap produk tersebut dan produsennya. Seiring perkembangan industrialisasi, muncul sebuah divisi tenaga kerja yang bertugas mengontrol mutu dalam industri. Divisi tersebut sering dikenal dengan nama quality control (kontrol mutu). Tapi bagaimanapun, divisi ini bertugas pada bagian pasca-produksi, sehingga beberapa perusahaan mengganti atau menambahkan dengan metode jaminan mutu atau perbaikan mutu dengan cara mengembalikan tanggung jawab mutu kepada para tenaga pembuatnya.
Gagasan perbaikan mutu dan jaminan mutu muncul setelah Perang Dunia II. Namun perusahaan-perusahaan di Inggris dan Amerika baru tertarik pada isu mutu pada sekitar tahun 1980-an, meskipun sejak tahun 1930-an sudah muncul wacana tentang jaminan mutu.[1]Ketertarikan yang terlambat itu berawal dari kesuksesan Jepang merebut pasar dunia, sehingga Barat mulai mempertanyakan keunggulan mereka.
Gagasan dan ide-ide tentang perbaikan mutu semakin berkembang sehingga muncul suatu gagasan tentang manajemen mutu terpadu yang lebih dikenal dengan Total Quality Management atau TQM. Evolusi gerakan TQM dimulai dari masa studi waktu dan gerak oleh bapak manajemen ilmiah Frederick Taylor pada tahun 1920, dengan mengangkat aspek yang paling fundamental dari manajemen ilmiah, yaitu adanya pemisahan antara perencanaan dan pelaksanaan.
TQM semula berasal dari Amerika Serikat, kemudian lebih banyak dikembangkan di jepang dan kemudian berkembang ke Amerika Utara dan Eropa. Jadi TQM mengintegrasikan keterampilan teknikal dan analisis dari Amerika, keahlian implementasi dan pengorganisasian Jepang, serta tradisi keahlian dan integritas dari Eropa dan Asia. Makalah berikut ini akan membahas tentang konsep dan prinsip dalam TQM.
II. PEMBAHASAN
A. Ide Dasar TQM
Sebagaimana telah disinggung dalam bab pendahuluan di atas, konsep TQM berawal dari kesadaran akan mutu produk dan jasa. Kemudian berkembang dengan munculnya kualitas kontrol (quality control), lalu berkembang menjadi jaminan kualitas (quality assurance), sehingga akhirnya muncul konsep TQM (total quality management).
Beberapa tokoh ahli yang pendapatnya menjadi ilham kemunculan TQM antara lain Edward Deming, Joseph M. Juran, Armand V. Feigenbaum, dan Philip B. Crosby. Tokoh-tokoh ini oleh Bill Creech disebut sebagai Empat Pengarang Besar.[2]Meskipun terdapat perbedaan dalam pemikiran-pemikiran mereka, namun tak dapat dipungkiri bahwa kontribusi mereka terhadap manajemen mutu sangat besar.
Konsep total quality control pertama kali diperkenalkan oleh Feigenbaum pada tahun 1960 yang kemudian dikembangkan menjadi total quality control organizationwide di tahun 1970 dan menjadi konsep total quality system pada tahun 1983. Pengendalian kualitas berkembang menjadi penjaminan kualitas yang berfokus kepada proses dan kualitas produk melalui pelaksanaan audit operasi, pelatihan analisis, kinerja teknis, dan petunjuk operasi untuk peningkatan kualitas. Aspek kualitas mulai dievaluasi melalui penerapan fungsi-fungsi manajemen kualitas.
Karya terpenting W. Edwards Deming, Out of the Crisis, dipublikasikan pada tahun 1982. Deming melihat bahwa masalah mutu terletak pada masalah manjemen. Pendekatan mencegah lebih baik daripada mengobati merupakan kontribusi unik Deming dalam memahami bagaimana cara menjamin pengembangan mutu. “14 poin Deming” merupakan kombinasi filsafat baru tentang mutu dan seruan terhadap manajemen untuk merubah pendekatannya. Sementara “tujuh penyakit mematikan” merupakan konsep Deming tentang kendala bagi perbaikan mutu.
Sementara Joseph Juran juga pelopor lain revolusi mutu Jepang. Dia juga lebih diperhatikan di Jepang dari pada di tempat kelahirannya, Amerika. Pada tahun 1981, kaisar Jepang memberikan anugerah bergengsi, Order of the Sacred Treasure. Juran terkenal karena keberhasilannya menciptakan "kesesuaian dengan tujuan dan manfaat". Ia dikenal sebagai "guru" manajemen pertama dalam menghadapi isu-isu manajemen mutu yang lebih luas. Dia yakin (sebagaimana juga Deming) bahwa kebanyakan masalah mutu dapat dikembalikan pada masalah keputusan manajemen. Saat mempertimbangkan peran kepemimpinan dalam mutu, aturan 85/15 dari Joseph Juran menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan. Menurut Juran, 85 persen masalah merupakan tanggung jawab manajemen, karena mereka memiliki 85 persen kontrol terhadap sistem organisasi.
Sedangkan Philip Crosby selalu diasosiasikan dengan dua ide yang sangat menarik dan sangat kuat dalam mutu. Pertama, ide bahwa mutu itu gratis. Menurutnya, terlalu banyak pemborosan dalam sistem saat mengupayakan peningkatan mutu. Kedua, ide bahwa kesalahan, kegagalan, pemborosan, dan penundaan waktu, serta semua hal yang "tidak bermutu" lainnya bisa dihilangkan jika institusi memiliki kemauan untuk itu. Ini adalah gagasan "tanpa cacat" (Zero Defects)-nya yang kontroversial. Program peningkatan mutu Crosby adalah salah satu dari bimbingan atau arahan yang paling detil dan praktis. Tidak sebagaimana Deming yang cenderung filosofis, Crosby adalah seorang penulis populer yang pendekatannya sangat praktis. Sementara itu, pendekatan TQM sendiri dipopulerkan oleh Peter dan Waterman pada tahun 1982.[3]
B. Konsep Dasar TQM
Dalam memahami konsep TQM, maka diperlukan pemahaman tentang konsep mutu. Mutu sering juga disebut dengan kualitas. Mutu memiliki pengertian yang bervariasi. Mutu adalah sebuah hal yang berhubungan dengan gairah dan harga diri. Mutu merupakan sebuah cara yang menentukan apakah produk sesuai dengan standar atau belum. Produk atau layanan yang memiliki mutu, dalam konsep relatif tidak harus mahal dan ekslusif.
Istilah mutu adalah suatu terminologi subjektif dan relatif yang dapat diartikan dengan berbagai cara dimana setiap definisi bisa didukung oleh argumentasi yang sama baiknya. Secara luas, mutu dapat diartikan sebagai karakteristik dari produk atau jasa yang memuaskan kebutuhan konsumen/pelanggan. Karakteristik mutu dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Pelanggan (disini adalah internal dan eksternal) bisa berupa mereka yang langsung menjadi penerima produk dan jasa tersebut atau mereka yang nantinya akan merasakan manfaat produk dan jasa tersebut.
Dalam era kompetitif, adanya standar mutu mutlak diperlukan. Iklim persaingan yang semakin kuat tersebut menuntut keharusan agar semua organisasi dalam hal ini adalah institusi pendidikan yang ada harus mampu membuat produk yang bermutu. Organisasi/institusi dituntut untuk memenuhi tuntutan tersebut, untuk itulah dibutuhkan kapasitas manajemen dengan karakteristik : 1) bergerak secara lebih efektif atas dasar visi dan misinya, 2) selalu berusaha memenuhi pelanggan, 3) kegiatannya bersifat proaktif, 4) mengejar daya saing, 5) anggotanya lebih tekun bekerja (industrious), 6) anggotanya harus lebih giat berusaha (entreprising), 7) pimpinannya mau mengerahkan seluruh karyawan dengan pemberdayaan (empowerment), pimpinannya mendorong karyawan untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan kecakapan supaya mutakhir dan relevan dengan tugas, 9) perencanaannya terpadu, pelaksanaan dan pengendalian terdesentralisasi.
Secara singkat mutu dapat diartikan : kesesuaian penggunaan atau kesesuaian tujuan atau kepuasan pelanggan atau pemenuhan terhadap persyaratan. Mutu dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang memuaskan dan melampaui keinginan dan kebutuhan pelanggan. Definisi ini disebut juga dengan istilah mutu sesuai persepsi pelanggan (quality in perception), disamping mutu juga dapat muncul dari produsen/internal organisasi/institusi (quality in fact). Jadi,Prinsip mutu yaitu memenuhi kepuasan pelanggan (customer satisfaction).[4]
Di Indonesia, TQM seringkali diartikan dengan Manajemen Mutu Terpadu (MMT). Pada kenyataannya program-program TQM tidak harus menggunakan nama TQM. Beberapa organisasi memasukkan filosofi TQM dengan menggunakan nama yang berbeda. Beberapa istilah yang sering muncul antara lain, Total Quality Control, Total Quality Service, Continous Improvement, Strategic Quality Management, Systematic Improvement, Quality First, Quality Initiatives, Service Quality, dan sebagainya. Penggunaan istilah yang berbeda itu bukan sebuah permasalahan, karena yang terpenting bukanlah nama, tetapi konsep dan filosofi yang terkandung didalamnya.
Sistem pengembangan secara terus menerus dan kepuasan pelanggan merupakan kalimat yang selalu ada dalam setiap definisi yang dikemukakan pakar terhadap TQM. Sistem pengembangan secara terus menerus menggambarkan bahwa TQM memiliki titik tekan pada proses dan bekerja dengan mendasarkan pada sistem. Total Quality Management (TQM) merangkum semua pengertian dari konsep tentang kualitas, oleh karena itu, TQM disebut sebagai pengelolaan kualitas secara menyeluruh. TQM menekankan pada personal, etika, budaya, dan juga sistem kualitas yang terarah untuk memastikan komitmen dari setiap anggota organisasi dalam usaha perbaikan yang berkesinambungan.[5]
Edward Sallis, sebagaimana dikutip Agus, memberikan pengertian TQM sebagai berikut : “Total Quality Management is a philosophy and a methodology wich assist institutions to manage change and set their own agendas for dealing with the pleasure of new external pressures.”[6] Pendapat ini menekankan bahwa TQM merupakan suatu filsafat dan metodologi yang membantu berbagai institusi, terutama industri dalam mengelola perubahan dan menyusun agenda masing-masing untuk menanggapi tekanan-tekanan faktor eksternal
Soewarso Hardjosoedarmo memberikan pengertian yang cukup menyeluruh. TQM diartikan sebagai penerapan metode kuantitatif dan pengetahuan kemanusiaan untuk: 1) memperbaiki material dan jasa yang menjadi masukan organisasi, 2) memperbaiki semua proses penting dalam organisasi, dan 3) memperbaiki upaya memenuhi kebutuhan para pemakai produk dan jasa pada masa kini dan waktu yang akan datang.[7]Sementara itu, Veithzal Rivai menjelaskan bahwa TQM adalah satu himpunan prinsip-prinsip, alat-alat dan prosedur-prosedur yang memberikan tuntunan dalam praktik penyelenggaraan organisasi. TQM melibatkan seluruh anggota organisasi dalam mengendalikan dan secara kontinu meningkatkan bagaimana kerja harus dilakukan dalam upaya mencapai harapan pengguna atau pelanggan (customer) mengenai mutu produk atau jasa yang dihasilkan organisasi.[8]
Menurut West-Burnham sebagaimana dikutip Husaini, menjelaskan bahwa TQM adalah semua fungsi dari organisasi ke dalam falsafah holistis yang dibangun berdasarkan konsep mutu, kerja tim, produktivitas, dan prestasi serta kepuasan pelanggan.[9]Sallis menjelaskan bahwa TQM merupakan usaha menciptakan kultur mutu, yang mendorong semua anggota stafnya untuk memuaskan para pelanggan. TQM merupakan suatu keinginan untuk selalu mengerjakan segala sesuatu dengan ‘selalu baik sejak awal’. Sallis juga menjelaskan bahwa kata Totalmenegaskan bahwa setiap orang yang berada dalam organisasi harus terlibat dalam upaya melakukan peningkatan secara terus menerus. Kata Managementberlaku bagi setiap orang, sebab setiap orang dalam institusi, apapun status, posisi atau peranannya, adalah manajer bagi tanggung jawabnya masing-masing.[10]
TQM merupakan suatu pendekatan yang berorientasi pada peningkatan mutu produk yang dihasilkan oleh sebuah lembaga, organisasi untuk kepuasan pelanggan dan untuk mengatasi lingkungan yang terus berubah. sehingga harus ada perbaikan terus menerus yang dilakukan oleh lembaga. Perbaikan ini bertujuan untuk mengendalikan mutu yang sudah ada serta meningkatkan agar lebih baik lagi. Selain itu untuk menciptakan sebuah mutu atau kualitas, diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak, terutama dari pemimpin. TQM juga mensyaratkan adanya keterlibatan total dari semua bawahan, melalui pemberdayaan yang terkait dengan perbaikan kinerja mereka agar senantiasa selalu menghasilkan produk yang bermutu.
TQM biasanya digunakan untuk mendeskripsikan dua gagasan yang sedikit berbeda namun saling berkaitan. Pertama, TQM adalah sebuah filosofi perbaikan secara terus menerus. Kedua, TQM digunakan untuk mendeskripsikan alata-alat, tehnik-tehnik serta program-program peningkatan mutu. Dengan demikian, TQM merupakan sebuah pola pikir sekaligus aktivitas praktis. TQM bukanlah seperangkat peraturan dan ketentuan yang kaku dan harus diikuti, melainkan seperangkat prosedur dan proses untuk memperbaiki kinerja dan meningkatkan mutu kerja.
Dalam TQM, dikenal lima pilar yang sangat menentukan tegaknya organisasi kelembagaan dalam rangka menghasilkan produk yang berkualitas. Tokoh yang menemukan lima pilar dalam TQM ini adalah Bill Creech, dia mengatakan bahwa:
“Produk adalah titik pusat untuk tujuan dan pencapaian organisasi, Mutu dalam produk tidak mungkin ada tanpa mutu di dalam proses. Mutu di dalam proses tidak mungkin ada tanpa organisasi yang tepat. Organisasi yang tepat tidak ada artinya tanpa pemimpin yang memadai. Komitmen yang kuat, dari bawah ke atas merupakan pilar pendukung bagi semua yang lain. Setiap pilar tergantung pada keempat pilar yang lain, dan kalau salah satu lemah dengan sendirinya yang lain juga lemah.”
Lima pilar utama TQM disini adalah adanya produk yang dihasilkan, proses yang dilakukan, dalam menghasilkan produk dan, organisasi yang digerakkan oleh seorang pemimpin, serta adanya komitmen antara para pemimpin di dalam suatu organisasi. Kelima pilar TQM tersebut tergambar pada bagan berikut:
Total Quality Management (TQM) |
Goetsch dan Davis, seperti dikutip Husaini, mengungkapkan sepuluh unsur utama (karakteristik) TQM,[11]sebagai berikut:
1. Fokus pada pelanggan
Dalam TQM, baik pelanggan internal maupun pelanggan eksternal merupakan ”driver”. Pelanggan eksternal menentukan kualitas produk atau jasa yang disampaikan kepada mereka, sedangkan pelanggan internal berperan besar dalam menentukan kualitas manusia, proses, dan lingkungan yang berhubungan dengan produk atau jasa.
2. Obsesi terhadap kualitas
Dalam organisasi yang menerapkan TQM, penentu akhir kualitas pelanggan internal dan eksternal. Dengan kualitas yang ditetapkan tersebut, organisasi harus terobsesi untuk memenuhi atau melebihi apa yang ditentukan tersebut.
3. Pendekatan ilmiah
Pendekatan ilmiah sangat diperlukan dalam penerapan TQM, terutama untuk mendesain pekerjaan dan dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang didesain tersebut. Dengan demikian data diperlukan dan dipergunakan dalam menyusun patok duga (benchmark), memantau prestasi, dan melaksanakan perbaikan.
4. Komitmen jangka panjang
TQM merupakan paradigma baru dalam melaksanakan bisnis. Untuk itu dibutuhkan budaya perusahaan yang baru pula. Oleh karena itu komitmen jangka panjang sangat penting guna mengadakan perubahan budaya agar penerapan TQM dapat berjalan dengan sukses.
5. Kerja sama tim (Teamwork)
Dalam organisasi yang menerapkan TQM, kerja sama tim, kemitraan dan hubungan dijalin dan dibina baik antar karyawan perusahaan maupun dengan pemasok lembaga-lembaga pemerintah, dan masyarakat sekitarnya.
6. Perbaikan sistem secara berkesinambungan
Setiap poduk atau jasa dihasilkan dengan memanfaatkan proses-proses tertentu di dalam suatu sistem atau lingkungan. Oleh karena itu, sistem yang sudah ada perlu diperbaiki secara terus menerus agar kualitas yang dihasilkannya dapat meningkat.
7. Pendidikan dan pelatihan
Dalam organisasi yang menerapkan TQM, pendidikan dan pelatihan merupakan faktor yang fundamental. Setiap orang diharapkan dan didorong untuk terus belajar, yang tidak ada akhirnya dan tidak mengenal batas usia. Dengan belajar, setiap orang dalam perusahaan dapat meningkatkan keterampilan teknis dan keahlian profesionalnya.
8. Kebebasan yang terkendali
Dalam TQM, keterlibatan dan pemberdayaan karyawan dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah merupakan unsur yang sangat penting. Hal ini dikarenakan unsur tersebut dapat meningkatkan "rasa memiliki" dan tanggung jawab karyawan terhadap keputusan yang dibuat. Selain itu unsur ini juga dapat memperkaya wawasan dan pandangan dalam suatu keputusan yang diambil, karena pihak yang terlibat lebih banyak. Meskipun demikian, kebebasan yang timbul karena keterlibatan tersebut merupakan hasil dari pengendalian yang terencana dan terlaksana dengan baik.
9. Kesatuan tujuan
Agar TQM dapat diterapkan dengan baik, maka perusahaan harus memiliki kesatuan tujuan. Dengan demikian setiap usaha dapat diarahkan pada tujuan yang sama. Namun hal ini tidak berarti bahwa harus selalu ada persetujuan atau kesepakatan antara pihak manajemen dan karyawan mengenai upah dan kondisi kerja.
10. Adanya Keterlibatan dan Pemberdayaan Karyawan
Keterlibatan dan pemberdayaan karyawan merupakan hal yang penting dalam penerapan TQM. Pemberdayaan bukan sekedar melibatkan karyawan tetapi juga melibatkan mereka dengan memberikan pengaruh yang sungguh berarti.
C. Prinsip-prinsip dalam TQM
Bill Creech, seorang jenderal berbintang empat yang dianggap sukses menerapkan TQM di Angkatan Laut Amerika Serikat pada Perang Teluk menyebutkan empat kriteria yang harus terpenuhi agar program TQM dapat berjalan dengan sukses. Keempat kriteria itu adalah: 1) program harus didasarkan pada kesadaran akan mutu dan berorientasi pada mutu dalam semua kegiatannya, termasuk dalam setiap proses dan produk; 2) program harus memiliki sifat kemanusiaan yang kuat untuk membawa mutu pada cara karyawan diperlakukan, diikutsertakan dan diberi inspirasi; 3) program harus didasarkan atas pendekatan desentralisasi yang memberikan wewenang di semua tingkat, terutama di garis depan, sehingga antusias keterlibatan dan tujuan bersama menjadi kenyataan; dan 4) TQM harus diterapkan secara menyeluruh sehingga semua prinsip, kebijaksanaan, dan kebiasaan mencapai setiap sudut dan celah organisasi.[12]
Husaini mengutip pendapat Hensler dan Brunell yang mengatakan bahwa ada empat prinsip utama dalam TQM. Keempat prinsip tersebut adalah sebagai berikut:[13]
1. Kepuasan pelanggan
Dalam TQM, pemaknaan terhadap mutu menjadi lebih luas dibanding dengan sebelumnya. Mutu tidak hanya dimaknai sebagai kesesuaian produk dengan spesifikasi-spesifikasi tertentu saja, tetapi juga mampu memuaskan pelanggan. Kebutuhan pelanggan diusahakan untuk dipuaskan dalam segala aspek, seperti harga, keamanan, tepat waktu, dan sebagainya.
2. Respek terhadap setiap orang
Untuk menghasilkan mutu yang baik, setiap orang dalam organisasi harus dipandang sebagai sumber daya dan aset organisasi yang paling bernilai. Oleh karena itu setiap orang hendaknya diperlakukan dengan baik dan diberikan kesempatan untuk berprestasi, berkarya, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam organisasi. Dengan demikian setiap orang akan merasa diapresiasi dan dihargai sehingga dapat meningkatkan kinerjanya.
3. Manajemen berdasarkan fakta
Setiap pengambilan langkah dan keputusan organisasi selalu didasarkan atas fakta. Setidaknya ada dua konsep berkaitan dengan hal ini, yaitu prioritatisasi dan variabilitas kinerja manusia. Prioritatisasi adalah suatu konsep bahwa perbaikan tidak dapat dilaksanakan pada semua aspek pada saat yang bersamaan, oleh karena itu, berdasarkan data yang ada manajemen dapat menentukan fokus usahanya pada salah satu aspek tertentu saja. Variabilitas kinerja manusia dapat diperoleh melalui data statistik sebagai gambaran wajar dari setiap sistem organisasi.
4. Perbaikan terus-menerus
Perbaikan usaha harus dilaksanakan secara kontinyu dan berkesinambungan. Konsep perbaikan yang diterapkan adalah siklus PDCA (Plan, Do, Check, Action) yang merupakan semangat TQM dalam usaha pencapaian mutu terbaik. Deming adalah orang yang mempopulerkan penggunaannya dan memperluas penerapannya. Namun, Deming sendiri selalu merujuk metode ini sebagai siklus Shewhart, dari nama Walter A. Shewhart, yang sering dianggap sebagai bapak pengendalian kualitas statistis. Belakangan, Deming memodifikasi PDCA menjadi PDSA ("Plan, Do, Study, Act") untuk lebih menggambarkan rekomendasinya.Dengan nama apa pun itu disebut, PDCA adalah alat yang bermanfaat untuk melakukan perbaikan secara terus menerus tanpa berhenti.
Beberapa karakteristik TQM yang dapat disimpulkan dari berbagai penjelasan dia atas adalah sebagai berikut :
1. Selalu fokus pada pelanggan. Dalam konsep mutu terpadu pelanggan adalah raja. Pelanggan yang dimaksud adalah bukan hanya pihak luar yang merupakan pembeli jasa atau produk dari organisasi tetapi juga pelanggan internal, yaitu orang yang berinteraksi pada layanan satu dengan layanan yang lain dalam organisasi.
2. Perhatian pada kegiatan pengembangan secara berkelanjutan. TQM memiliki komitmen untuk tidak pernah puas dengan suatu kualitas. Kualitas yang diinginkan bukan hanya “baik” tetapi harus “sangat baik”.Organisasi memiliki filosofi bahwa kualitas selalu dapat dikembangkan.
3. Fokus pada proses. TQM memfokuskan pada proses kerja untuk menghasilkan barang dan jasa sehingga selalu harus dilakukan pengembangan secara berkelanjutan.
4. Pengembangan mutu pada keseluruhan organisasi. TQM menggunakan definisi mutu yang sangat luas. Tidak hanya berkaitan dengan produk dan layanan akhir, tetapi juga bagaimana organisasi melakukan proses pengiriman, banyaknya komplain, dan bagaimana menangani komplain dengan sopan.
5. Pengukuran yang akurat. TQM menggunakan teknik statistik untuk mengukur setiap variabel penting dalam kegiatan organisasi. Hal tersebut dilakukan melalui kegiatan-kegiatan membandingkan dengan standar yang berbeda atau melalui kegiatan benchmark untuk mengidentifikasi masalah, menulusuri akar masalah, dan menghilangkan penyebab dari masalah tersebut.
6. Pemberdayaan sumber daya manusia. TQM menempatkan manusia sebagai sesuatu yang harus dikembangkan dalam upaya untuk mengembangkan proses. Tim kerja merupakan hal yang harus dikembangkan dalam kaitan untuk menemukan dan menyelesaikan masalah dalam organisasi.
III. KESIMPULAN
Dari berbagai penjelasan di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. TQM merupakan bentuk evolusi dari kesadaran terhadap mutu. Evolusi itu muncul sebagai buah dari pemikiran-pemikiran para tokoh seperti Taylor, Deming, Juran, Crosby, dan sebagainya.
2. Mutu dapat diartikan sebagai kesesuaian penggunaan atau kesesuaian tujuan atau kepuasan pelanggan atau pemenuhan terhadap persyaratan.
3. TQM merupakan suatu pendekatan yang berorientasi pada peningkatan mutu produk yang dihasilkan oleh sebuah lembaga, organisasi untuk kepuasan pelanggan dan untuk mengatasi lingkungan yang terus berubah.
4. TQM ditopang oleh lima pilar, yaitu produk, proses, pemimpin, komitmen, dan organisasi.
5. TQM memiliki empat prinsip, yaitu
· Kepuasan pelanggan
· Respek terhadap setiap orang
· Manajemen berdasarkan fakta
· Perbaikan terus-menerus
DAFTAR PUSTAKA
Creech, Bill, Lima Pilar Manajemen Mutu Terpadu (TQM), terj. Alexander Sindoro, Jakarta: Binarupa Aksara, 1996.
Fahmi, Agus, Manshur Ghani Sanusi, Konsep Pendidikan Modern, Surabaya : SMA Khadijah, 2006.
Hardjosoedarmo, Soewarso, Total Quality Manajemen, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004.
Rivai,Veithrizal, Education Management; Analisis Teori dan Praktik, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.
Sallis, Edward, Total Quality Management in Education, terj.Ahm. Ali Riyadi, Yogyakarta: IRCiSoD,2006.
Usman, Husaini, Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2006. [1] Gagasan tentang mutu telah dilontarkan oleh para pakar Barat, seperti Deming, Shewhart, dan Juran pada sekitar 1930-an. Namun yang pertama kali menerapkannya justru industri-industri di Jepang. Lihat Edward Sallis, Total Quality Management in Education, terj.Ahm. Ali Riyadi, Yogyakarta: IRCiSoD,2006, 34-39.
[2] Bill Creech, Lima Pilar Manajemen Mutu Terpadu (TQM), terj. Alexander Sindoro, Jakarta: Binarupa Aksara, 1996, 204.
[3] Husaini Usman, Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2006, 458.
[4] Edward Sallis, Total Quality Management in Education…, 53-56.
[5] Agus Fahmi, Manshur Ghani Sanusi, Konsep Pendidikan Modern, Surabaya : SMA Khadijah, 2006, 67.
[6] Agus Fahmi, Pendidikan…, 68.
[7] Soewarso Hardjosoedarmo, Total Quality Manajemen, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004, 1.
[8] Veithrizal Rivai, Education Management; Analisis Teori dan Praktik, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009, 479.
[9] Husaini Usman, Manajemen:…, 458.
[10] Edward Sallis, Total Quality Management…, 74.
[11] Husaini Usman, Manajemen:…, 464-466.
[12] Bill Creech, Lima Pilar Manajemen Mutu Terpadu (TQM), terj. Alexander Sindoro, Jakarta: Binarupa Aksara, 1996, 4-5.
[13] Husaini Usman, Manajemen:…, 463-464.
No comments:
Post a Comment