A. Pengantar
Makalah ini akan membuktikan bahwasanya filsafat yang mempunyai tugas menemukan suatu kebenaran hakiki itu selalu bersifat dinamis dan terus berkembang dengan perkembangan peradaban manusia dan peranan bahasa pada perkembangan tersebut begitu besar. Perkembangan filsafat setidaknya ada empat fase pemikiran, yaitu kosmosentris, teosentris, antroposentris dan logosentris. Dan logosentrisme inilah yang menandai munculnya filsafat ‘post-modernisme’ seiring dengan berkembangnya strukturalisme dan pascastrukturalisme yang memiliki perhatian besar terhadap analisis bahasa.
B. Bahasa sebagai Paradigma Dekonstruksi
Postmodernisme yang merambah ke berbagai bidang kehidupan tersebut sebenarnya adalah sebagai suatu reaksi terhadap gerakan modernism yang dinilai mengalami kegagalan. Modernisme dianggap menimbulkan disorientasi moral religius terutama runtuhnya martabat manusia. Maka dari itulah para tokoh postmodernisme hadir untuk melakukan dekonstruksi paradigma modernisme dan dalam dunia filsafat upaya dekonstruksi dilakukan sebagai upaya untuk menemukan paradigma baru dalam memahami hakikat manusia melalui wacana bahasa.
Tradisi modernisme secara linguistis membangun suatu narasi besar yaitu totalitarian dalam arti hanya ada satu prinsip saja yang mendasari dan membangun realitas ini, yang menurut istilah Lyotard disebut ‘homologi’ (Awuy, 1995:161). Manusia tidak dipahami sebagai makhluk yang bersifat total tetapi bersifat parsial. Oleh karenanya manusia haruslah dipahami dalam realitas keanekaragamannya. Maka muncul tokoh-tokoh filsafat untuk melakukan suatu dekonstruksi terhadap paradigm modernism tersebut, yaitu melakukan pembongkaran dan menyusun kembali dalam susunan baru, namun tidak melakukan penghapusan.
Heidegger adalah pengguna pertama dari terminologi ‘Dekonstruksi’. Kemudian diangkat oleh Derrida dan Lyotard melalui postmodernisme. Dalam bidang sastra dekonstruksi ini sebagai suatu metode untuk memahami suatu teks dan untuk memberikan suatu penjelasan pada suatu teks. Oleh karena itu dekonstruksi dikembangkan berdasarkan paradigma bahasa dan Derrida mendasarkan pada konsep Saussure.
Kekhasan dalam pembacaan dekonstruktif atas teks-teks filosofis selalu menjadikan sebuah teks itu filosofis. Yang dilihat disini bahwa filsafat itu adalah sebagai suatu tulisan, yang sejalan dengan filsafat Derrida bahwa tulisan itu adalah yang pertama-tama bukannya bahasa lisan, yang dikatakannya bahwa makna itu seakan-akan datang dari tulisan. Sehingga menjadikan filsafat itu bersifat tekstual. Dan konsekuensi teoritis dari hal tersebut adalah segala klaim yang dibuat filsafat itu sebetulnya sangat tergantung pada sistem makna yang dimungkinkan oleh penggunaan sistem tanda secara tertentu.
Dari sedikit uraian diatas seakan menjadikan filsafat hanya berupa tulisan namun ambisi filsafat pada umumnya justru ingin melepaskan diri dari status nya sebagai tulisan itu, keluar dari bentuk fisik kebahasaan yang digunakan itu. Derrida kemudian ingin menjadikan agar bahasa yang digunakannya itu menjadi sarana yang transparan yang mampu menampilkan makna dan kebenaran real yang bersifat ekstralinguistik. Sehingga ia datang dengan kesimpulan bahwa di balik teks filosofis yang terdapat bukanlah suatu kekosongan, melainkan sebuah teks lain, yaitu suatu jaringan keragaman potensi-potensi yang pusat referensinya tidak jelas (Derrida, 1982:xxiii).
Secara skematik, strategi dekonstruksi Derrida dapat disusun dalam tingkatan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, mengidentifikasikan hierarki oposisi dalam teks dimana biasanya kemudian terlihat peristilahan yang diistimewakan secara sistematik. Kedua, oposisi-oposisi itu kemudian dibalik, misalnya dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara hal-hal yang berlawanan itu. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama (Derrida, 1981, dalam Sugiharto, 1996:45,46).
Menurut Derrida, dalam kenyataannya filsafat senantiasa ingin mereduksi segala persoalan ke dalam sistem metafor. Hal ini berarti merupakan suatu pernyataan bahwa tidak ada ungkapan linguistik yang bisa dimengerti kecuali ungkapan pada dirinya sendiri tanpa paradoks (Sugiharto, 1966:47).
Sedikit berbeda dengan dekonstruksi Derrida yang mendasarkan pada paradigma bahasa menurut Ferdinand de Saussure, Lyotard justru mengembangkan analisis filosofisnya melalui paradigma language game dari Ludwig Wittgenstein. Lyotard menyarankan untuk kembali kepada “pragmatika bahasa” ala Wittgenstein, yaitu mengakui saja bahwa kita memang hidup dalam berbagai permainan bahasa yang sulit berkomunikasi secara adil dan bebas. Secara ontologis modernism telah melahirkan bahasa-bahasa yang abstark dengan idiom-idiom ideologis seperti “progresivitas roh”, “kemakmuran universal” dan lain sebagainya. Dengan demikian hidup manusia dikuasai oleh suatu narasi besar sehingga mengakibatkan manusia pada hakikatnya hidup dalam keanekaragaman menjadi terreduksi oleh idiom-idiom abstrak tersebut.
Menurut Lyotard atas konsep permainan bahasa Wittgenstein, bahwa bahasa memang bukan suatu gejala yang tunggal, melainkan merupakan gejala historis yang memiliki karakter dasar yang bersifat lokal dan spesifik. Kita tidak dapat menghakimi suatu permainan bahasa dengan ukuran bahasa lain. Dan ia menekankan pentingnya aspek retorik dan kompetitid dalam tiap permainan bahasa. Lebih jauh lagi, ia mengusulkan semacam strategi “mikropolitik” yang dianggapnya demokratis secara radikal, yaitu strategi mengaktifkan paralogi.
Melalui analisis bahasa model language game, Lyotard sampai pada kesimpulan bahwa realitas tidak mungkin bisa diwakili oleh sebuah konsep bermakna tunggal. Inilah makanya Lyotard menolak model konsensus ala Juergen Habermas. Kemudian ia menawarkan konsep yang berlawanan yaitu disensus. Hal ini diartikan bahwa masing-masing unsur kehidupan karena telah memiliki logikanya masing-masing maka biarkanlah hal itu berjalan, sebagaimana aturan-aturan sepak bola dan lain sebagainya. Dengan analisis permainan bahasa atau dengan prinsip paralogi, maka manusia dibawa seolah-olah bermain dalam suatu arena. Menurut istilah Susan Sontag arena secara dikotomis yang logikanya either/or, atau pilihan hitam putih, melainkan kita memerlukan semacam relasi seni, tanpa adanya suatu paksaan (Awuy, 1995:163).
Dalam hal ini, kekuasaan dalam arena itu jelas tanpa represi (tanpa tekanan). Dengan semangat desentralis dan disensus, unsur-unsur yang semula diam, akan menjadi bersuara dan menurut istilah Lyotard gejala semacam inilah yang disebut pluralisme, dan hal inilah yang merupakan semangat postmodernisme. Hal inilah yang kemudian dikembangkan Lyotard melalui analisis bahasa.
Richard Rorty seperti halnya Lyotard dan Derrida ingin melepaskan diri dari segala bentuk dominasi wacana besar. Baginya perbedaan budaya dan bahasa tidak perlu menjadi sedemikian antagonistik dan tak terjembatani, setiap permainan bahasa itu unik dan tidak sepenuhnya dapat diterjemahkan ke dalam permainan bahasa lainnya. Dengan kata lain, baginya memang hubungan antar budaya mau tidak mau jadi bersifat saling menaklukkan, namun kenyataan ini tidak perlu lalu mengharuskan kekerasan. Penaklukan dapat dengan cara persuasi juga.
Dan dalam hal ini, Gadamer mendasarkan pada prinsip hermeneutika. Menurutnya proses pemahaman antar budaya dan antar zaman yang berbeda sebenarnya adalah seperti halnya penafsiran sebuah teks. Adanya apa yang disebut semacam “dialog”. Gadamer membahas dan memahami melalui bahasa sebagai aktualisasi tradisi dan dengan demikian hakikat pluralitas bahasa pun tetap merupakan paradigma bagi analisis hubungan antar budaya.
C. Fungsi Transformatif Bahasa
Hakikat transformatif bahasa yang sebenarnya merupakan pengalaman itu sendiri. Kompleksitas hidup manusia dalam merealisasikan harkat dan martabat kemanusiaannya terwujud berkat adanya bahasa. Oleh karena itu bahasa bukanlah sekedar ungkapan pengalaman melainkan bahasa adalah mengalaman yang menyadari dirinya sendiri tentang sesuatu. Kesimpulannya dapat dikatakan bahwa bahasa adalah hakikat pengalaman manusia itu sendiri.
D. Keterbatasan Bahasa
Bahasa dianggap sebagai totalitas prosedur yang tersedia bagi observasi, interpretasi, penjelasan dan deskripsi, maka batas bahasa itu sendiri sebenarnya merupakan suatu persoalan intralinguistik, yaitu persoalan intern bahasa itu sendiri. Adapun menurut Wittgenstein periode kedua dan Heidegger batas intern bahasa tadi hanyalah batas-batas fungsi deksriptif bahasa.
Berdasarkan pandangan para filsuf tentang bahasa pada umumnya persoalan tentang batas bahasa pada dasarnya berakar pada dominasi paradigma deskriptif dalam bahasa. Segala hal yang tidak dapat dideskripsikan lalu dengan segera dikatakan sebagai wilayah transenden dalam bahasa. Maka sebenarnya bukan berarti wilayah transenden itu tidak dapat dirumuskan melainkan menunjuk batas deskriptif bahasa.
E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian singkat diatas dapat dibuktikan bahwasanya bahasa dengan berperan penting dalam filsafat postmodernisme. Bahasa dapat diangkat sebagai paradigma dekonstruksi. Dan dalam kehidupan sehari-hari maka akan disadari bahwa sumbangan bahasa dalam meningkatkan pengalaman manusia sangat besar. Namun hakikat bahasa tidak hanya terbatas dalam pengalaman melainkan terletak pada sisi pragmatik bahasa. Antara bahasa dengan dunia atau pengalaman memiliki kesesuaian logis.
Batas bahasa adalah batas intern bahasa itu sendiri dan batas intern bahasa itu hanyalah batas-batas fungsi desktiptif bahasa. Berdasarkan pada sifat keterbatasan bahasa, maka terbukalah suatu kemungkinan paradigma lain dalam aspek pragmatis bahasa yang kiranya akan lebih memadai yaitu paradigma transformatif, yang menekankan pada fungsi transformatif bahasa.
Sumber Bacaan Primer:
“Peranan Bahasa dalam Filsafat Postmodernisme” (296-320), Filsafat Bahasa, Kaelani MS.
No comments:
Post a Comment