Entah apa yang menjadi landasan Pak Menteri Pendidikan, Prof. Muhadjir Efendy ketika menetapkan kebijakan sekolah lima hari. Sepertinya Pak Menteri perlu membaca tulisan Kang Fathoni berikut ini:
SALAH KAPRAH KEBIJAKAN SEKOLAH 5 HARI
Oleh : Fathoni Ahmad
Setelah setahun wacana Full Day School melalui kebijakan 5 hari sekolah digulirkan oleh suksesor Anies Baswedan, Muhadjir Effendy pada Agustus 2016 lalu, kebijakan tersebut mencuat kembali. Bahkan kabarnya sudah menjadi keputusan untuk tahun ajaran baru 2017/2018. Dengan demikian, sekolah hanya berlangsung Senin hingga Jumat dengan tambahan jam pelajaran.
Reaksi atas kembali mencuatnya kebijakan tersebut ramai ditanggapi sejumlah kalangan. Tidak sedikit yang menolak kebijakan Mendikbud Muhadjir Effendy tersebut. Selain merampas hak interaksi anak di tengah-tengah komunitasnya, kebijakan ini juga dinilai srampangan karena tidak melalui kajian strategis dan mendalam. Agaknya, kebijakan pendidikan yang kerap berganti seiring dengan pergantian menteri hanya menjadi tradisi berinovasi semu. Karena pada tataran praktis, perangkat pendidikan di lapangan pun hanya bisa pasrah tak berdaya dengan setiap kebijakan baru.
Setelah me-refresh memori setahun lalu, penulis seketika teringat dengan pernyataan Muhadjir Effendy ketika hendak menggulirkan full day school. Dia mengatakan, “Dengan sistem full day school ini secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orang tua mereka masih belum pulang dari kerja," kata Muhadjir Effendy, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang setahun lalu.
Praktis, alasan sederhana di ataslah yang turut menggiring Muhadjir Effendy untuk menerapkan full day school melalui kebijakan sekolah 5 hari. Namun saat itu, kebijakan tersebut mendapat banyak penolakan dari masyarakat sehingga dia beralasan akan mengadakan kajian ulang yang hingga kini tidak jelas hasilnya. Tetapi, sekonyong-konyong kebijakan tersebut langsung dilontarkan akan diterapkan tahun ajaran baru 2017/2018. Nampak Muhadjir hanya memanfaatkan surutnya sikap kritis dan protes masyarakat sehingga setelah masyarakat lupa, dia dengan mudah langsung mengeksekusi kebijakan tanpa hasil kajiannya setahun lalu.
Dengan alasan sederhana Muhadjir Effendy setahun lalu di atas, penulis juga tidak membutuhkan alasan rumit dan kajian akademis yang terlalu ndakik-ndakik untuk mengatakan bahwa kebijakan sekolah 5 hari merupakan langkah yang salah kaprah. Penilaian ini bisa diurai dari setiap variabel pernyataan yang dilontarkan oleh Muhadjir Effendy di atas.
Pertama, soal karakter anak didik yang perlahan akan terbangun. Alasan ini seharusnya tidak keluar dari mulut seorang menteri pendidikan tanpa memperhatikan realitas sosial atas edukasi mandiri yang selama ini dilakukan oleh masyarakat melalui pendidikan agama (madrasah diniyah) di sore hari setelah pulang sekolah. Dengan menerapkan kurikulum keagamaan pada diri anak-anak, apakah keberadaan madrasah diniyah kurang membangun akhlak dan karakter?
Sebetulnya karakter anak seperti apa yang ada dibenak seorang Muhadjir Effendy? Jelas keberadaaan madrasah diniyah mampu menopang sekaligus mendukung program revolusi mental yang selama ini digembar-gemborkan Presiden Joko Widodo sebab kurikulum madrasah diniyah memperkuat karakter religiusitas. Praktik pendidikan keagamaan melalui madrasah diniyah ini juga memberikan kesempatan ruang edukasi yang lebih luas kepada anak. Anak tidak hanya monoton berinteraksi dengan guru dan teman-teman satu sekolah, tetapi juga bersosialisasi bersama beragam anak dengan berbagai latar belakang dan karakter di lingkungannya.
Apa yang ada di alam ideas Muhadjir Effendy sebetulnya bisa dipahami karena generasi muda saat ini mengalami krisis karakter. Sebab itu, hendaknya kebijakan sekolah 5 hari jangan makin menambah krisis tersebut karena anak didik dipaksa keluar dari akar sosial masyarakatnya dengan minim interaksi sosial karena hanya dikurung seharian di sekolah. Meminjam KH Abdurrahman Wahid (1940-2009), karakter bangsa akan terbangun jika mereka tidak tercerabut dari akar sosial masyarakatnya sendiri. Produk dari pendidikan semua akan kembali ke masyarakat. Sebab itu, akar sosial masyarakat dimana anak didik terlahir dan tinggal jangan sampai terampas dengan mengurungnya di sekolah.
Kedua, anak didik tidak menjadi liar di sekolah. Jika alasan ini yang menjadi energi pendorong Muhadjir Effendy untuk menerapkan kebijakan full day school, maka penulis pastikan anak didik akan semakin liar karena ruang interaksi mereka semakin terbatas. Logika sederhananya, siapa pun akan berontak jika ruang geraknya dibatasi. Filosofi simpel ini seharusnya tidak menjadikan sistem pendidikan bangsa Indonesia serumit seperti yang selama ini dirasakan, ganti menteri, ganti kebijakan, ganti kurikulum. Seolah menjadi aib tersendiri jika menjadi menteri pendidikan tetapi tidak menelorkan kebijakan baru.
Pemerintah harus sadar betul bahwa jutaan orang tua di Indonesia menggantungkan masa depan kebaikan anaknya pada pendidikan keagamaan yang mereka lakukan setiap sore seusai pulang sekolah. Saat ini rasio kejenuhan belajar siswa harus menjadi perhatian utama. Bukan sebaliknya, mengurangi hari karena beban kerja PNS atau ASN guru sudah cukup ketika waktu belajar hanya 5 hari. Tetapi ironisnya, hal itu dengan menambah jam belajar hingga sore hari, bukan meningkatkan kualitas pengajaran.
Penulis tidak akan membandingkan sistem pendidikan di negara maju seperti Finlandia yang hanya menerapkan waktu belajar 4-5 jam. Tetapi kualitas pendidikan di salah satu negara Skandinavia itu selalu bercokol di peringkat pertama dunia sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik. Poin penting yang mereka lakukan ialah dengan terus meningkatkan kualitas pendidikan, bukan menambah jam belajar karena konsekuensi pemadatan jam selama 5 hari yang hendak dilakukan Muhadjir Effendy tersebut.
Bukan full day school, tetapi full day education
Belajar dari Finlandia, seharusnya yang diterapkan bukan full day school tetapi full day education. Dengan konsep full day education, sistem yang akan berjalan ialah peningkatan mutu dan kualitas belajar, penulis tegaskan bukan menambah jam belajar seperti konsep full day school. Finlandia telah berhasil bagaimana membangun pendidikan dengan waktu yang singkat tetapi bermakna (meaningfull) karena mendidik secara penuh. Terminologi penuh di sini bukan waktu belajar yang ditambah, tetapi kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan yang makin berkualitas. Bahkan Finlandia menerapkan satu kali mata pelajaran, satu kali istirahat. Mereka sadar betul anak didik memerlukan jeda untuk mengkulminasi hasil belajar mereka di kelas.
Ketiga, sambil menunggu orang tua pulang kerja. Alasan ini seperti setengah hati dalam menerapkan kebijakan 5 hari sekolah. Nampak bukan alasan akademis karena jika menilik renungan seorang teoritikus pendidikan Ivan Illich, selain dididik dengan sistem klasikal (kelas), seorang anak juga terdidik oleh alam. Bahkan berangkat dari teori naturalisasi ini, Ivan Illich menolak sistem sekolah karena dinilai monoton dan tidak membuat anak berkembang sebab interaksi yang terbatas. Apalagi jika menerapkan sistem full day school sebagai sebuah kebijakan nasional.
Belajar tak cuma sekolah
Mewujudkan sebuah sistem dengan mengorbankan sistem yang berjalan dengan baik hanya akan menciptakan benturan sosial. Tentu yang akan menjadi korban anak didik sebagai subjek utama pembelajaran. Nampaknya setiap kebijakan pendidikan nasional hanya menempatkan mereka sebagai ‘kelinci percobaan’. Artinya bukan berangkat dari kebutuhan anak didik, tetapi lebih kepada sistem baru tanpa kajian mendalam.
Bukan menjadi persoalan jika kebijakan tersebut tidak berimbas pada sistem secara nasional. Sebaliknya, menjadi permasalahan jika keputusan tersebut menjadi sebuah kebijakan nasional. Di titik inilah intervensi pemerintah terhadap sistem pendidikan nasional sangat kental selama ini. Berangkat dari Finlandia, sekali lagi penulis hanya bisa mengungkap bahwa sistem pendidikan di sana jauh dari intervensi tangan-tangan pemerintah. Kebijakan pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan disesuaikan dengan karakter dan kebutuhan anak. Pemerintah hanya memberikan rambu-rambu, teknis dan implementasi kurikulum diserahkan dan disusun oleh stakeholder pendidikan di lapangan.
Untuk membangun karkater anak dan menjadikan agar anak tidak menjadi liar, Indonesia mempunyai jutaan lembaga pendidikan keagamaan yang sejak era penjajahan hingga sekarang berkontribusi positif terhadap pembangunan moral dan karakter generasi bangsa. Data Kementarian Agama menjelaskan, Pondok Pesantren mencapai 13.904 lembaga, 3.201.582 santri, dan 322.328 ustadz; Madrasah Diniyah Takmiliyah mencapai 76.566 lembaga, 6.000.062 santri, dan 443.842 ustadz; Pendidikan Al-Qur’an (TKA, TPA, TQA): 134.860 lembaga, 7.356.830 santri, 620.256 ustadz. Total: 225.330 lembaga, 16.558.44 santri, dan 1.386.426 ustadz.
Data di atas belum mencakup pesantren yang didata oleh Nahdlatul Ulama (NU) yang mencapai lebih dari 30.000 pesantren di seluruh Indonesia. Dari data di atas, tidak terpungkiri bahwa selama ini anak didik menjadikan madrasah diniyah, TPA, dan TPQ sebagai sumber belajar agama setelah pulang sekolah. Kebijakan full day school 5 hari sekolah tentu akan menutup kesempatan anak didik memperdalam ilmu agama secara fokus dan khusus di lembaga-lembaga tersebut. Dengan kata lain, lembaga pendidikan keagamaan yang selama ini mampu membangun karakter bangsa tersebut juga berpotensi terbengkalai. Apakah itu yang diinginkan Mendikbud dan Pemerintah? Wallahu a’lam bisshowab.
* Penulis adalah Pengajar di Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta.
Sumber tulisan : www.nu.or.id
No comments:
Post a Comment