Di beberapa sekolah, seringkali dilaksanakan kegiatan pembiasaan ibadah, diantaranya adalah dengan melaksanakan sholat dhuha secara berjamaah. Ini merupakan inisiatif yang baik. Hanya saja masih sering kita dengar orang yang mempertanyakan apakah ada kesunahan berjamaah untuk sembahyang dhuha, karena yang orang-orang tua dulu melakukan sembahyang dhuha sendiri-sendiri.
Untuk itu, perlu pakguru.id kutipkan jawaban tentang permasalahan ini.
Pertama sekali, kita patut mengapresiasi inisiatif pihak sekolah untuk membiasakan sembahyang sunah dhuha yang memiliki keutamaan yang besar selain sebagai bentuk taqarrub kepada Allah SWT.
Kedua, ulama membagi dua jenis sembahyang sunah. Beberapa sembahyang sunah dianjurkan secara berjamaah seperti sembahyang idul fitri dan idul adha, atau sembahyang istisqa. Sementara sembahyang sunah lainnya tidak dianjurkan secara berjamaah seperti sembahyang rawatib, dhuha, tasbih, tahajjud.
Keterangan demikian dapat kita temukan dalam kitab Tahrir karya Syekh Abu Zakariya Al-Anshari dan juga syarahnya, Hasyiyatus Syarqawi alat Tahrir.
Dari penjelasan singkat tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa sembahyang sunah tasbih, sembahyang malam, atau sembahyang dhuha yang diinisiasi pihak sekolah dalam hal ini, masuk dalam kategori sembahyang yang dianjurkan untuk dilakukan secara sendiri-sendiri (infirad).
Hanya saja, Islam tidak melarang kalau sembahyang sunah secara sendiri-sendiri itu dikerjakan secara berjamaah. Sekalipun dilakukan secara berjamaah, para jamaah tidak mendapatkan pahala atas kejamaahannya, tetapi mendapat pahala karena sisi pendidikannya seperti keterangan Syekh Abdurrahman bin Muhammad Ba‘alawi dalam karyanya Bughyatul Mustarsyidin berikut ini.
Artinya, “Shalat berjamaah pada misalnya shalat witir, dan tasbih, diperbolehkan. Berjamaah dalam hal ini tidak makruh dan juga tidak berpahala. Tetapi, jika diniatkan untuk mendidik dan menganjurkan orang-orang untuk mengamalkannya, maka ia bernilai pahala. Mana saja bernilai pahala jika didasarkan pada niat baik untuk kepentingan pengajaran–seperti kebolehan membaca jahar di tempat sir yang mana itu adalah makruh–maka utamanya adalah kembali ke (hukum) asal, yaitu mubah. Hal ini sama halnya dengan berpahalanya aktivitas mubah bila diniatkan untuk taqarrub kepada Allah SWT seperti aktivitas makan dengan niat memperkuat raga untuk taat kepada Allah. Tentu saja hal itu berlaku bila mana tidak disertai dengan hal yang mengkhawatirkan seperti mengganggu orang lain atau munculnya keyakinan masyarakat atas kesunahan berjamaah sembahyang tersebut. Kalau sembahyang berjamaah itu disertai hal yang mengkhawatirkan, maka tidak berpahala, bahkan haram dan harus dicegah,” (Lihat Abdurrahman bin Muhammad Ba‘alawi, Bughyatul Mustarsyidin, Beirut, Darul Fikr, juz I, halaman 136).
Saran kami, agar tidak menjadi haram, pihak sekolah atau pihak penyelenggara perlu menjelaskan dua kategori sembahyang sunah seperti keterangan Syekh Abu Zakariya Al-Anshari dan Syekh Syarqawi di atas. Penjelasan itu bertujuan agar anak-anak sekolah dan para jamaah tidak keliru meyakini kategori tersebut. Artinya, pihak sekolah mesti menjelaskan bahwa sembahyang sunah dhuha itu dianjurkan secara sendiri-sendiri, bukan berjamaah. Di samping itu, para siswa juga dianjurkan untuk memasang niat belajar membiasakan dalam sembahyang dhuha berjamaahnya itu agar mendapatkan pahala belajar.
Hal ini berlaku bukan hanya untuk pihak sekolah yang menyelenggarakan sembahyang dhuha di kalangan siswa-siswinya, tetapi juga bagi para pembina majelis taklim atau pengurus masjid yang menyelenggarakan sembahyang malam, sembahyang dhuha, atau sembahyang tasbih berjamaah.
Sumber : NU Online
Untuk itu, perlu pakguru.id kutipkan jawaban tentang permasalahan ini.
Pertama sekali, kita patut mengapresiasi inisiatif pihak sekolah untuk membiasakan sembahyang sunah dhuha yang memiliki keutamaan yang besar selain sebagai bentuk taqarrub kepada Allah SWT.
Kedua, ulama membagi dua jenis sembahyang sunah. Beberapa sembahyang sunah dianjurkan secara berjamaah seperti sembahyang idul fitri dan idul adha, atau sembahyang istisqa. Sementara sembahyang sunah lainnya tidak dianjurkan secara berjamaah seperti sembahyang rawatib, dhuha, tasbih, tahajjud.
Keterangan demikian dapat kita temukan dalam kitab Tahrir karya Syekh Abu Zakariya Al-Anshari dan juga syarahnya, Hasyiyatus Syarqawi alat Tahrir.
Dari penjelasan singkat tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa sembahyang sunah tasbih, sembahyang malam, atau sembahyang dhuha yang diinisiasi pihak sekolah dalam hal ini, masuk dalam kategori sembahyang yang dianjurkan untuk dilakukan secara sendiri-sendiri (infirad).
Hanya saja, Islam tidak melarang kalau sembahyang sunah secara sendiri-sendiri itu dikerjakan secara berjamaah. Sekalipun dilakukan secara berjamaah, para jamaah tidak mendapatkan pahala atas kejamaahannya, tetapi mendapat pahala karena sisi pendidikannya seperti keterangan Syekh Abdurrahman bin Muhammad Ba‘alawi dalam karyanya Bughyatul Mustarsyidin berikut ini.
تباح الجماعة في نحو الوتر والتسبيح فلا كراهة في ذلك ولا ثواب ، نعم إن قصد تعليم المصلين وتحريضهم كان له ثواب ، وأي ثواب بالنية الحسنة ، فكما يباح الجهر في موضع الإسرار الذي هو مكروه للتعليم فأولى ما أصله الإباحة ، وكما يثاب في المباحات إذا قصد بها القربة كالتقوّي بالأكل على الطاعة ، هذا إذا لم يقترن بذلك محذور ، كنحو إيذاء أو اعتقاد العامة مشروعية الجماعة وإلا فلا ثواب بل يحرم ويمنع منها
Artinya, “Shalat berjamaah pada misalnya shalat witir, dan tasbih, diperbolehkan. Berjamaah dalam hal ini tidak makruh dan juga tidak berpahala. Tetapi, jika diniatkan untuk mendidik dan menganjurkan orang-orang untuk mengamalkannya, maka ia bernilai pahala. Mana saja bernilai pahala jika didasarkan pada niat baik untuk kepentingan pengajaran–seperti kebolehan membaca jahar di tempat sir yang mana itu adalah makruh–maka utamanya adalah kembali ke (hukum) asal, yaitu mubah. Hal ini sama halnya dengan berpahalanya aktivitas mubah bila diniatkan untuk taqarrub kepada Allah SWT seperti aktivitas makan dengan niat memperkuat raga untuk taat kepada Allah. Tentu saja hal itu berlaku bila mana tidak disertai dengan hal yang mengkhawatirkan seperti mengganggu orang lain atau munculnya keyakinan masyarakat atas kesunahan berjamaah sembahyang tersebut. Kalau sembahyang berjamaah itu disertai hal yang mengkhawatirkan, maka tidak berpahala, bahkan haram dan harus dicegah,” (Lihat Abdurrahman bin Muhammad Ba‘alawi, Bughyatul Mustarsyidin, Beirut, Darul Fikr, juz I, halaman 136).
Saran kami, agar tidak menjadi haram, pihak sekolah atau pihak penyelenggara perlu menjelaskan dua kategori sembahyang sunah seperti keterangan Syekh Abu Zakariya Al-Anshari dan Syekh Syarqawi di atas. Penjelasan itu bertujuan agar anak-anak sekolah dan para jamaah tidak keliru meyakini kategori tersebut. Artinya, pihak sekolah mesti menjelaskan bahwa sembahyang sunah dhuha itu dianjurkan secara sendiri-sendiri, bukan berjamaah. Di samping itu, para siswa juga dianjurkan untuk memasang niat belajar membiasakan dalam sembahyang dhuha berjamaahnya itu agar mendapatkan pahala belajar.
Hal ini berlaku bukan hanya untuk pihak sekolah yang menyelenggarakan sembahyang dhuha di kalangan siswa-siswinya, tetapi juga bagi para pembina majelis taklim atau pengurus masjid yang menyelenggarakan sembahyang malam, sembahyang dhuha, atau sembahyang tasbih berjamaah.
Sumber : NU Online
No comments:
Post a Comment