I. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP AKHLAK
A. Pengertian Akhlak
Menurut pendekatan etimologi, perkataan "akhlak" berasal dari bahasa Arab jama' dari bentuk mufradnya "Khuluqun" yang menurut logat diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuain dengan perkataan "khalqun" yang berarti kejadian, serta erat hubungan " Khaliq" yang berarti Pencipta dan "Makhluk" yang berarti yang diciptakan. Baik kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya dapat dijumpai di dalam al- Qur'an, sebagaimana dalam surat Al-Qalam, ayat 4 berikut ini:
وإنك لعلى خلق العظيم
Artinya : .Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Sedangkan pengertian akhlaq secara terminologis menurut :
a) Imam Ghozali :
الخلق عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها تصدر الأفعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر ورؤية.
"Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran maupun pertimbangan".
b) Ibnu Maskawaih :
الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر وروية .
“Akhlaq adalah gerak jiwa yang mendorong kearah melakukan perbuatan dengan tidak membutuhkan pikiran”
c) Menurut Ahmad Amin :
الخلق عادة الإرادة
“Khuluq (akhlaq) adalah membiasakan kehendak”.
Berbagai definisi tentang akhlak di atas, secara substansial tampak saling melengkapi sehingga kita dapat melihat lima cirri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:
a. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.
b. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudahdan tanpa pemikiran.
c. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan dan tekanan dari luar.
d. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan bersandiwara ataupun main-main.
e. Perbuatan akhlak (khususnya akhlak terpuji) adalah perbuatan yang dilakukan semata karena ikhlas kepada Allah.
B. Ruang Lingkup Akhlak
Dr. Abdullah dalam buku Dustur al-Akhlaq fi al-Islam membagi ruang lingkup akhlaq kedalam lima macam aspek kehidupan, yaitu:
1) الأخلا ق الفرد ية = akhlaq perorangan.
Akhlak ini dibagi menjadi
a) semua hal yang diperintahkan (al-awamir)
b) segala yang dilarang ( al-nawahi)
c) hal-hal yang diperbolehkan ( al-mubahat), dan
d) akhlak dalam keadaan darurat (al-mukhalafah bi al-idhthirar).
2) الأخلا ق الأ سرية = akhlak keluarga
Akhlak ini juga terbagi menjadi
a) kewajiban timbal balik orang tua dan anak (wajibat nahwa ushul wa al-furu)
b) kewajiban suami & isteri ( wajibat baina al-azwaj)
c) kewajiban terhadap kerabat dekat ((wajibat nahwa al-aqarib).
3) الأخلا ق الإجتماعية = Akhlak bermasyarakat,
Akhlak ini meliputi
a) hal-hal yang dilarang (al-makhdzurat)
b) hal-hal yang diperintahkan (al-awamir), dan
c) kaidah-kaidah adab (qawa’id al-adab).
4) الأخلاق الد و لة = Akhlak bernegara
Akhlak ini meliputi ;
a) hubungan antara pemimpin dan rakyat (al-‘alaqah baina al-rais wa al-sya’b) b) hubungan luar negeri (al-alaqah al-kharijiyyah).
5) الأخلا ق الد ينية = Akhlak beragama; kewajiban terhadap Allah swt.
Ruang lingkup di atas dipandang sangat luas karena mencakup semua aspek kehidupan. Secara vertikal hubungan dengan sang Haliq dan secara horizontal dengan sesama manusia. Jika ruang lingkup akhlak tersebut dipersempit tetapi memiliki cakupan yang menyeluruh maka akhlak tersebut dapat dibagi menjadi
a) Akhlak (tata krama) kepada Allah swt.
b) Akhlak kepada Rasul Allah saw.
c) Akhlak untuk diri pribadi.
d) Akhlak dalam keluarga.
e) Akhlak dalam masyarakat.
f) Ahlak bernegara.
II. HUBUNGAN AKHLAK, ETIKA, MORAL, DAN SUSILA
Disamping akhlaq ada istilah lain yang disebut dengan etika, moral dan susila. Keempat istilah tersebut sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap perbuatan seseorang. Namun, setiap istilah memiliki perbedaan. Karena penjelasan tentang istilah akhlak telah diuraikan diatas, maka pada bagian ini akan kami uraikan tentang istilah etika, moral dan susila saja.
A. Etika
Secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Berbagai pendapat telah disampaikan para ahli mengenai definisi etika, diantaranya sebagaiman dikemukakan Ki Hajar Dewantara bahwa ilmu yang mempelajari soal kebaikan (dan keburukan) di dalam kehidupan manusia semuanya, terutama yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan. Abuddin Nata menyimpulkan bahwa etika berhubungan dengan empat hal: Pertama, dilihat dari obyek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua, dilihat dari sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Berdasar cirri-ciri terrsebut, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk.
B. Moral
Istilah moral berasal dari bahasa Latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan istilah moral seringkali diartikan sebagai istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Jika dalam kehidupan sehari-hari seringa dikatakan “orang yang bermoral” maka yang dimaksud adalah orang yang tingkah lakunya baik.
Jika dikaitkan dengan pengertian etika diatas, maka keduanya memiliki obyek pembahasan yang sama, perbuatan manusia. Namun demikian, ada perbedaan diantara keduanya, diantaranya: a) tolok ukur penilaian etika terhadap perbuatan manusia adalah rasio/pikiran, sedangkan tolok ukur penilaian moral adalah norma-norma yang tumbuh, berkembang dan berlangsung dalam masyarakat. b) kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan obyektif., karena ia dapat diterima seluruh masyarakat sebgai hal obyektif dan dapat diberlakukan secara universal. c) kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan. Bebas dalam menentukan perilakunya dan didalam penentuan itu sekaligus terpampang nilai manusia itu sendiri.
Berdasarkan keterangan di atasdapat disimpulkan bahwa moral lebih mengacu pada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan dan diberlakukan oleh masyarakat. System dan nilai itu diyakini masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketenteraman.
C. Susila
Susila berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu kata Su dan Sila. Su berarti baik, bagus, dan Sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma.
Kata susila diartikan sebagai aturan hidup yang lebih baik. Orang yang susila adalah orang yang berkelakuan baik, sedangkan orang yang a susila adalah orang yang berkelakuan tidak baik. Kata susila dapat pula berarti sopan, beradab, baik budi bahasanya. Dengan demikian kesusilaan lebih mengacu pada upaya membimbing, memandu, mengarahkan, membiasakan dan memasyarakatkan hidup yang sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
D. Hubungan Antara Etika, Moral, dan Susila dengan Akhlak
Dilihat dari fungsi dan perannya, etika, moral, susila dan akhlak adalah sama, yaitu menetukan hokum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik buruknya. Semua istilah tersebut menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tenteram, sehingga sejahtera lahir dan batin.
Namun ada beberapa perbedaan pada keempat istilah tersebut, diantaranya:
a. Pada sumbernya
Jika dalam etika penilaian baik dan buruk berdasarkan akal pikiran, dan dalam moral dan susila yang menjadi dasar penilaiannya adalah kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Sedangkan patokan baik buruk yang dalam akhlak adalah al-Qur’an dan al-Hadits.
b. Pada sifat dan kawasan pembahasannya
Etika lebih cenderung berbicara teoretis, sedangkan moral dan susila lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral dan susila bersifat local dan individual.
Secara umum, perbedaan dari etika, moral, susila dengan akhlak adalah bahwa etika, moral dan susila berasal dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan hadits. Dengan kata lain, etika moral, dan susila berasal dari manusia, sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.
Namun demikian, keberadaan etika, moral dan susila sangat dibutuhkan dalam rangka menjabarkan dan mengoperasionalisasikan ketentuan akhlak yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits. Pada sisi lain, akhlak juga berperan untuk memberikan batas-batas umum dan universal, agar apa yang dajabarkan dalam etika, moral, dan susila tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang luhur dan tidak membawa manusia menjadi sesat.
III. HUBUNGAN AKHLAK DAN ILMU JIWA
Dilihat dari segi bidang garapannya, ilmu jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku. Melalui ilmu jiwa dapat diketahui sifat-sifat psikologis yang dimilki seseorang. Jadi ilmu jiwa mengarahkan pembahasannya pada aspek batin manusia dengan cara menginterpretasikan perilakunya yang tampak.
Pada dasarnya, antara ilmu jiwa dengan ilmu akhlak mempunyai bidang garapan yang berbeda. Kalau Akhlaq mempunyai bidang garapan tentang tingkah laku yang esoterik; tingkah laku itu indah dipandang kalau dilihat dari ‘frame work atau ‘kacamata ‘ agama. Sementara Ilmu Jiwa lebih menggarap tingkah laku yang isoterik sebagai gejala-gejala kejiwaan. Dengan psikologi ini, bisa diinterpretasi sifat-sifat psikologis seseorang.
Teori Psikologi (Agama) mengatakan : ‘Jiwa yang bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan Tuhan misalnya, akan melahirkan perbuatan dan sikap yang tenang, bahkan bahagia selalu; dan tentu sebaliknya.
Teori Psikologi Agama ini sebagai legalisasi atau pembuktian atas kebenaran sebuah Hadits yang bermakna: “Kebaikan adalah sesuatu perbuatan, yang bila dikerjakan, hati menjadi tenang; sedang kemaksiatan adalah sesuatu perbuatan, yang apabila dikerjakan, hatinya atau dadanya menjadi sesak.”, bahkan malu kalau dilihat orang.
Konon, orang yang hatinya senantiasa bersih dari dosa dan kemaksiatan, ia cenderung selalu positive thinking; sebaliknya, orang yang hatinya penuh dengan sampah-sanpah spiritual, ia akan selalu negative thinkiing terhadap orang lain.
Di dalam al-Qur’an, aspek batin (jiwa) manusia diungkap dengan istilah insan. Menurut hasil studi Musa Asy’arie, kata insan dipakai dalam al_Qur’an dalam kaitannya dengan berbagai kegiatan manusia. Diantaranya, untuk kegiatan belajar (QS. 96-15; 55:1-3), tentang musuhnya (QS. 12:5; 17:53), penggunaan waktunya (QS. 103:1-3), beban amanat yang dipikulnya (QS. 33:72), konsekuensi usaha perbuatannya (QS. 53:39; 79:35), keterkaitannya dengan moralitas dan akhlak (QS. 29:8; 31:14; 46:15), kepemimpinannya (QS.2:124), ibadahnya (QS.2:21), dan kehidupannya di akhirat (QS. 17:71).
Dari hasil studi tersebut, nampak sekali bahwa ada kaitan yang erat antara akhlak dengan potensi psikologis manusia. Dengan kata lain, melalui informasi yang diberikan ilmu jiwa ,atau keterangan yang terdapat dalam al-Qur’an, maka secara teoretis, ilmu akhlak dapat dibangun dengan kokoh. Prof. Quraish Syihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an mengatakan bahwa dapat dikatakan secara nyata dan jelas bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik, dan juga sebaliknya. Semua itu adalah karena manusia memiliki kedua potensi (potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk) tersebut. Meskipun ditemukan juga isyarat-isyarat dalam al-Qur’an bahwa potensi untuk menjadi baik lebih dahulu menghiasi diri manusia, daripada kejahatan, dan bahwa pada dasarnya manusia memang lebih cenderung kepada kebajikan.
Selain itu, di dalam ilmu jiwa juga terdapat informasi tentang perbedaan psikologis yang dialami seseorang pada setiap jenjang usianya. Gejala kejiwaan yang dialami anak balita ternyata berbeda dengan gejala kejiwaan yang dialami remaja, atau orang dewasa. Gejala kejiwaan semacam ini akan memberikan informasi tentang perlunya menyampaikan ajaran akhlak sesuai dengan perkembangan jiwanya. Dengan demikian, ilmu jiwa juga dapat memberikan masukan dalam rangka merumuskan metode dan pendekatan dalam pembinaan akhlak.
IV. AKHLAK RASULULLAH
Akhlak Rasulullah merupakan sumber yang nyata bagi etika islam, karena ia merupakan implementasi dari pesan-pesan Allah (al-Qur’an) dan sekaligus sebagai indikasi dari eksistensi menusia yang memiliki kesehatan mental (jiwa) dan spiritual yang unggul dan sempurna.
Mengenai kesempurnaan akhlak Rasulullah ini telah disampaikan dalam al-Qur’an, yang berbunyi:
وإنك لعلى خلق العظيم
“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung (Q.S.al-Qalam:4)
Di dalam al-Qur’an, Allah telah menerangkan tentang sifat dan peran Nabi Muhammad. Diantaranya dalam surat Al-Ahzab, ayat 45-47 yang artinya “Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru pada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah.”
Rasulullah sendiri juga menerangkan tugasnya sebagai perenovasi akhlak/perilaku umat, sebagaimana hadits Nabi,
إنما بعثت لأتمّممّ مكارم الأخلاق
“Sesungguhnya aku telah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (H.R. Ahmad dari Abu Hurairah)
Telah terkumpul pada Rasulullah, akhlak mulia, keutamaan-keutamaan dan kebaikan-kebaikan yang tidak terdapat pada manusia lainnya. Beliau membuka hati-hati dengan tauhidnya yang jernih, syariatnya yang mudah dan akhlaknya yang luhur.
Diantara sifat dan akhlak Rasulullah yang menonjol adalah:
a) Kejujuran
Kejujuran Rasulullah telah diakui oleh masyarakat Arab pada waktu itu, bahkan sebelum beliau diangkat sebagai rasul. Buktinya beliau dipercaya oleh seorang saudagar (yang kelak menjadi istrinya), Khadijah untuk memimpin rombongan dagang ke negeri-negeri lain.
b) Kezuhudan
Sifat zuhud Rasul tersirat dari berbagai hadits yang menceritakan kesederhanaan kehidupan beliau. Meskipun beliau adalah seorang pemimpin umat, yang bisa saja mendapatkan kemewahan. Namun beliau tetap bersikap sederhana karena kezuhudannya.
c) Ketawadhu’an
Sesuai dengan perintah al-Qur’an agar kita senantiasa bersifat tawadhu’, Rasulullah telah memberikan tauladan kepada umatnya.
واخفض جناحك لمن اتبعك من المؤمنين
“dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman” (asy-Syuaraa’: 215)
d) Pemaaf
Allah telah memerintahkan Rasul untuk menjadi orang yang pemaaf.
خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (Q.S. al-A’raaf:199)
e) Sabar
واصبر وما صبرك إلّا بالله ولا تحزن عليهم ولا تك في ضيق مما يمكرون
“Bersabarlah (hai Muhammad). Dan tidaklah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan jangnlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu berkecil hati terhadap tipu daya yang mereka lakukan.” (Q.S. an-Nahl: 127)
f) Kasih sayang (rahmat)
فبما رحمة من الله لنت لهم ، ولو كنت فظا غليظ القلب لانفضوا من حولك، فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في الأمر، فإذا عزمت فتوكل على الله، إن الله يحب المتوكلين
“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-rang yang bertawakkal pada-Nya. (Q.S. Ali Imran:159)
V. AKHLAK ISLAMI DAN PEMBENTUKANNYA
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Akhlak Islami
Secara sederhana akhlak islami dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran islam atau akhlak yang bersifat islami. Kata islam di belakang kata akhlak berfungsi sebagai sifat. Jadi, akhlak islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging, dan sebenarnya, yang didasarkan pada ajaran islam.
Ruang lingkup akhlak islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Sedangkan ciri-ciri akhlak Islam ada lima macam:
1) Akhlak rabbani; adalah akhlak yang bersumber kepada wahyu Ilahi yang tercantum dalam Al-Qur?an dan Sunnah Rasul saw. Akhlak rabbani menekankan pada tujuan untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sumber akhlak rabbani adalah bukan etika dan moral (seperti penjelasan di atas). Kebenaran nilai dalam akhlak ini bersifat mutlak dan terhindar dari nilai moral yang kacau. Ayat yang berhubungan dengan akhlak sekitar 1500 ayat dan banyak hadits Nabi .Seperti isyarat dalam QS al-Baqarah ayat 153
وأن هذا صراطي مستقيما فاتبعو ه , ولا تتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله ...
“Inilah jalan-Ku yang lurus, hendaklah kamu mengikutinya jangan kamu ikuti jalan-jalan lain, sehingga kamu bercerai-berai dari jalan-Nya” .
2) Akhlak manusiawi; adalah ajaran akhlak untuk manusia yang membutuhkan kebahagiaan yang hakiki. Ajaran ini diperlukan untuk memenuhi tuntutan fitrahnya, karena untuk memelihara eksistensi manusia sebagai mahluk terhormat.
3) Akhlak universal; adalah ajaran akhlak yang mencakup semua aspek kehidupan manusia baik dalam dimensi vertikal maupun horizontal. Seperti kandungan QS al-An?am ayat 151, bahwa manusia wajib menghindari sepuluh keburukan, yaitu syirik, ‘aq lil walidain (durhaka terhadap orang tua), qatlul walad lil imlaq, perbuatan keji terbuka atau tertutup, qatlu nafs illa bil haq (membunuh tanpa ada hak), aklu malil yatim (memakan harta anak yatim), tathfif fil kail wal wazn (mengurangi timbangan, membebani orang lain, melampaui batas, persaksian tidak adil dan khianat.
4) Ahlak keseimbangan; manuisia mempunyai akhlak yang bersumber pada hati nurani, akal dan kekuatan buruk yang didorong hawa nafsu. Setiap orang mempunyai naluriah hewani dan naluriah malaikat. Juga mempunyai unsur ruhani dan jasmani. Masing-masing membutuhkan pelayanan yang seimbang. Kerena manusia menghendaki dua kebahagiaan yang seimban, yaitu dunia- akhirat, maka pemenuhan kebutuhan tersebut juga dilakukan secara seimbang.
5) Akhlak realistik; manusia mempunyai kelemahan di sisi kelebihan yang dimilikinya. Manusia biasa melakukan kesalahan-kesalahan atau pelanggaran. Ajaran ini memberi kesempatan kepada manusia untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan dengan bertaubat
B. Pengembangan Akhlak Islami
Setidaknya ada dua pendapat mengenai apakah akhlak itu dapat dibentuk atau tidak. Pendapat pertama mengatakan bahwa akhlak tidak dapat dibentuk, karena akhlak adalah insting (gharizah) yang dibawa manusia sejak lahir. Sedang pendapat kedua mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan dan pembinaan, perjuangan keras dan sungguh-sungguh.
Pada kenyataanya, usaha-usaha pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai metode terus dikembangkan. Ini menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina, dan pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hormat kepada ibu bapak, sayang kepada sesama makhluk, dan seterusnya.
Pembinaan akhlak merupakan tumpuan perhatian pertama dalam islam, sesuai misi Nabi untuk memperbaiki akhlak.
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
“Hanya saja aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”
VI. AKHLAK DAN TASAWUF
A. Akhlak Tasawuf
Akhlak Tasawuf adalah merupakan salah satu khazanah intelektual Muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan dan memandu perjalanan hidup umat agar selamat di dunia dan di akhirat. Tidak berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurkan akhlak mulia. Sejarah mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang prima.
Khazanah pemikiran dan pandangan di bidang akhlak dan tasawuf itu kemudian menentukan momentum pengembangannya dalam sejarah, yang antara lain ditandai oleh munculnya sejumlah besar ulama tasawuf dan ulama dibidang akhlak. Mereka tampil pada mulanya untuk memberi koreksi pada perjalanan umat saat itu yang sudah dimulai miring ke arah yang salah.
Mereka mencoba meluruskan, dan ternyata upaya mereka disambut positif karena dirasakan manfaatnya. Untuk melestarikan pemikiran dan pendapatnya itu mereka menulis sejumlah buku yang secara khusus membahas masalah akhlak tasawuf. Kitab Tahzib al-Akhlaq karangan Ibn Miskawaih, Ihya ‘Ulum Al-Din karangan imam Al-Ghazali dan belakang muncul kitab Akhlaq karangan Ahmad Amin dan Khuluq al-Muslim, karangan Muhammad al-Ghazali adalah merupakan bukti kepedulian para ulama terhadap bidang akhlak dan tasawuf.
Para ahli tasawuf, pada umumnya membagi tasawuf pada tiga bagian. Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki, dan ketiga tasawuf amali.katiga macam tasawuf ini memiliki tujuan yang sama, yaitu mendekatkan diri pada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Dengan demikian, dalam proses bertasawuf, seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia.
B. Hubungan Akhlaq & Tasawuf
Hubungan antara akhlak dan tasawuf dapat kita ketahui dari uraian yang disampaikan Harun Nasution. Menurutnya, ketika mempelajari tasawuf ternyata pula al-Qur’an dan Hadits mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan Hadits menekankkan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong-menolong, murah hati, dan berbagai akhlak terpuji lainnya. Nilai-nilai ini harus dimiliki oleh seorang muslim, dan dimasukkan ke dalam dirinya dari semasa ia kecil. Secara sederhana, hubungan keduanya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, mencakup dua aspek berikut:
1. etika Horizontal الأخلاق الإنسانية
2. etika Vertikal الأخلاق باالله
Kedua aspek ini menjadi semacam media untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Dalam implementasinya, kedua aspek ini dilakukan dengan cara :
1. Dengan akhlak, kita berusaha menghias diri, dengan sifat-sifat terpuji, dan menjahui sifat-sifat tercela.
2. Dengan Tasawuf, kita selalu berusaha membersihkan hati dari dosa-dosa atau kotoran-kotoran rohaniyah.
Kedua cara di atas dilakukan dengan tujuan agar kita bisa dan selalu dekat dengan yang Maha suci, maka kita semaksimal mungkin berusaha terus dan terus mensucikan diri kita dari hal-hal yang dapat menghalangi kita untuk bisa dekat dengan Dzat Yang Maha Suci.
VII. PENGERTIAN, SUMBER DAN MANFAAT TASAWUF DALAM ISLAM
A. Pengertian Tasawuf
Dari segi bahasa, terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan untuk menjelaskan makna tasawuf. Diantaranya sebagaimana diungkapkan Harun Nasution bahwa ada lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu:
1. Al-suffah (ahl al-suffah)
2. Saf (barisan)
3. Sufi (suci)
4. Sophos (bahasa Yunani:hikmat), dan
5. Suf (kain wol)
Semua kata tersebut memiliki hubungan dengan pengertian tasawuf dari sudut pandang masing-masing. Dapat segera dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban demi kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.
Sedangkan pengertian tasawuf dari segi terminologis (istilah) sangatlah bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan untuk mendefinisikan tasawuf. Sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan sudut pandang manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan.
Dari sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan duniawi dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah. Jika tasawuf dipandang dari sudut pandang bahwa manusia adalah makhluk yang harus berjuang maka tasawuf adalah upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Sedangkan jika dilihat dari sudut pandang bahwa manusia adalah makhluk yang ber-Tuhan, maka tasawuf adalah sebuah kesadaran fitrah (ketuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yag dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Dari ketiga sudut pandang tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah.
B. Sumber Tasawuf
Dikalangan para orientalis, dijumpai pendapat yang mengatakan bahwasumber yang membentuk tasawuf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi (Nasrani), Yunani, Hindu/Budha, dan Persia.
Secara umum, ajaran islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriyah dan batiniyah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniyah inilah kemudian muncul tasawuf. Tasawuf mendapatkan perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran islam, al-Qur’an dan Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Adanya unsur luar islam yang mempengaruhi tasawuf itu merupaka masalah akademik, bukan merupakan masalah akidah, sehingga dapat diterima disertai dengan sikap kritis dan obyektif. kita mengakui bahwa islam adalah agama universal yang dapat bersentuhan dengan berbagai lingkungan social. Dalam hubungan ini, maka islam, termasuk ajaran tasawufnya dapat bersentuhan atau memiliki kemiripan dengan ajaran tasawuf yang berasal dari luar islam itu sendiri.
C. Manfaat Tasawuf dalam Islam
Dapat dikatakan bahwa tasawuf merupakan inti ajaran islam, dengan berbagai pertimbangan berikut:
1. Tasawuf merupakan upaya untuk mewujudkan rohani yang sehat, yang menjamin kebahagiaan di akhirat kelak.
2. Tasawuf juga merupakan sarana pencapaian jiwa dan sikap yang mulia, yang dihasilkan dari ketundukan dan ketakwaannya pada Tuhan.
3. Pada masa tertentu, manusia sudah tidak lagi dapat merasakan kenikmatan duniawi, maka tak ada jalan lain baginya kecuali hanya mendekatkan diri kepada Allah, tempat ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.
4. Tasawuf dapat menjdai salah satu alternatif untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan modern, seperti materialism, hedonisme, vitalisme dan lain sebagainya.
VIII. ASAL-USUL TASAWUF
Misitisisme dalam Islam diberi nama tasawuf dan oleh kaum Orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah Orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. Tasawuf atau Sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkotemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad (الاتحاد), bersatu dengan Tuhan. Tasawuf. merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tasawuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.
Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.
Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.
Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.
Agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Sesuatu yang dating belakangan, dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat yang demikian ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?
Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."
Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya."
Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).
Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal."
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.
IX. DASAR KEHIDUPAN PARA SUFI
A. Maqamat
Maqamat atau “tahapan-tahapan” merupakan tingkatan suasana kerohanian yang ditunjukkan oleh seorang sufi. Bentuk maqamat adalah pengalaman-pengalaman yang dirasakan dan diperoleh seorang sufi melalui usaha-usaha tertentu; jalan panjang berisi tingkatan-tingkatan yang harus ditempuh oleh seorang sufi agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Para teoritikus sufi memang berbeda pendapat mengenai jenis-jenis maqam yang harus dilalui oleh setiap orang yang hendak menempuh jalan sufi. Akan tetapi, pada dasarnya mereka sepakat bahwa bagi kaum sufi maqam-maqam tersebut adalah suatu kepastian. Tidak ada sufi tanpa melewati maqam-maqam tersebut. Selain itu, mereka juga sependapat mengenai pengertian yang dikandung oleh konsep-konsep dalam maqam. Di antara prinsip-prinsip maqam dalam tasawuf adalah sebagai berikut:
1. Wira’i
الورع، هو اجتناب الشهوات خوفا من الوقوع في المحرمات، وقيل هو ترك كل شبهة، وقال النبيّ صلعم :الورع سيد العمل. وأوحى الله الى موسى عليه السلام : يا موسى لن يتقرب المتقربون إلي بمثل الورع، وقال بعض الأولياء : ملاك الدين الورع وآفته الطمع. وقال الحسن البصري مثقال ذرة من الورع خير من ألف مثقال من الصوم والصلاة.
Warak (wara’), yaitu menjauhkan diri dari segala sesuatu yang di dalamnya mengandung syubhat (keraguan) terhadap yang halal karena dengan mendekati syubhat seseorang akan terjerumus kepada sesuatu yang haram. Omar Kailani mengatakan bahwa para sufi membagi warak atas dua bagian. Pertama, warak lahiriah, yakni tidak menggunakan anggota tubuhnya untuk hal-hal yang tidak diridhai Allah. Kedua, warak batiniyah, yaitu tidak menempatkan atau mengisi hatinya kecuali dengan Allah.
2. Zuhud
الزهد، هوالرضا بما قسم الله لك.
Zuhud (al-zuhd) adalah keadaan meninggalkan dunia dan menjauhkan diri dari kehidupan kebendaan. Zuhud, bagi kaum sufi adalah maqam terpenting yang harus dilalui. Seseorang yang hendak menjadi sufi harus terlebih dahulu menjadi zahid (asketik) karena menurut mereka, dunia dan segala kehidupan materinya ini merupakan sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan yang mendatangkan dosa. Prinsip kaum sufi mengenai dunia antara lain diucapkan Hasan al-Basri (w. 110/728) “perlakukanlah dunia ini sebagai jembatan untuk dilalui, jangan membangun apa-apa di atasnya”. Lebih jauh ia mengatakan “jauhilah dunia ini karena ia bagaikan ular, lembut dalam elusan tangan tetapi racunnya mematikan. Hati-hatilah terhadap dunia ini karena ia penuh kebohongan dan kepalsuan”.
3. Tawakkal (al-tawakkul)
التوكل هو ترك الأفعال العادية الصادرة من الهوى باالتزام المأمور بها
yaitu menyerahkan diri secara total kepada Allah. Tawakkal berhubungan dengan nilai kesempurnaan batin seorang sufi karena menyadari bahwa Allah bertindak sesuai dengan kehendaknya. Ia menyerahkan diri tanpa bertanya sebab-sebabnya dan meninggalkan usaha di luar batas kemampuannya sebagai manusia.
4. Ikhlas
الاخلاص هو أن تكون حركته وسكونه فى سره وعلانيته لله تعالى وحده
Yaitu jika perbuatan seseorang itu masih tetap sama, baik ketika di hadapan orang (makhluk) ataupun tidak. Hal ini semata-mata karena ia melaksanakan perbuatan itu karena Allah. Ikhlas merupakan kebalikan dari syirik. Jika seseorang tidak ikhlas dalam perbuatannya, berarti ada unsur syirik dalam hatinya meskipun hanya sedikit.
5. Taubat
التوبة هي الرجوع عما كان مذموما فى الشرع إلى ماهو محمودا فيه وشروط التوبة عند أهل السنة والجماعة ثلاثة : الندم على ما سلف،والترك فى الحال، والعزم على أن لا يعود إلى مثل ذالك فى المستقبل.
Tobat (al-taubah). Menurut para sufi dosa merupakan pemisah antara seorang hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin berada sedekat mungkin dengan Allah ia harus membersihkan diri dari segala macam dosa dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang sebenarnya, yang tidak melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi memahami tobat dengan lupa pada segala hal kecuali Allah. Tobat tidak dapat dilakukan hanya sekali, tetapi harus berkali-kali sebagaimana hadis yang berbunyi: “demi Allah saya mohon ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali” (HR. Bukhari).
6. Uzlah
العزلة هي التفرد عن الخلق فعليك بها لأن الخلق يشغلونك عن الله ويوقعونك فى الشر والهلاك إلا فى جمعة أوجماعة أوعيد أوحج أو مجلس علم أو حاجة فى معيشة.
Uzlah adalah mengasingkan diri dari makhluk. Uzlah bertujuan untuk menjauhkan diri dari urusan makhluk, karena makhluk dapat membuat kita lupa dari mengingat Allah.
Setidaknya ada dua macam uzlah, yakni uzlah secara fisik dan uzlah secara pikiran/jiwa. Uzlah secara fisik berarti kita menjauh dari tempat tinggal makhluk, sedangkan uzlah secara jiwa adalah kita menjauhkan diri dari kesibukan memikirkan urusan makhluk dan hanya mengingat Allah, meskipun kita hidup di tengah-tengah makhluk.
7. Qonaah
القناعة هي السكون عند عدم المعلوفات، الإشتغال باالموجود
Qonaah berarti menerima apa yang kita dapatkan dan bersikap tenang ketika tidak mendapatkan apa yang diharapkan, serta tidak “kemrungsung” pada hal-hal yang tidak dianugerahkan pada kita.
B. Hal/Ahwal
Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, takut, dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebgai hal adalah takut (al-khauf), rendah hati (at-tawadhu’), patuh (at-taqwa), ikhlas (al-ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-wajd), dan berterima kasih (asy-syukr).
Hal berbeda dengan maqam. Hal bukan diperoleh atas usaha manusia, melainkan anugerah dan rahmat dari Tuhan. Selain itu, hal juga bersifat sementara, datang dan pergi. Datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalannya mendekati Tuhan.
X. TASAWUF AMALI
Para ahli umumnya membagi ilmu tasawuf kepada 3 macam :
1. تصوف فلسفي Tasawuf falsafi /Tasawuf ‘ilmi
2. تصوف نظري Tasawuf Nazhari /Tasawuf Teoritis
3. Tasawuf ‘amaliتصوف عملي
Namun pada sub bab ini, hanya akan dibahas mengenai اوتصوف تطبيقي Tasawuf Terapan/amali saja.
Jika dikatakan bahwa tasawuf adalah sebuah upaya untuk lebih mendekatkan diri pada Allah, maka tasawuf ‘amali adalah inti dari tasawuf karena tasawuf ‘amali ini merupakan wujud dari upaya pendekatan diri kita pada Allah. Selain itu, tasawuf ‘amali juga merupakan realisasi ikrar kita pada Allah da Rasul-Nya, yakni :سمعنا وأطعنا . Sekaligus menjauhi sifat yang tidak disukai Allah, seperti yang disabdakan Rasulullah : إن الله كره لكم قيل وقال وكثرة السؤال وإضاعة المال
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai ‘katanya’ dan ‘katanya’, terlalu banyak Tanya, serta menyia-nyiakan harta”
Makna dari hadits ini adalah bahwa Allah tidak menyukai manusia yang hanya terbatas pada retorika semata, tanpa diikuti dengan perbuatan nyata. Bukankah dalam al-Qur’an juga telah disebutkan bahwa hal semacam itu adalah sesuatu yang buruk dan sangat dibenci Allah.
Secara sederhana, تصوف عملي dapat dimaknai sebagai suatu ibadah yang komitmennya sangat kuat dalam berpegang kepada sunnah Rasulullah. Tasawuf ‘amali adalah perbuatan atau tindakan yang bermakna ibadah sesuai dengan tujuan tasawuf dalam rangka mendekatkan diri pada Allah.
Amalan-amalan tasawuf ‘amali, antara lain terrangkum dalam karya Ahmad Warid dengan judul Dahsyatnya Pengaruh 24 Jam “Bersama” Rasulullah. Dalam makalah ini akan kami sampaikan dalam kategori-kategori berikut:
a. Amalan yang berkaitan dengan doa/wirid
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Doa adalah ibadah. Allah dan Rasulullah telah memerintahkan kita agar senantiasa memanjatkan doa kepada Allah. Dengan doa, kita mengakui kelemahan dan kadhaifan kita sebagai makhluk, dan hanya Allah yang Maha Berkuasa.
Secara luas, doa kita laksanakan dalam berbagai kesempatan, dimanapun, dan dalam keadaan apapun, diantaranya ketika bangun tidur, masuk dan keluar WC, sebelum dan sesudah berwudhu, keluar-masuk rumah, ketika bercermin, dan saat-saat lain dalam kehidupan kita.
Disebutkan pula mengenai bacaan-bacaan yang hendaknya dibaca oleh seorang mukmin, antara lain sayyidul istihgfar, membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at, shalawat, dan kalimah thoyyibah.
b. Amalan yang berkaitan dengan sholat
Sholat adalah kewajiban umat islam, namun seringkali kita menemukan banyak umat islam yang tidak melaksanakan sholat wajib, apalagi sholat sunnah. Dalam tasawuf ‘amali, sholat sunnah merupakan amalan yang sangat dianjurkan. Diantara sholat sunnah yang dianjurkan adalah sholat dhuha, sholat rawatib, shalat tasbih, sholat syukrul wudhu, shoalat fajar dan sholat tahajjud.
Selain itu, kita juga dianjurkan untuk “memperindah” sholat kita dengan membaca doa pada waktu-waktu istijabah dalam sholat dan setelah selesai sholat, diantaranya doa mohon keselamatan setelah selesai sholat, doa keselamatan dari neraka setelah sholat maghrib dan shubuh, antara tasyahud akhir dan salam, doa mohon kesehatan setelah sholat fardhu, dan lainnya.
c. Amalan ibadah lainnya
Tasawuf adalah sebuah upaya mendekatkan diri pada Allah. Oleh karena itu, pembahasan/ruang lingkup tasawuf sangatlah luas. Tasawuf mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Beberapa amalan tasawuf yang terkandung dalam referensi di atas, antara lain: mandi pada hari Jum’at, puasa Senin-Kamis, termasuk juga tentang tata cara/pola kehidupan keseharian manusia, hingga tentang posisi berbaring dalam tidur dan sebagainya.
XI. MENGENAL TARIKAT
A. Pengertian Tarikat
Dari segi bahasa, tarikat berasal dari bahasa arab, thariqah yang artinya jalan, keadaan, madzhab, metode. Tarikat atau thariiiqah adalah jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam upaya untuk mencaai tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Dalam dalam perkembangannya menjadi suatu organisasi sufi, yang melegalisir aktifitas kesufian. Hamka menyatakan bahwa di antara makhluk dan Khalik itu ada perjalanan hidup yang harus ditempuh. Inilah yang kita katakan tarikat.
Praktek sufi disistimatisir sedemikian rupa sehingga masing-masing thariqah mempunyai metode pendekatan kepada Allah swt yang berbeda satu sama lain. Di sisi lain, J. Spencer Trimigham menyatakan bahwa thariqah adalah suatu metode praktis untuk menuntun (membimbing) seorang sufi secara berencana dengan jalan pikiran , prasarana dan tindakan, terkendali terus kepada suatu rangkaian dari maqam untuk dapat merasakan hakikat yang sebenarnya.
Dalam Thariqah atau Tarekat terdapat tiga unsur, yakni murid, guru, dan ajaran. Guru adalah orang yang mempunyai otoritas dan legalitas kesufian, yang berhak mengawasi muridnya dalam setiap langkah dan geraknya sesuai dengan ajaran Islam. Dan oleh karenanya ia pasti memilki keistimewaan tertentu seperti bersih jiwanya. Dalam kaitan ini, Abu Bakar Atjeh mengutip isi buku Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah A’lam al-Guyub bahwa seorang guru adalah seseorang yang telah mencapai maqam (posisi) Rijal al-Kamal (manusia sempurna) yakni telah mencapai tingkat kesempurnaan dalam hal suluk, syari’ah dan hakikatnya, sesuai dengan ajaran Islamdan telah mendapat ijazah untuk mengajarkan suluk kepada orang. Sedang murid adalah orang yang menghendaki (menginginkan) petunjuk dalam amal ibadah.
Di samping segi-segi negatif yang ada juga segi-segi positifnya. Antara lain, dapat membimbing seseorang untuk berada sedekat mungkin dengan Allah swt, di samping memiliki al-Akhlaq al-Karimah serta tetap konsisten dengan syahadatnya. Meskipun dalam kadar yang relatif. Di kalangan angota-anggotanya terpupuk rasa solidaritas yang tinggi dan tolong menolong. Sikap kesederhanaan mewarnai kehidupan mereka sebagai perwujudan dari konsep zuhud (menjauhi kemewahan hidup duniawi); meskipun kadang nampak berlebih-lebihan dalam penerapan bentuk hidup sederhana.
B. Tata Cara Pelaksanaan Tarikat
Dalam tarikat biasanya, murid (pengikut tarikat) haruslah melalui bebrapa prosedur sebelum ia dinyatakan menjadi pengikut suatu aliran trikat tertentu dan mengikuti amalan/ajaran tarikat tersebut. Seorang murid hendaklah mengikuti baiat kepada guru (mursyid). Baiat dalam tradisi sufi adalah istilah bagi penampakan keterkaitan sang murid kepada syaikh mursyid dalam rantai bimbingan, penyucian dan memperoleh derajat ihsan. Beberapa tarikat memiliki amalan dan tata cara peribadatan yang berbeda selain amalan-amalan wajib dalan syari’at islam. Namun, secara umum, tata pelaksanaan tarikat-tarikat tersebut meliputi antara lain:
1. Zikir, yaitu ingat yang terus menerus kepda Allah dalam hati serta menyebutkan nama-Nya dengan lisan. Zikir ini berguna sebgai alat control bagi hati, ucapan dan perbuatan agar tidak menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan oleh Allah.
2. Ratib, yaitu mengucapkan lafadh tahlil dengan gaya dan irama tertentu.
3. Muzik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan bunyi-bunyian, seperti rebana.
4. Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan-bacaan tertentu untuk menimbulkan kehidmatan.
5. Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir yang tertentu.
XII. PROBLEMATIKA MASYARAKAT MODERN DAN PERLUNYA AKHLAK TASAWUF
A. Masyarakat Modern
Secara harfiyah, masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir.
Deliar Noer memberikan cirri-ciri masyarakat modern sebagai berikut:
1. Bersifat rasional, yakni lebih mengutamakan pendapat akal pikiran daripada emosi.
2. Berpikir untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat sesaat, tetapi selalu dilihat dampak sosialnya secara lebih jauh.
3. Menghargai waktu, yaitu selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dan perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
4. Bersikap terbuka, yakni mau menerima saran, masukan, baik berupa kritik, gagasan dan perbaikan.
5. Bersikap obyektif, yakni melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaannya bagi masyarakat.
Kehadiran ilmu pengetahuan dan tekhnologi, di pungkiri atau tidak, membawa dampak yang sangat besar bagi masyarakat dan tatanannya. Dampak tersebut ada yang bersifat positif dan ada pula yang bersifat negatif.
Beberapa problem yang dihadapi masyarakat terkait dengan adanya perkembangan ilmu dan tekhnologi:
1. Disintegrasi ilmu pengetahuan
Spesialisasi dalam bidang ilmu pengetahuan yang memberikan pandangan dan paradigma yang berbeda-beda terkadang membingungkan masyarakat. bahkan pandangan yang diberikan masing-masing disiplin ilmu pengetahuan terkadang memberikan jawaban yang kontradiktif bagi satu permasalahan.
2. Kepribadian yang terpecah
Karena kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang coraknya kering nilai-nilai spiritual dan terkotak-kotak itu, maka manusianya menjadi pribadi yang terpecah.
3. Penyalahgunaan iptek
Sebagai akibat dari terlepasnya ilmu pengetahuan dari ikatan spiritual, maka iptek telah disalahgunakan dengan segala implikasi negatifnya. Penggunaan internet untuk mengakses informasi yang tidak layak, dan sebagainya merupakan sebagian contoh penyalahgunaan iptek yang terjadi dalam masyarakat modern.
4. Pendangkalan iman
Berawal dari pola pikir keilmuan seperti di atas, iman dalam diri manusia akan mengalami pendangkalan. Hal ini diperparah dengan tipe keilmuan yang hanya mengakui fakta-fakta yang bersifat empiric semata.
5. Pola hubungan materialistic
Pola hubngan yang terjadi kemudian adalah pola hubungan yang hanya didasarkan atas pemerolehan keuntungan, terutama yang bersifat materi.
6. Stress dan frustasi
Kehidupan materialistis yang semakin kompetitif menyebabkan manusia harus mengerahkan segala daya dan pikirannya. Hidupnya hanya diisi dengan bekerja, bekerja dan bekerja tanpa mengenal batas kepuasan. Pola hidup yang semacam ini rentan menimbulkan beban pikiran yang berat, bahkan nanti akan mengakibatkan stress dan frustasi.
B. Perlunya Tasawuf dalam Masyarakat Modern
Menyadari akan problematika yang tengah dihadapi masyarakat modern sebagaimana telah dijabarkan di atas, banyak ahli yang menawarkan berbagai solusi yang dianggap mampu mengatasi bermacam problem tersebut. Dan salah satu cara yang disepakati dan diakui dapat mengatasi maslah tersebut adalah dengan mengembangkan kehidupan berakhlak dan bertasawwuf.
Setidaknya ada tiga tujuan dalam memasyarakatkan tasawwuf/sufisme. Pertama, turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spiritual. Kedua, memperkenalkan literatur atau pamahamantentang aspek esoteric dalam islam. Ketiga, memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek sufisme adalah jantung ajaran islam.
Intisari ajaran tasawwuf adalah bertujan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga dengan kesadarannya itu, seseorang merasa di hadirat-Nya. Upaya yang dilakukan antara lein melalui kontemplasi, melepaskan diri dari jeratan duniawi. Sikap dan pandangan sufistik ini sangat diperlukan oleh masyarakat modern yang mengalami kekeringan spiritual. Dengan catatan, tujuan tasawuf tidak dilakukan secara eksklusif dan individual, melainkan berdaya aplikatif dalam merespon berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat, Solo: Ramadhani, 1985
Adz-Dzaky, Hamdani Bakran, Psikologi Kenabian-Kecerdasan dan Akhlak Kenabian, Yogyakarta: Daristy, 2006
Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Rajawali Press, 1992
Asy’arie, Musa, Manusia Pambentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992
Dewantara, Ki Hajar, Bagian Pertama Pendidikan, Yogyakarta: Taman Siswa, 1966
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984
http://wwwbloggerp3mstainpalopo.blogspot.com/2009/04/agama-dan-masyarakat-modern_26.html
http://kangkolis.blog.com/2464758/
http://soni69.tripod.com/artikel/tasawuf.htm
http://www.aminazizcenter.com/2009/artikel-61-September-2008-kuliah-akhlak-tasawuf.html
Jamaluddin, Syaikh Muhammad, Mau’idhah al-Mukminin, Juz II, Jakarta: Darul Kutub al-Islamiyah, 2005
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1983
-------, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Bulan Bintang
-------, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1995
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafndo Persada, 1997
Noer, Deliar, Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Mutiara, 1987
Nur bin Sayyid Ali, Sayyid, Tasawuf Syar’i, Jakarta: Hikmah, 2003
Rajab, Mansur Ali, Ta’ammulat fi Falsafah al-Akhlaq, Mesir: Maktabah al-Anjalu al-Mishriyah, 1961
Said, M, Etika Masyarakat Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1976
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996
Warid, Ahmad, Dahsyatnya Pengaruh 24 Jam “Bersama” Rasulullah, Klaten: Qalbun SalimPress, 2008
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990
Zainu, Muhammad Jamil, Muhammad Rasulullah, Akhlak Nabawiyyah dan Sifat-sifat Keutamaannya, Surabaya: Risalah Gusti, 1995
Zubair, Ahmad Charis, Kuliah Etika, Jakarta: Rajawali Press, 1980
12 January 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
kerennn
ReplyDeleteterima kasih Rafiatun
ReplyDelete