Pemerintah menetapkan ketentuan beban kerja guru minimal sebanyak 24 jam mengajar per minggu. Peraturan ini telah banyak dikeluhkan para guru. Tidak hanya oleh guru yang "ogah-ogahan" bekerja (atau sedikit malas), tapi juga karena konsekuensi yang ditimbulkan oleh peraturan tersebut. Bagi sebagian sekolah, pemenuhan jam mengajar guru, minimal sebanyak 24 jam per minggu tersebut sudah dapat dipenuhi oleh sekolah sendiri. Artinya, guru yang bersangkutan tidak perlu jajah deso milangkori untuk mencari-cari jam tambahan di sekolah lainnya. jumlah minimal jam mengajar itu sudah dapat terpenuhi di sekolah induk. Akan tetapi bagi beberapa sekolah yang lain, kebutuhan jam mengajar minimal tersebut belum dapat dipenuhi oleh sekolah induk sang guru. Sehingga guru yang bersangkutan harus bermigrasi ke sekolah lain demi untuk memenuhi jumlah minimal jam mengajar. Jika diibaratkan seseorang yang berkeluarga (menikah), guru tersebut harus berpoligami atau berpoliandri untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan seringkali tidak hanya cukup dengan satu istri/suami, tapi harus berpindah-pindah pada tiga atau empat istri atau suami.
Permasalahan yang muncul kemudian juga tak jauh beda dengan permasalahan orang yang berpoligami atau berpoliandri. Seharusnya kita bertindak adil terhadap semua pasangan kita, meskipun kita sedang berpoligami/berpoliandri. Tapi kecondongan hati itu tidak dapat dipungkiri. Ketika kita sedikit saja lebih sayang kepada istri tua, istri yang lain pasti menuntut hal yang sama. Ketika sudah ada istri muda, istri tua pun dilupakan. Karena istri yang satu lebih cantik, pintar memasak, lalu istri yang lain jadi diabaikan. Begitu juga para guru yang harus mengajar di dua atau tiga sekolah sekaligus untuk memenuhi jam mengajar. Terkadang guru tersebut dihadapkan pada situasi dimana sang guru mesti memilih, ke tempat manakah dia harus menuju. Memang terkadang sekolah induk/asal lah yang diutamakan, tetapi tidak jarang pula yang karena kenyamanan yang diterima di sekolah baru, sekolah induk jadi ternomor-duakan. Kecondongan hati ini tentu juga berpengaruh terhadap pelayanan yang diberikan guru terhadap sekolah tersebut. Tentu saja keadaan samacam ini menuntut sikap bijaksana sang guru dalam mengambil keputusan; dalam menentukan skala prioritas yang harus lebih diutamakan.
Para istri atau suami juga hendaknya lebih dewasa dalam memahami kondisi pasangannya. Ia harus sadar bahwa memang sulit jika berada dalam posisi semacam itu. Memang sulit untuk berbagi seseorang yang kita cintai; kita butuhkan kehadirannya selalu di sisi kita, namun jika kita memang tidak sanggup memenuhi kebutuhan pasangan kita, tak layak jika kita tak rela pasangan kita mencari pemenuhan di hati yang lain. Sekolah tidak semestinya menuntut guru yang terpaksa berpoligami untuk selalu ada untuknya. Keadaan guru yang menjalani poligami tersebut tentu lebih sulit jika masing-masing sekolah menuntut pelayanan maksimal hanya untuk sekolah tersebut semata. Dampak buruk lainnya adalah menurunnya kualitas pelayanan guru terhadap pembelajaran siswa di masing-masing sekolah.
Memang tujuan dari peraturan ini adalah demi kebaikan (dan ini memang terwujud), akan tetapi dampak buruk juga timbul darinya.
03 November 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment