Setiap orang tentu memiliki jiwa seni, hal ini tidak dapat dipungkiri karena seni adalah cerminan dari kebudayaan suatu bangsa dan tatanan masyarakatnya. Melalui seni orang bisa mengekspresikan rasa dan bakatnya. Bahkan dalam jiwa kesenian kita bisa menemukan “Tuhan” yang mungkin terkadang kita tidak menemukan-Nya dalam diskursus keagamaan.
Karya seni, memandang suatu permasalahan tidak hanya dari dua “wajah”, berbeda dengan berbagai diskursus keilmuan yang lain, yang kebanyakan memandang permasalahan hanya antara hitam dan putih saja. Dalam sejarahnya, seni adalah sebuah alat dan tempat evolusi yang tidak terkesan revolusioner bagi perkembangan umat manusia.
Jalaludin ar-Rummi (seorang sufistik terkemuka) dalam ritual keagamaanya menggunakan tarian untuk sampai kepada puncak tasawufnya, dan di sanalah beliau bersama pengikutnya merasakan kedamaian dan “ekstase” karena merasa sangat dekat dengan Tuhan. Selain dalam bentuk tarian, ar-Rumi juga seorang penyair sufistik besar yang menyatakan kerinduanya kepada Tuhan dengan bahasa sastra dan karya sastranya “diakui” mulai pada zamanya hingga sekarang. Beliau juga menyampaikan ajaran agama melalui sajaknya;
Tuhan merahasiakan lautan dan menampakkan buih
Tuhan merahasiakan angin dan menampakkan debu
Bagaimana pasir bisa bertebaran sendiri?
Pasir kaulihat, angin yang menerbangkanya tidak
Bagaiman buih bisa berpercikan tanpa tenaga lautan?
Cuma buih yang kaulihat, tapi lautan kau abaikan
Di hadapan pedagang tukang sihir menyulap cahaya bulan
Dan sebagai bayarannya ia memperoleh emas
Dunia adalah tukang sihir
Kita adalah pedagang yang membeli cahaya bulan dari dunia
Dari sajak di atas Rumi menyampaikan dakwahnya dengan kemasan sastra yang kebanyakan da’i menyampaikanya dengan bahasa langsung.
Pondok pesantren sebagai sebuah lembaga yang berorientasi dalam bidang dakwah agama (religi) juga “memanfaatkan” sisi seni dalam metode dakwahnya. Di beberapa pondok pesantren yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, terdapat perkumpulan/komunitas pecinta seni yang dikelola oleh santri sendiri seperti komunitas Sangkakala di pondok pesantren Nurul Ummah, Kotagede dan Sanggar Sunan di pondok pesantren Al Munawwir, Krapyak. Keberadaan perkumpulan-perkumpulan semacam ini menjadi wadah bagi para santri untuk menyalurkan jiwa seninya.
Ada hal yang menarik ketika kita mengamati eksistensi komunitas ini. Pertama, adanya pengakuan terhadap sisi keindahan (seni) dalam diri setiap manusia, termasuk (dalam hal ini) para santri. Dunia pesantren selama ini identik dengan kitab kuning dalam berbagai cabang keilmuan dan terkesan statis pembahasannya, kurikulum yang ada di pesantren tidak mengikuti arus perkembangan zaman. Hal ini sangat terlihat pada sebagian pondok pesantren salaf yang tidak memperbolehkan santrinya mengenyam pendidikan formal, sehingga sebagian orang non-pesantren menganggap pemikiran santri pesantren terkesan “kolot”. Namun dengan adanya komunitas-komuntas seni tersebut, seolah membuktikan bahwa dunia pesantren adalah dunia yang dinamis dan sekaligus humanis. Dinamis karena konsep seni yang tidak kaku, melainkan mengikuti trend dan perkembangan yang ada. Humanis karena ia juga menghargai seluruh sisi kejiwaan manusia.
Kedua, komunitas-komunitas semacam ini dapat menjadi media dakwah islamiyah yang sangat efektif. Tentunya kita belum lupa dengan metode dakwah Sunan Bonang dengan bonang (semacam gamelan) nya, atau metode yang digunakan Sunan Kalijaga dengan wayang kulitnya. Dan di era kontemporer sekarang ini, ada grup musik Debu; Habiburrahman Al Syirazi dengan novel-novel religinya; atau grup rebana Ahbabul Mushthofa (grup pengiring habib Syeh Solo).
Jika dikaitkan dengan pesantren sebagai lembaga pendidikan islamiyah, komunitas-komunitas ini juga menjadi kawah ‘candradimuka’nya para santri yang hendak berdakwah di masyarakat. Didalamnya, para santri berproses dan belajar tentang bagaimana berdakwah dengan menarik dan persuasif. Tanpa bermaksud mengecilkan peran lembaga/elemen pesantren lainnya, penghayatan santri terhadap nilai-nilai yang telah diajarkan dalam kitab (kuning) akan semakin terasah dalam komunitas seni semacam ini. Bahkan efektifitas komunitas ini sebagai media dakwah dan kaderisasi akan semakin maksimal jika seluruh komponen dalam pesantren turut bersinergis dan saling mendukung.
Telah banyak kita jumpai para da’i yang lahir dari komunitas-komunitas seni pesantren, seperti Musthofa W. Hasyim, Zaenal Arifin Thoha, Musthofa Bisri (Gus Mus). Mereka mampu menjadi ikon-ikon seni dan sastra tanpa meninggalkan identitas kesantriannya. Bahkan dari mereka telah lahir sebuah genre baru dalam dunia seni, sastra pesantren. Tentu hal ini merupakan hal yang sangat menguntungkan bagi perkembangan dakwah islamiyah.
Pada perkembangan selanjutnya, komunitas-komunitas seni pesantren tak lagi menjadi suplemen dalam sebuah lembaga pendidikan (pesantren), melainkan bersekutu dengan elemen pesantren lainnya menjelma menjadi ruh (spirit) bagi pendidikan para da’i islam. Untuk itu, harus ada kesadaran dan pembenahan dari semua pihak, baik dari pimpinan pondok pesantren hingga santri-santri sendiri, terlebih dari pengelola komunitas tersebut.
Tidak terlalu muluk kiranya jika kita berharap ak
No comments:
Post a Comment