BLOG PRIBADI GURU SEBAGAI SEORANG PEMBELAJAR YANG HARUS TERUS BELAJAR

06 February 2019

IMPLEMENTASI MANAJEMEN STRATEGI BERBASIS SEKOLAH DALAM PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN ISLAM


                                                                                
I.         PENDAHULUAN
.Dunia pendidikan merupakan sebuah bidang sosial yang sangat dinamis. Perubahan-perubahan dalam bidang pendidikan dapat terjadi dalam tempo yang singkat. Demikian juga permasalahan yang muncul di dalamnya bisa sangat beragam. Dibutuhkan penanganan dan solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003, menjadi upaya pembaharuan pendidikan kearah peningkatan mutu. Upaya peningkatan mutu beralih menjadi tangggung jawab sekolah dengan diberlakukannya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sejalan dengan era otonomi daerah. Banyak konsep pendidikan dalam UU Sisdiknas 2003 yang bernilai filosofis, yang dapat membangun ”Paradigma Baru” pendidikan Indonesia.[1]
MBS dipandang sebagai alternatif pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan daerah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen dimana sekolah menjadi unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian manajemen lebih besar kepada kepala sekolah, guru, dan masyarakat.
Secara definitif, ada dua jenis lembaga pendidikan formal di Indonesia, yakni sekolah dan madrasah. Sekolah berada di bawah naungan Kemendikbud, sedangkan madrasah dibawah naungan Kemenag. Dalam hal pengelolaan manajemen sekolah, tentu ada perbedaan karakteristik diantara dua lembaga tersebut.
Makalah berikut akan membahas tentang implementasi MBS pada sekolah, serta perbandingan antara sekolah negeri dan madrasah swasta dalam penerapan MBS. Harapannya makalah ini dapat membantu dalam memahami bagaimana konsep MBS dan bagaimana MBS diimplementasikan pada lembaga pendidikan.

II.      RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimana penerapan manajemen berbasis sekolah di lembaga pendidikan Islam/madrasah?
2.      Bagaimana penerapan manajemen berbasis sekolah di lembaga pendidikan umum/sekolah formal?
3.      Bagaimana perbandingan penerapan MBS di madrasah dan di sekolah umum?
 
Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah
III.   TUJUAN PENULISAN
Secara umum, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui perbandingan penerapan manajemen berbasis sekolah di lembaga pendidikan Islam dan di sekolah umum. Tujuan tersebut dirincikan dalam beberapa tujuan sebagai berikut:
1.      Mengetahui penerapan manajemen berbasis sekolah di lembaga pendidikan Islam/madrasah.
2.      Mengetahui penerapan manajemen berbasis sekolah di lembaga pendidikan umum/sekolah formal.
3.      Mengetahui dan menganalisis perbandingan penerapan MBS di madrasah dan di sekolah umum.

IV.   KAJIAN PUSTAKA
Makalah berikut ini akan menggunakan beberapa sumber data. Sumber data tersebut diklasifikasikan berdasar jenis data yang diambil, sebagai berikut:
1.    Data tentang Manajemen Berbasis Sekolah. Data ini diambil dari beberapa buku dan referensi terkait yang membahas tentang MBS.
2.    Data tentang implementasi MBS di SMPN 4 Kepanjen. Data ini diambil dari skripsi karya Esti Winarsih, mahasiswa UIN Malang yang telah diujikan pada 11 April 2009.
3.    Data tentang implementasi MBS di MA Zainul Hasan 1 Genggong. Data ini diambil dari skripsi karya


V.      LANDASAN PUSTAKA
1.      Latar Belakang MBS
Kemunculan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dilatar belakangi oleh kurang baiknya sistem pendidikan yang ada di suatu negara. MBS diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan rendahnya kualitas pendidikan akibat dari buruknya sistem pendidikan. Usaha peningkatan kualitas pendidikan sudah banyak dilakukan sebelumnya, hanya saja masih belum dapat mengatasi permasalahan yang ada. Berbagai inovasi yang diterapkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan difokuskan pada lingkup kelas, seperti perbaikan kurikulum, profesionalisme guru, metode pengajaran, dan sistem evaluasi.
Bersamaan dengan berbagai upaya dan inovasi pendidikan tersebut, pada tahun 1980-an telah terjadi perkembangan yang menggembirakan di bidang manajemen modern, khususnya pada bidang industri dan organisasi komersial. Keberhasilan manajemen modern itulah yang kemudian diadopsi untuk diterapkan dalam dunia pendidikan. Sejak saat itu, masyarakat mulai tersadar bahwa untuk memperbaiki kualitas pendidikan maka perlu untuk melakukan reformasi sistem secara struktural dan gaya manajemen sekolah secara menyeluruh, bukan seperti inovasi pendidikan yang telah diupayakan selama ini.
Di Indonesia, MBS muncul lebih lambat dibandingkan beberapa negara yang sudah lebih dulu menerapkannya, seperti Hong Kong, Kanada, Amerika Serikat, dan Australia.[2]Kelambatan penerapan MBS ini disinyalir karena lambatnya kesadaran para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari sistem pemerintahan otoriter selama orde baru. Meskipun saat ini di Indonesia telah diterapkan MBS, namun Nurkolis mencatat bahwa penerapan MBS masih setengah hati karena upaya perbaikan pendidikan yang dilakukan masih bersifat tambal sulam, sehingga belum ada upaya reformaasi pendidikan yang sesungguhnya.[3]
2.      Pengertian MBS
Istilah Manajemen Berbasis Sekolah yang merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris School-Based Management di ambil dari beberapa istilah yang cukup bervariasi, seperti Self Managing SchoolSite-Based Management atau Community Based School Management. MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan maksud agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan.
Secara leksikal, Manajemen Berbasis Sekolah diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan kepada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran.[4]Beberapa pakar mengemukakan pengertian yang berbeda tentang MBS. Beberapa definisi MBS yang dapat disampaikan disini antara lain:
a)    Eman Suparman mendefinisikan MBS sebagai penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional.[5]
b)   Myers dan Stonehill mengungkapkan bahwa MBS adalah strategi untuk memperbaiki pendidikan dengan mentransfer otoritas pengambilan keputusan secara signifikan dari pemerintah pusat dan daerah ke sekolah-sekolah secara individual.[6]
c)    Nurkolis merumuskan bahwa MBS adalah model pengelolaan sekolah dengan memberikan kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri secara langsung.[7]
d)   Sementara Depdiknas RI (sekarang Kemdikbud) menyebut MBS dengan istilah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) yang diartikan sebagai suatu model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.[8]
Dari berbagai definisi tentang MBS sebagaimana diungkapkan di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa MBS adalah pengelolaan sumber daya yang dilakukan oleh sekolah secara mandiri dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
3.      Tujuan dan Manfaat MBS
Semangat MBS adalah semangat desentralisasi. Berawal dari hal ini, MBS memiliki tujuan utama untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan, yakni dengan mendorong sekolah untuk secara mandiri mengelola lembaga bersama pihak-pihak terkait. Dengan MBS, sekolah dapat lebih bertanggung jawab terhadap proses pendidikan yang dikelolanya. Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah juga dapat menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap sekolah.
MBS bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Efektivitas berkaitan denga proses, prosedur, dan ketepat-gunaan semua input yang dipakai dalam proses pendidikan di sekolah, sehingga menghasilkan output sesuai tujuan yang diharapkan. Efisiensi berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan maksimal.
MBS bertujuan mencapai mutu dan relevansi pendidikan yang setingi-tingginya. MBS juga menjamin keadilan bagi setiap anak untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu di sekolah yang bersangkutan. Selain itu,  MBS juga bertujuan meningkatkan akuntabilitas sekolah dan komitmen semua stakeholder. Dengan demikian, sekolah lebih bertanggung jawab terhadap masyarakat sebagi pengguna jasa pendidikan.
Adapun tujuan MPMBS sebagaimana ditetapkan Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) adalah meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan insiatif sekolah dalam mengelola serta memberdayakan sumber daya yang tersedia; meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu  sekolahnya; serta meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.[9]
Berkat adanya keleluasaan sekolah dalam mengelola sumber daya sekolah, serta adanya partisipasi masyarakat akan mendorong meningkatnya profesionalitas kepala sekolah dan guru. Melalui pengembangan kurikulum yang efektif dan fleksibel, rasa tanggao sekolah terhadap kebutuhan masyarakat akan meningkat serta layanan pendidikan juga akan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan peserta didik dan masyarakat seiring dengan dinamika perkembangan jaman.
4.      Prinsip-prinsip MBS
Terdapat empat prinsip pelaksanaan MBS,[10]yaitu:
a)      Prinsip Ekuifinalitas (Principle of Equifinality)
Prinsip ini didasarkan pada teori manajemen modern yang berasumsi bahwa terdapat beberapa cara yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan. MBS menekankan fleksibilitas sehingga sekolah harus dikelola oleh warga sekolah menurut kondisi mereka masing-masing. Karena kompleksnya pekerjaan sekolah saat ini dan adanya perbedaan yang besar antara sekolah yang satu dengan yang lain, misalnya perbedaan tingkat akademik siswa dan situasi komunitasnya, sekolah tak dapat dijalankan dengan struktur yang standar di seluruh kota, provinsi, apalagi negara.
Pendidikan sebagai entitas yang terbuka terhadap berbagai pengaruh eksternal. Oleh karena itu, tak menutup kemungkinan bila sekolah akan mendapatkan berbagai masalah seperti halnya institusi umum lainya. Pada zaman yang lingkungannya semakin kompleks ini maka sekolah akan semakin mendapatkan tantangan permasalahan. Sekolah harus mampu memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinya dengan cara yang paling tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisinya. Walaupun sekolah yang berbeda memiliki masalah yang sama, cara penanganannya akan berlainan antara sekolah yang satu dengan yang lain.
b)      Prinsip Desentralisasi (Principle of Decentralization)
Desentralisasi adalah gejala yang penting dalam reformasi manajemen sekolah modern. Prinsip desentralisasi ini konsisten dengan prinsip ekuifinaltias. Prinsip desentralisasi dilandasi oleh teori dasar bahwa pengelolaan sekolah dan aktivitas pengajaran tak dapat dihindarkan dari kesulitan dan permasalahan. Pendidikan adalah masalah yang rumit dan kompleks sehingga memerlukan desentralisasi dalam pelaksanaannya.
Prinsip ekuifinalitas yang dikemukakan sebelumnya. mendorong adanya desentralisasi kekuasaan dengan mempersilahkan sekolah memiliki ruang yang lebih luas untuk bergerak, berkembang, dan bekerja menurut strategi-strategi unik mereka untuk menjalani dan mengelola sekolahnya secara efektif. Oleh karena itu, sekolah harus diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memecahkan masalahnya secara efektif dan secepat mungkin ketika masalah itu muncul. Dengan kata lain, tujuan prinsip desentralisasi adalah efisiensi dalam pemecahan masalah, bukan menghindari masalah. Oleh karena itu, MBS harus mampu menemukan masalah, memecahkannya secara tepat waktu dan memberi sumbangan yang lebih besar terhadap efektivitas aktivitas pengajaran dan pembelajaran. Tanpa adanya desentralisasi kewenangan kepada sekolah itu sendiri maka sekolah tidak dapat memecahkan masalahnya secara cepat, tepat, dan efisien.
c)      Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri (Principal of Self Managing System)
MBS tidak mengingkari bahwa sekolah perlu mencapai tujuan-tujuan berdasarkan suatu kebijakan yang telah ditetapkan, tetapi terdapat berbagai cara yang berbeda-beda untuk mencapainya. MBS menyadari pentingnya untuk mempersilahkan sekolah menjadi sistem pengelolaan secara mandiri di bawah kebijakannya sendiri. Sekolah memiliki otonomi tertentu untuk mengembangkan tujuan pengajaran, strategi manajemen, distribusi sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, memecahkan masalah, dan mencapai tujuan berdasarkan kondisi mereka masing-masing. Karena sekolah dikelola secara mandiri maka mereka lebih memiliki inisiatif dan tanggung jawab.
Prinsip ini terkait dengan prinsip sebelumnya, yaitu prinsip ekuifinalitas dan prinsip desentralisasi. Ketika sekolah menghadai permasalahan maka harus diselesaikan dengan caranya sendiri. Sekolah dapat menyelesaikan masalahnya bila telah terjadi pelimpahan wewenang dari birokrasi di atasnya ke tingkat sekolah. Dengan adanya kewenangan di tingkat sekolah itulah maka sekolah dapat melakukan sistem pengelolaan mandiri.
d)     Prinsip Inisiatif Manusia (Principle of Human Initiative)
Perspektif sumber daya manusia menekankan bahwa orang adalah sumber daya berharga di dalam organisasi sehingga poin utama manajemen adalah mengembangkan sumber daya manusia di dalam sekolah untuk berinisiatif. Berdasarkan perspektif ini maka MBS bertujuan untuk membangun lingkungan yang sesuai untuk warga sekolah agar dapat bekerja dengan baik dan mengembangkan potensinya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas pendidikan dapat diukur dari perkembangan aspek sumber daya manusianya.
Prinsip ini mengakui bahwa manusia bukanlah sumber daya yang statis, melainkan dinamis. Oleh karena itu, potensi sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian dikembangkan. Sekolah dan lembaga pendidikan yang lebih luas tidak dapat lagi menggunakan istlah staffing yang konotasinya hanya mengelola manusia sebagai barang yang statis. Lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan human resources development yang memiliki konotasi dinamis dan aset yang amat penting dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan.
5.      Karakteristik MBS
Ibrahim Bafadhal, mengutip Levacic, mengungkapkan bahwa terdapat tiga karakteristik MBS yang harus selalu dikedepankan. Tiga karakteristik tersebut yaitu, pertama, kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan peningkatan mutu pendidikan yang didesentralisasikan kepada para stakeholder sekolah. Kedua, domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yang mencakup keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, seperti kurikulum, kepegawaian, keuangan, dam penerimaan siswa baru. Ketiga, meskipun domain manajemen peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada sekolah-sekolah, namun diperlukan regulasi yang mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah.[11]
Berdasar pelaksanaannya di negara maju, MBS mempunyai beberapa karakteristik dasar, yaitu pemberian otonomi yang luas kepada sekolah, partisipasi yang tinggi dari masyarakat dan orang tua siswa, kepemimpinan kepala sekolah yang demokratis dan profesional, dan adanya teamwork yang solid dan profesional. Sedangkan Suryosubroto menjelaskan bahwa karakteristik dari konsep MBS ini antara lain:
a)    Lingkungan sekolah yang aman dan tertib;
b)   Sekolah memiliki visi dan target mutu yang ingin dicapai;
c)    Kepemimpinan yang kuat;
d)   Adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah untuk berprestasi;
e)    Adanya pengembangan sumber daya sekolah secara kontinyu sesuai tuntutan iptek;
f)    Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademis dan administratif, serta pemanfaatan hasil evaluasi tersebut untuk perbaikan mutu pendidikan selanjutnya;
g)   Adanya dukungan dan peran serta orang tua siswa dan masyarakat.[12]
6.      Ruang lingkup MBS
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan sebuah kebijakan otonomi pendidikan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, bahkan kepada sekolah secara langsung. Kebijakan ini menjadikan sekolah sebagai pemeran utama dalam pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan serta pengelolaan seluruh unsur manajemen yang ada di sekolah tersebut. Semua itu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan di sekolah agar lebih efektif dan efisien.
Hal penting dalam MBS adalah pengelolaan komponen-komponen manajemen yang ada di sekolah. Pengelolaan itu hendaknya dilaksanakan dengan selalu mengacu pada prinsip keefektifan dan keefisienan. Adapun komponen-komponen yang harus dikelola dalam MBS itu setidaknya ada tujuh komponen, yaitu kurikulum dan program pengajaran, tenaga kependidikan, kesiswaan, keuangan, sarana dn prasarana sekolah, pengelolaan hubungan sekolah dengan masyarakat, serta manajemen layanan khusus bidang pendidikan.
7.      Strategi Penerapan MBS
Menurut Slamet P.H., sebagaimana dikutip Nurkolis menjelaskan bahwa strategi yang ditempuh untuk mengimplementasikan MBS adalah:
a)    Sosialisasi konsep MBS kepada seluruh warga sekolah
b)   Analisis situasi sekolah dan luar sekolah, berupa tantangan yang harus dihadapi sekolah dalam rangka mengubah manajemen
c)    Merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai
d)   Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional
e)    Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya
f)    Memilih langkah-langkah pemecahan persoalan, yakni tindakan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi siap
g)   Membuat rencana jangka pendek, menengah, dan panjang serta program-program untuk merealisasikannya
h)   Melaksanakan program-program yang telah dirumuskan tersebut
i)     Melakukan pemantauan atau kontrol terhadap proses dan evaluasi hasil MBS.[13]
Pada dasarnya, tidak ada satu strategi khusus yang jitu dan bisa menjamin keberhasilan implementasi MBS di semua tempat dan kondisi. Oleh karena itu, strategi implementasi mungkin berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, bahkan satu sekolah dengan sekolah lain.

VI.   PEMBAHASAN
1.      Penerapan MBS di SMPN 4 Kepanjen Malang
Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 4 Kepanjen yang selanjutnya disingkat SMPN 4 Kepanjen merupakan lembaga pendidikan formal yang bernaung dibawah Kementerian Pendidikan Nasional (KEMDIKNAS). Pada awal SMPN 4 Kepanjen adalah SMPN 4 Malang yang letaknya di Kepanjen, didirikan pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan SK Menteri P dan K tanggal 28 juli 1955 No 3816/B/111. Saat ini, SMPN 4 Kepanjen menempati gedung di alan Kawi No: 3 Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang.
SMPN 4 Kepanjen memiliki visi “Unggul dalam mutu, mampu bersaing secara global, beriman dan bertaqwa”. Visi itu dijabarkan menjadi beberapa misi berikut:
1.      Terwujudnya pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang standar nasional maupun bertaraf internasional.
2.      Terwujudnya proses belajar mengajar yang standar nasional maupun bertaraf internasional.
3.      Terwujudnya taraf kompetensi lulusan yang standar nasional maupun bertaraf internasional.
4.      Terpenuhinya fasilitas pendidikan yang standar nasional maupun bertaraf internasional.
5.      Tersedianya tenaga pendidik dan kependidikan yang memiliki kompetensi  dan kualifikai untuk mengelola sekolah  standar nasional maupun bertaraf internasional.
6.      Terwujudnya manajemen sekolah yang standar nasional maupun bertaraf internasional.
7.      Tercapainya pembiayaan untuk memenuhi taraf biaya sekolah standar nasional maupun bertaraf internasional.
8.      Terwujudnya sistem penilaian pendidikan yang berstandar nasional maupun bertaraf internasional.
Penerapan MBS di SMPN 4 Kepanjen secara terperinci  yang meliputi 7 komponen. Namun dari 7 komponen tersebut, hanya membatasi 3 komponen saja yang diuraikan dalam penelitian, yaitu manajemen kurikulum dan program pengajaran, manajemen kesiswaan, dan manajemen sarana dan prasarana.
a)    Manajemen kurikulum dan program pengajaran
Dalam manajemen kurikulum dan program pengajaran ini, sekolah diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum yang sudah diterapkan oleh pemerintah namun tidak diperbolehkan untuk mengurangi isi kurikulum yang sudah berlaku secara nasional.
Satu hal menarik yang terjadi di SMPN 4 Kepanjen adalah adanya upaya dari guru agama Islam untuk meningkatkan mutu pendidikan agama Islam dengan bekerja sama dengan guru sains, dan guru bahasa untuk mengadakan mata pelajaran terpadu,  diharapkan dengan adanya mata pelajaran terpadu tersebut dapat meningkatkan mutu pendidikan agama Islam. Hasilnya adalah suatu karya siswa yang dapat dinilai dari tiga sisi berbeda, sisi keagamaan, sisi sains, dan sisi kebahasaannya.
b)   Manajemen kesiswaan
Yang dimaksudkan manajemen kesiswaan di sini adalah penataan dan pengaturan terdadap kegiatan dengan peserta didik, mulai masuk sampai dengan keluarnya peserta didik tersebut dari sekolah. Manajemen Berbasis Sekolah di SMPN 4 Kepanjen pada  bidang kesiswaan mempunyai  tugas pokok diantaranya mempersiapkan saat penerimaan siswa baru, juga harus bertanggung jawab atas bimbingan dan pembinaan kedisiplinan, selain itu untuk meningkatkan mutu pendidikan agama Islam maka waka kesiswaan bekerja sama dengan guru agama  Islam mengadakan ekstrakurikuler keagamaan yang nantinya dapat meningkatkan mutu pendidikan agama Islam, seperti kegiatan pondok Ramadhan, baca tulis al Qur’an, kaligrafi, dan setiap malam jum’at legi di SMPN 4 Kepenjen selalu diadakan baca yasin bersama, kemudian ada juga hadrah (terbangan), dan samrohan.
c)    Manajemen sarana prasarana
Manajemen sarana dan prasarana  pendidikan bertugas mengatur dan menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar dapat memberikan kontribusi secara optimal dan berarti pada jalannya proses pendidikan. Data wawancara dengan kepala sekolah SMPN 4 Kepanjen menyatakan bahwa kondisi sarana dan prasarana di SMPN 4 Kepanjen masih belum memadai, namun belum ditemukan adanya upaya atau strategi untuk mengatasi masalah tersebut.
Manajemen sekolah telah menetapkan tahapan-tahapan MBS secara benar, yakni diawali dengan penyusunan program sekolah oleh kepala sekolah bersama tim. Susunan rencana program tersebut kemudian dikonsultasikan bersama komite sekolah. Dalam forum konsultasi tersebut akan terjadi diskusi tentang susunan rencana program sekolah. Selanjutnya susunan program itu ditetapkan dan kemudian disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah. Hanya saja dalam laporan penelitian (skripsi) tersebut, penulis belum menemukan penjelasan tentang langkah-langkah manajemen itu secara rinci.

2.      Penerapan MBS di MA Zainul Hasan 1 Genggong
Madrasah Aliyah Zainul Hasan 1 Genggong didirikan pada tahun 1968 dengan pola pembelajaran yang dipisah antara putra dan putri. Pada tahun 1982 madrasah ini terdaftar di Departemen Agama dengan surat tanda bukti terdaftar Nomor: LM/3/268.C/1982, tertanggal tertanggal 9 Desember 1982. Hingga saat ini Madrasah Aliyah Zainul Hasan 1 Genggong dikelola oleh Yayasan Pendidikan Pesantren Zainul Hasan.
Lokasi Madrasah Aliyah Zainul Hasan 1 Genggong terletak di desa yang tidak terlampau jauh dari ibu kota kabupaten Probolinggo. Sebagian besar penduduknya berada pada tingkat ekonomi menengah ke bawah dengan mata pencaharian sebagai petani, buruh tani, buruh pabrik dan PNS.  Maka sejak berdirinya tahun 1968 Madrasah Aliyah Zainul Hasan 1 Genggong selalu mengelola kurikulum didasarkan pada kenyataan sosial masyarakat setempat dan latar belakang  stakeholder yang di Madrasah Aliyah Zainul Hasan 1 Genggong. Selain itu, penerapan kurikulum juga memperhatikan kurikulum pesantren, kurikulum umum (pemerintah) serta selalu disesuaikan  dengan perkembangan kurikulum yang ada. Karena itu maka pada tanggal 24 Maret 1994, Madrasah Aliyah Zainul Hasan berhasil merubah status menjadi DIAKUI.
MA Zainul Hasan 1 Genggong memiliki visi “Pengembangan ilmu keislaman berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi”. Visi tersebut kemudian dijabarkan dalam beberapa misi berikut:
1.      Memberikan penguasaan dalam bidang ilmu keislaman, kewarganegaraan, bahasa, sains, pengetahuan sosial, seni dan budaya
2.      Menyiapkan lulusan yang mampu  menginternalisasi nilai-nilai keislaman, memiliki kematangan aqidah dan kedalaman spiritual, dan keluruhan akhlaq.
3.      Membangun tradisi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pengkajian dan penelitian ilmiah.
4.      Memupuk kebiasaan siswa untuk berpikir secara terarah, sistematis, memperhitungkan peluang dan potensi, serta siap menghadapi berbagai kemungkinan dinamika sosial.
Pada masa penelitian, MA Zainul Hasan 1 Genggonng sedang menerapkan Total Quality Management (TQM). Inti strategi ini adalah usaha sistematis dan terkoordinir untuk secara terus menerus memperbaiki kualitas layanan, sehingga fokusnya ke seluruh komponen madrasah, seperti peserta didik, orang tua peserta didik, pemakai lulusan, guru, karyawan, dan simpatisan atau masyarakat secara umum. Untuk mewujudkan strategi tersebut, secara bertahap dilakukan enam hal: (1) membangun kepercayaan masyarakat. Kompetisi yang semakin ketat tentunya menggiring pada tersedianya purna-fasilitas lembaga sekaligus layanan sesuai yang dijanjikan; (2) jaminan mutu (quality assurance), membuat formulasi mutu lulusan yang jelas dan realistis; (3) terbuka (transparan), yaitu pengelolaan aset, keuangan dan pemecahan masalah dikomunikasikan secara terbuka sesuai tupoksinya sehingga dari sistem ini diharapkan mampu memunculkan  teamwork yang kuat dan solid; (4) kondusif, yaitu suasana dan lingkungan akademis yang betul-betul efektif dan efisien dan mendukung terciptnya iklim kondusif-akademis; (5) empati, yaitu perhatian yang maksimal diberikan kepada peserta didik; (6) peka, tanggap terhadap kebutuhan peserta didik serta perkembangan-perkembangan kontemporer.
Dalam upaya menerapkan MBS, madrasah terlebih dahulu melakukan analisis dan merumuskan program yang akan dilakukan untuk mengetahui kebutuhan masyarakat dan tantangan yang akan dihadapi pada masa yang akan datang, kemudian program itu ditetapkan dan direalisasikan dalam bentuk kegiatan. Pelaksanaan program yang sudah ada kemudian diberikan kepada bagian yang melingkupinya, baik yang sifatnya internal maupun yang eksternal dengan dasar disesuaikan dengan tugas dan wewenang dari program tersebut. Diharapkan output dan input yang dihasilkan nanti bisa bersaing dengan lulusan tingkat SMA yang lain dan mampu memberikan pengaruh pada lingkungan dimana mereka berada.
Untuk meningkatkan kualitas SDM yang dimiliki, MA Zainul Hasan melaksanakan beberapa kegiatan seminar, workshop, menyertakan guru dalam penataran, serta mengadakan kursus bahasa asing (Inggris dan Arab) bagi guru dan karyawan. Setelah kegiatan tersebut, selalu diiringi dengan monitoring dan evaluasi program. Proses monitoring dan evaluasi ini disamping sebagai sebuah penilaian program, juga dapat membuat strategi baru dalam pelaksanaan program yang telah ada, karena dalam monitoring dan evaluasi ini juga melibatkan berbagai unsur dan elemen yang ada baik dari Kemenag, komite madrasah, lebih-lebih staff dan elemen yang ada dimadrasah. Hal inilah yang merupakan salah satu ciri Manajemen Berbasis Sekolah ini diterapkan, karenanya madrasah tidak lagi harus sama persis dengan juklak dan juknis yang dibuat oleh pusat akan tetapi madrasah bisa berkreasi dan berimprovisasi sesuai dengan kondisi dan keinginan warga madrasah yang dikehendaki.
Untuk dapat merealisasikan MBS dengan baik dan sesuai dengan visi, misi madrasah maka secara tidak langsung madrasah harus di dukung oleh semua komponen yang ada, baik dari segi sumber daya manusia, partisipasi masyasrakat (wali siswa), sarana dan prasarana. Sumber daya manusia yang meliputi guru, karyawan, siswa dan sumber daya alam dimana madrasah mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan  kebutuhan setempat. Sumber daya ini mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam menentukan baik buruknya mutu pendidikan, karenanya dengan menerapkan MBS ini madrasah diberi keleluasaan dan hak otonom untuk mengatur dan mengelola sumber daya madrasah guna untuk meningkatkan mutu pendidikan. Begitu juga dengan pemanfatan fasilitas dan pengadaan sarana prasarana, madrasah harus menyediakan fasilitas dan sarana prasarana yang memadai untuk meningkatkan mutu pendidikan, karena akan sangat ironis ketika sumber daya manusia memadai akan tetapi sarana prasaran dan fasilitas kurang mendukung. Partisipasi masyarakat (wali siswa), tidak bisa dipungkiri bahwa dana yang paling besar berasal dari wali siswa. Dengan menganut sistem subsidi silang, terbukti bahwa sesungguhnya sistem ini mempunyai keunggulan antara lain: dapat mendanai kebutuhan madrasah yang begitu tinggi, membiayai siswa yang kurang mampu yakni dengan cara memberikan keringanan, bahkan membebaskannya dari biaya SPP maupun Infaq dan lain sebagainya. 

3.      Analisis Perbandingan Penerapan MBS di SMPN 4 Kepanjen dan di MA Zainul Hasan 1 Genggong
Pelaksanaan MBS memberikan hak otonomi bagi sekolah. Pemanfaatan hak otonomi ini seringkali berbeda antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Begitu pula pelaksanaan MBS di SMPN 4 Kepanjen dan MA Zainul Hasan. Perbedaan itu terlihat dari pengelolaan komponen-komponen manajemen yang ada di sekolah. Adapun komponen-komponen yang dikelola dalam MBS itu setidaknya ada tujuh komponen, yaitu kurikulum dan program pengajaran, tenaga kependidikan, kesiswaan, keuangan, sarana dn prasarana sekolah, pengelolaan hubungan sekolah dengan masyarakat, serta manajemen layanan khusus bidang pendidikan.
Secara umum, MA Zainul Hasan 1 Genggong memanfaatkan otonomi yang diberikan kepada sekolah dengan lebih besar. Keberadaan MA Zainul Hasan 1 Genggong sebagai sekolah swasta mungkin faktor penyebab perbedaan itu. sebagai sekolah swasta yang dikelola oleh yayasan, MA Zainul Hasan memiliki keleluasaan (baca:otonomi) yang lebih besar di banding SMPN 4 Kepanjen. Misalnya dalam hal pembiayaan, MA Zainul Hasan memiliki dana yang berasal dari wali siswa. Berbeda dengan SMPN 4 Kepanjen yang tidak memiliki mekanisme danadari wali siswa.
Dalam hal pengaturan kurikulum dan pengajaran juga ada perbedaan. Meskipun ada sedikit inovasi dalam hal integrasi antar beberapa mata pelajaran, namun di SMPN 4 Kepanjen lebih banyak mengacu kepada kurikulum dari pemerintah pusat. Lain halnya dengan MA Zainul Hasan yang menerapkan kurikulum sesuai dengan ciri khas lembaganya. Kurikulum di MA Zainul Hasan didominasi oleh mata pelajaran bernuansa pondok pesantren, seperti ngaji kitab dan praktik ibadah.
Meskipun terdapat banyak perbedaan antara implementasi MBS di SMPN 4 Kepanjen dan MA Zainul Hasan 1 Genggong, namun ada beberapa persamaan, diantaranya adalah adanya inovasi kurikulum dan partisipasi masyarakat.

VII.KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut:
1.      Dalam melaksanakan MBS, sekolah diberikan otonomi untuk mengelola komponen-komponen manajemen yang dimiliki sekolah. Hanya saja pelaksanaan otonomi tersebut mungkin berbeda antara satu sekolah dengan sekolah lain.
2.      Komponen-komponen yang dikelola dalam MBS itu setidaknya ada tujuh komponen, yaitu kurikulum dan program pengajaran, tenaga kependidikan, kesiswaan, keuangan, sarana dn prasarana sekolah, pengelolaan hubungan sekolah dengan masyarakat, serta manajemen layanan khusus bidang pendidikan.
3.      Langkah-langkah pelaksanaan MBS juga berbeda antar sekolah, apalagi antara sekolah negeri dan swasta, sebagaimana sampel sekolah yang dianalisis dalam makalah ini.
Akhirnya, pasti banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Masukan dan kritik dari semua pihak sangat penulis harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
  
Bafadhal, Ibrahim, Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar; Dari Sentralisasi Menuju Desentralisasi, Bandung: Bumi Aksara, 2003.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2001.
Mulyono, Manajemen Administrasi dan Organisasi Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: Grasindo, 2003.
Suderadjad, Hari,  Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) , Bandung: Cipta Cekas Grafika, 2005.
Suryosubroto, B., Manajemen Pendidikan di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Ula, S. Shoimatul, Buku Pintar Teori-teori Manajemen Pendidikan Efektif, Yogyakarta: Berlian, 2013.
Umiarso & Gojali, Imam, Manajemen Mutu Sekolah di Era Otonomi Pendidikan, Yogyakarta: IRCiSoD, 2010.


[1]  Hari Suderadjad,  Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) , Bandung: Cipta Cekas Grafika, 2005, 1.
[2] Penerapan MBS di Indonesia baru dimulai pada tahun 2000, bandingkan dengan negara Amerika yang telah melaksanakan MBS sejak tahun 1980-an. Lihat S. Shoimatul Ula, Buku Pintar Teori-teori Manajemen Pendidikan Efektif, Yogyakarta: Berlian, 2013, 57-59.
[3] Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: Grasindo, 2003, 20.
[4] Umiarso & Imam Gojali, Manajemen Mutu Sekolah di Era Otonomi Pendidikan, Yogyakarta: IRCiSoD, 2010, 70.
[5] Mulyono, Manajemen Administrasi dan Organisasi Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008, 239.
[6] Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah…, 3.
[7] Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah…, 11.
[8] Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2001, 3.
[9] Depdiknas Republik Indonesia, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah…, 4.
[10] Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah…, 52-55.
[11] Ibrahim Bafadhal, Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar; Dari Sentralisasi Menuju Desentralisasi, Bandung: Bumi Aksara, 2003, 82.
[12] B. Suryosubroto, Manajemen Pendidikan di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, 197.
[13] Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah…, 135-136.

No comments:

Post a Comment