I. PENDAHULUAN
Pendidikan itu mencakup seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan merupakan bentuk usaha sadar dan terencana yang berfungsi untuk mengembangkan potensi yang ada pada manusia agar bisa digunakan untuk kesempurnaan hidupnya dimasa depan nanti. Untuk mencapai kesempurnaan ini, manusia harus melalui proses atau kegiatan ilmiah yang disebut dengan pendidikan. Menurut Kamal Hasan yang dikutip Imas Kurniasih mendefinisikan pendidikan sebagai suatu proses seumur hidup untuk mempersiapkan seseorang agar dapat mengaktualisasikan peranannya sabagai khalifatullah di muka bumi.[1]
Sedangkan pendidikan Islam menurut Prof. Dr. Omar Muhammad Al-Touny al-Syaebani diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan.[2]Perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai islami. Disini jelas bahwa proses kependidikan merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sehingga terjadilah perubahan di dalam kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual dan sosial serta dalam hubungannya dengan alam sekitar dimana ia hidup. Proses tersebut senantiasa berada dalam nilai-nilai islami, yaitu nilai-nilai yang melahirkan norma-norma syariah dan akhlak al karimah.
Tanpa melalui proses kependidikan, manusia dapat menjadi makhluk yang serba diliputi oleh dorongan-dorongan nafsu jahat, ingkar dan kafir terhadap Tuhannya. Hanya dengan melalui proses kependidikan, manusia akan dapat dimanusiakan sebagai hamba Tuhan yang mampu menaati ajaran agamaNya dengan penyerahan diri secara total sesuai ucapan dalam shalat.
ان صلاتى و نسكى و محياي و مماتى لله رب العالمين
(sesungguhnya shalatku, ibadahku dan seluruh hidupku serta matiku semata-mata bagi Allah, pendidik seluruh alam)
Setiap kegiatan ilmiah memerlukan pemecahan dan organisasi. Kegiatan tersebut harus dilaksanakan secara sistematis dan terstruktur. Demikian pula dalam pendidikan, diperlukan program yang mapan dan dapat mengantarkan proses pendidikan sampai ke penilaian, yang dalam pendidikan dikenal dengan istilah kurikulum pendidikan.[3]
Dalam kurikulum, tidak hanya dijabarkan serangkaian ilmu pengetahuan yang harus diajarkan oleh pendidik kepada anak didik, tetapi juga segala kegiatan yang bersifat kependidikan yang dipandang perlu karena mempunyai pengaruh terhadap anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam. Disamping itu, kurikulum juga hendaknya dapat dijadikan ukuran kwalitas proses dan keluaran pendidikan sehingga dalam kurikulum sekolah telah tergambar berbagai pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diharapkan dimiliki setiap lulusan sekolah.[4]
Salah satu tugas pokok filsafat pendidikan Islam adalah memberikan kompas atau arah dan tujuan pendidikan Islam. Suatu tujuan kependidikan yang hendak dicapai harus direncanakan (diprogramkan) dalam kurikulum. Oleh karena itu, kurikulum merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kependidikan dalam suatu lembaga kependidikan Islam. Segala hal yang harus diketahui atau diresapi serta dihayati oleh anak didik harus ditetapkan dalam kurikulum, termasuk segala hal yang harus diajarkan oleh pendidik kepada anak didiknya.
A. Pengertian kurikulum pendidikan Islam
Pendidikan Islam secara fungsional adalah merupakan upaya manusia muslim merekayasa pembentukan al-insan al-kamil melalui penciptaan situasi interaksi edukatif yang kondusif. Pendidikan Islam harus memiliki seperangkat isi atau bahan yang akan ditransformasi kepada peserta didik agar menjadi milik dan kepribadiannya sesuai dengan identitas Islam. Oleh karena itu perlu dirancang suatu bentuk kurikulum pendidikan Islam yang sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai asasi ajaran Islam.
Secara harfiah, kurikulum berasal dari bahasa Latin, ‘’ Curriculum’’, yang berarti bahan pengajaran. Ada pula yang mengatakan berasal dari bahasa Perancis, ‘’ Courier ‘’, yang artinya berlari. [5]
Secara etimologi, kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘’curier’’ yang artinya pelari dan ‘’Curere’’ yang artinya jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olahraga yang berarti “a little racecourse” (suatu jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan olahraga). Berdasarkan pengertian ini, dalam kontek dunia pendidikan, kurikulum berarti ‘’circle of instruction’’ yaitu suatu lingkaran pembelajaran dimana guru dan peserta didik terlibat di dalamnya. Adapula yang mengatakan kurikulum ialah arena pertandingan, tempat pelajar bertanding untuk menguasai pelajaran untuk mencapai garis penamat berupa diploma, ijazah, atau gelar kesarjanaan.[6]
Dalam bahasa Arab, istilah kurikulum diartikan dengan Manhaj, yakni jalan yang terang, atau jalan terang yang dilalui oleh manusia pada bidang kehidupannya.[7]Berdasarkan pengertian ini, dalam kontek dunia pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang dilalui pendidik atau guru latih dengan orang-orang yang dididik atau dilatihnya untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka.[8]
Kata kurikulum selanjutnya menjadi suatu istilah yang menunjukkan pada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan akhir, yaitu mencapai suatu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang berisi sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu.[9]
Menurut Jalaluddin & Usman, kurikulum adalah seperangkat materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada murid sesuai sengan tujuan yang akan dicapai.[10] Nasution berpendapat bahwa kurikulum bukanlah sekedar memuat sejumlah mata pelajaran , tetapi juga termasuk di dalamnya segala usaha sekolah untuk mencapai yang diinginkan, baik usaha tersebut dilakukan di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.[11]Menurut Al-Damardasi (1994:62), kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, budaya, olah raga, seni yang disediakan oleh sekolah bagi murid-muridnya di dalam atau di luar sekolah dengan maksud menolongnya sesuai dengan tujuan pendidikan.
Langgulung merumuskan bahwa kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olah raga dan kesenian, baik yang ada di dalam maupun di luar kelas yang dikelolah oleh sekolah.[12]
Dari beberapa definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa kurikulum tidak hanya memuat sejumlah mata pelajaran di sekolah, tetapi juga mencakup sejumlah pengalaman yang diperoleh, baik di sekolah maupun di luar sekolah, yaitu di lingkungan masyarakat sekitarnya.
B. Ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam
Secara umum, kurikulum tersusun dengan berbagai aspek utama yang menjadi cirinya yang meliputi :
1) Tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh kurikulum itu
2) Pengetahuan (knowledge), ilmu-ilmu, data-data, dan pengalaman-pengalaman yang menjadi sumber terbentuknya kurikulum tersebut
3) Metode dan cara-cara mengajar dan bimbingan yang diikuti oleh murid untuk mendorong mereka ke arah yang dikehendaki oleh tujuan yang dikehendaki
4) Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukur hasil proses pendidikan yang dirancang dalam kurikulum[13]
Al-Shaybânî mengatakan bahwa kurikulum pendidikan Islam seharusnya mempunyai ciri-ciri, yaitu :
1) Menonjolkan mata pelajaran agama dan akhlak. Agama dan akhlak seharusnya diambil dari Alquran dan hadis serta contoh-contoh dari tokoh terdahulu yang saleh
2) Memperhatikan pengembangan yang menyeluruh aspek pribadi siswa, yaitu jasmani, akal dan rohani
3) Memperhatikan keseimbangan antara pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat, akal dan rohani manusia, keseimbangan itu tentulah bersifat relatif karena tidak dapat diukur secara objektif
4) Memperhatikan juga seni halus, yaitu ukir, pahat, tulis-indah, gambar dan sejenisnya. Selain itu juga memperhatikan pendidikan juga pendidikan jasmani, latihan militer, tehnik, keterampilan dan bahasa asing sekalipun semuanya ini diberikan kepada perseorangan secara aktif berdasarkan bakat, minat dan kebutuhan
5) Mempertimbangkan perbedaan-perbedaan kebudayaan yang sering terdapat di tengah manusia karena perbedaan tempat dan perbedaan zaman, kurikulum dirancang sesuai dengan kebudayaan[14]
Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa empat aspek utama kurikulum, yaitu : tujuan pendidikan, materi yang diajarkan, metode serta cara mengajarkannya dan penilaian, dapat dikaitkan dengan filsafat pendidikan Islam sehingga aspek-aspek kurikulum tersebut harus mengandung nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan hadits serta memperhatikan semua sisi kepribadian manusia yaitu jasmani, akal, rohani dan perbedaan individu tentang bakat dan minat para siswa.
C. Prinsip umum yang menjadi dasar kurikulum pendidikan Islam
Secara prinsipil kurikulum pendidikan Islam tak terlepas dari keterkaitannya dengan dasar-dasar dan tujuan falsafat pendidikan Islam itu sendiri. Beberapa bagian materi kurikulum dapat saja dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman dan lingkungan manusia, tetapi keterikatan hubungannya dengan hakikat kejadian manusia sebagai khalifah dan pengabdi Allah yang setia, tidak dapat dilepaskan sama sekali.
Secara garis besarnya dalam kurikulum pendidikan Islam harus terlihat adanya unsur-unsur:
1) Ketauhidan
2) Keagamaan
3) Pengembangan potensi manusia sebagai khalifah Allah
4) Pengembangan hubungan antar manusia
5) Pengembangan diri sebagai individu[15]
H.M. Arifin dalam bukunya “ Ilmu Pendidikan Islam” mengemukakan empat prinsip dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam yaitu:
1) Kurikulum pendidikan yang sejalan dengan idealitas islami adalah kurikulum yang mengandung materi (bahan) ilmu pengetahuan yang mampu berfungsi sebagai alat untuk tujuan hidup islami.
2) Untuk berfungsi alat yang efektif mencapai tujuan tersebut, kurikulum harus nengandung tata nilai islami yang intrinsik dan ekstrinsik mampu merealisasikan tujuan pendidikan Islam.
3) Kurikulum yang bercirikan islami itu diproses melalui metode yang sesuai dengan nilai yang terkandung di dalam tujuan pendidikan Islam
4) Antara kurikulum, metode, dan tujuan pendidikan Islam harus saling menjiwai dalam proses mencapai produk bercita-citakan menurut ajaran Islam[16]
Menurut Al-Taumi sebagaimana yang di kutip oleh Muhammad Zein dalam bukunya ‘’ Materi Filsafat Pendidilan Islam “, prinsip dasar yang harus dipegangi dalam menyusun kurikulum pendidikan Islam adalah
1) Kurikulum pendidikan Islam harus bertautan dengan agama, termasuk ajaran dan nilainya
2) Tujuan dan kandungan kurikulum pendidikan Islam harus menyeluruh (universal)
3) Tujuan dan kandungan kurikulum pendidikan Islam harus ada keseimbangan
4) Kurikulum pendidikan Islam harus berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan dan kebutuhan anak didik serta alam lingkungan di mana anak didik tersebut hidup
5) Kurikulum pendidikan Islam harus dapat memelihara perbedaan individu diantara anak didik dalam bakat, minat, kemampuan, kebutuhan dan masalah-masalahnya.
6) Kurikulum pendidikan Islam harus mengikuti perkembangan dan perubahan zaman, filsafah, prinsip, dasar, tujuan dan metode pendidikan islam harus dapat memenuhi tuntutan zaman
7) Kurikulum pendidikan Islam harus bertautan dengan pengalaman dan aktifitas anak didik dalam masyarakat[17]
Prinsip kurikulum dalam pendidikan Islam menghendaki adanya keterkaitan antara kurikulum dengan sumber pokok agama Islam, yaitu Alquran dan hadis di mana pun dan kapan pun pendidikan itu berlangsung.[18]
Dari sini, dapat dikemukakan bahwa falsafah atau pandangan hidup suatu masyarakat tertentu tentang pendidikan tidak dapat dipisahkan dari prinsip kurikulum pendidikan Islam yang bersumber dari ajaran pokok agama Islam, yaitu Alquran dan hadis.
D. Asas atau landasan kurikulum
Secara umum, dapat dikatakan bahwa penyusunan kurikulum harus berdasarkan asas tertentu. Menurut Nasution, hendaknya kurikulum memiliki lima asas yaitu :
1) Asas teologis
2) Asas filosofis
Sebagai landasan fundamental, filasafat memegang peranan penting dalam proses pengembangan kurikulum. Ada empat fungsi filasat dalam mengembangkan kurikulum yaitu:
· Filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Dengan filsafat sebagai pendangan hidup atau value system, maka dapat ditentukan mau dibawa kemana siswa yang kita didik
· Filsafat dapat menentukan materi dan bahan ajaran yang diberikan sesuai dengan tujuan yang diinginkan
· Filsafat dapat menentukan strategi atau cara penyampaian tujuan. Sebagai sistem nilai, filsafat dapat dijadikan pedoman dalam merancang kegiatan pembelajaran
· Melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan
Asas filosofis memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam sehingga susunan kurikulum pendidikan Islam mengandung suatu kebenaran, terutama dari sisi nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini kebenarannya.
Secara umum, dasar ini membawa konsekuensi bahwa rumusan kurikulum pendidikan Islam harus beranjak dari konsep ontologi, epistimologi, dan aksiologi yang digali dari pemikiran manusia muslim, yang sepenuhnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai asasi ajaran Islam.
3) Asas sosiologis
Berperan memberikan dasar dalam menentukan apa saja yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat kebudayaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dimaksudkan agar out put yang dihasilkan pendidikan Islam adalah manusia-manusia yang mampu mengambil peran dalam masyarakat dan kebudayaan dalam konteks kehidupan zamannya. Secara umum, dasar falsafah ini membawa konsekuensi bahwa rumusan kurikulum pendidikan Islam harus beranjak dari konsep ontologi, epistemologi dan aksiologi yang digali dari pemikiran manusia muslim, yang sepenuhnya tidak bertentangan dengan nila-nilai asasi ajaran Islam.
4) Asas organisatoris
Berfungsi untuk memberikan dasar dalam bentuk bagaimana bahan pelajaran itu disusun dan penentuan luas urutan mata pelajaran
5) Asas psikologis
Berperan memberikan berbagai prinsip-prinsip tentang perkembangan anak didik dalam berbagai aspeknya, serta cara menyampaikan bahan pelajaran agar dapat dicerna dan dikuasai oleh anak didik sesuai dengan tahap perkembangannya.[19]Kurikulum pendidikan Islam harus dirancang sejalan dengan ciri-ciri perkembangan anak didik, tahap kematangan bakat-bakat jasmani, intelektual, bahasa, emosi dan sosial, kebutuhan dan keinginan, minat, kecakapan, perbedaan individual dan lain sebagainya yang berhubungan dengan aspek-aspek psikologis.
Al-Syaibani memandang kurikulum pendidikan sebagai alat untuk mendidik generasi muda dengan baik dan menolong mereka untuk membuka dan mengembangkan bakat dan keterampilan mereka yang bermacam-macam, dan menyiapkan mereka dengan baik untuk melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi. Oleh karena itu, Al-Shaybânî menjadikan agama (Islam) sebagai asas utama kurikulum pendidikan Islam. Dengan demikian, dalam sistem pendidikan Islam harus terdapat dasar falsafah, tujuan, dan kurikulum karena tujuan pendidikan tidak akan tercapai jika tidak ada kurikulum. Dalam kurikulum terkadang isi dan pelajaran yang akan ditranfomasikan kepada anak didik. Dalam kurikulum ini pula dimuat nilai-nilai yang bersumber dari Alquran dan sunah.
Berdasarkan keempat asas diatas, maka kurikulum pendidikan Islam menurut An-Nahlawi harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
· Sistem dan perkembangan kurikulum hendaknya selaras dengan fitrah insani sehingga memiliki peluang untuk mensucikannya, dan menjaganya dari penyimpangan serta menyelamatkannya
· Kurikulum hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan akhir pendidikan Islam, yaitu ikhlas, taat dan beribadah kepada Allah, disamping merealisasikan tujuan aspek psikis, fisik, sosial, budaya maupun intelektual
· Pentahapan serta pengkhususan kurikulum hendaknya memperhatikan periodesasi perkembangan peserta didik maupun unisitas (kekhasan) terutama karakteristik anak-anak dan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan)
· Dalam berbagai pelaksanaan, aktivitas, contoh dan nash yang ada dalam kurikulum harus memelihara kebutuhan nyata kehidupan masyarakat dengan tetap bertopang pada cita ideal islami, seperti rasa syukur dan harga diri sebagai umat Islam
· Secara keseluruhan struktur dan organisasi kurikulum hendaknya tidak bertentangan dan tidak menimbulkan pertentangan dengan pola hidup islami
· Hendaknya kurikulum bersifat realistik atau dapat dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi dalam kehidupan negara tertentu
· Hendaknya metode pendidikan/pengajaran dalam kurikulum bersifat luwes sehingga dapat disesuaikan dengan berbagai situasi dan kondisi serta perbedaan individual, minat serta kemampuan siswa untuk menangkap dan mengolah bahan pelajaran
· Hendaknya kurikulum itu efektif dalam arti berisikan nilai edukatif yang dapat membentuk afektif (sikap) islami dalam kepribadian anak
· Kurikulum harus memperhatikan aspek-aspek tingkah laku amaliah islami, seperti pendidikan untuk berjihad dan dakwah islamiyah serta membangun masyarakat muslim di lingkungan sekolah[20]
Dari keterangan diatas, terlihat bahwa eksistensi kurikulum idealnya disamping sebagai parameter operasionalisasi proses belajar mengajar, sekaligus sebagai alat mendeteksi dinamika kebudayaan dan peradaban umat manusia masa depan.
Didalam menyusun atau merevisi sebuah kurikulum pendidikan, menurut Noeng Muhadjir,ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu:
1) Pendekatan akademik.
Digunakan untuk menyusun program pendidikan keahlian berdasarkan sistematisasi disiplin ilmu.
2) Pendekatan Teknologi.
Digunakan untuk menyusun program pendidikan keahlianyang bertolak pada analisiskompetensi yang dibutuhkan untuk melakukan tugas tertentu.
3) Pendekatan Humanistik
Digunakan untuk menyusun program pendidikan keahlian yang bertolak dari ide “memanusiakan manusia”
E. Isi kurikulum pendidikan Islam
Pada prinsipnya kurikulum pendidikan Islam selalu terkait dengan dasar-dasar dan tujuan filsafat pendidikan Islam itu sendiri. Beberapa bagian isi (materi) kurikulum dapat saja dikembangkan sesuai dengan tuntunan zaman dan lingkungan hidup manusia, tetapi keterkaitannya dengan hakikat diciptakannya manusia sebagai khalifah di muka bumi dan sebagai abdi Allah, tidak dapat dilepaskan sama sekali.
Kurikulum pendidikan Islam berbeda-beda isinya, menurut perkembangan dan kondisi kaum muslimin di mana mereka berada. Perbedaan itu dipengaruhi oleh lingkungan dan negara di mana mereka berada. Isi kurikulum sebenarnya hanyalah alat dalam mencapai tujuan pendidikan. Untuk mengetahui penting atau tidaknya disiplin ilmu dimasukkan ke dalam kurikulum, harus dijelaskan apa andil disiplin ilmu itu dalam mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Para pemikir pendidikan yang terlibat langsung dalam penyusunan kurikulum, jelas tidak boleh melupakan kaitan antara materi kurikulum dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapai.
Dalam memilih materi (isi) dalam merencanakan kurikulum pendidikan Islam, hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah :
1) Harus ada mata pelajaran yang ditujukan mendidik ruhani atau hati, ini berarti perlu diberikan mata pelajaran ketuhanan karena ilmu termulia adalah mengenal Tuhan serta sifat-sifat yang pantas bagi Tuhan
2) Mata pelajaran harus ada yang berisi tuntunan cara hidup yang mulia dan sempurna, yaitu ilmu akhlak dan fikih
3) Mata pelajaran yang diberikan hendaknya mengandung kelezatan ilmiah, yaitu rasa ingin tahu yang ada pada setiap manusia
4) Mata pelajaran yang diberikan harus bermanfaat secara praktis bagi kehidupan. Dengan kata lain, ilmu itu harus terpakai
5) Mata pelajaran yang diberikan berguna dalam mempelajari ilmu lain, yang dimaksud ialah ilmu alat, seperti bahasa dan semua cabangnya[21]
Cakupan bahan pengajaran yang ada dalam suatu kurikulum kini terus semakin luas atau mengalami perkembangan karena tuntutan dari kemajuan ilmu pengetahuan, kebudayaan, tekhnologi yang terjadi di dalam masyarakat, dan beban yang diberikan pada sekolah. S. Nasution mengatakan bahwa luasnya cakupan kurikulum antara lain disebabkan adanya tugas-tugas yang semula menjadi beban badan-badan lain, kini hal itu dibebankan pada sekolah.
Berdasarkan pada tuntutan perkembangan yang demikian itu, maka para perancang kurikulum dewasa ini menetapkan cakupan kurikulum meliputi empat bagian, yaitu:
1) Bagian yang berkenaan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh proses belajar mengajar
2) Bagian yang berisi pengetahuan, informasi-informasi, data, aktivitas-aktivitas dan pengalaman-pengalaman yang merupakan bahan bagi penyusunan kurikulum yang isinya berupa mata pelajaran yang kemudian dimasukkan dalam silabus
3) Bagian yang berisi metode atau cara menyampaikan mata pelajaran tersebut
4) Bagian yang berisi metode atau cara melakukan penilaian dan pengukuran atas hasil pengajaran mata pelajaran tertentu[22]
Menurut Herman H. Horne, substansi apa yang harus dimasukkan kedalam kurikulum itu merupakan isi kurikulum, yaitu :
1) The ability and needs of children (kemampuan yang diperoleh dari belajar dan kebutuhan anak didik). Hal ini dapat diketahui dari psikologi.
2) The legitimate demands of society (tuntutan yang sah dari masyarakat). Hal ini dapat diketahui dari sosiologi.
3) The kind of universe in which we live (keadaan alam semesta dimana kita hidup). Hal ini dapat diketahui dari filsafat.[23]
Pendapat diatas belum menjamin suatu kurikulum dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan pendidikan karena tidak memasukkan nilai-nilai yang wajib diresapi oleh anak didik sejalan dengan tujuan yang ditetapkan.
Dalam menjabarkan konsep nilai baik dasar maupun instrumental sebagai bagian dari pengembangan kurikulum pendidikan Islam, dapat dielaborasi dari :
1) Nilai-nilai yang banyak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan Hadits yang semuanya terangkum dalam ajaran akhlak dalam hubungannya dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan sesama manusia, dengan alam dan makhluk lainnya
2) Nilai-nilai universal yang diakui adanya dan dibutuhkan oleh seluruh umat manusia karena hakekatnya sesuai dengan fitrah manusia seperti cinta damai, menghargai hak asasi manusia, keadilan, demokrasi, kepedulian sosial dan kemanusiaan[24]
Ibn Khaldun membagi kurikulum pendidikan Islam ke dalam dua tingkatan yaitu 1) tingkat pemula (manhaj al-ibtidâ'). Pada tingkat ini, materi kurikulum pemula difokuskan pada pembelajaran Alquran dan sunah, sebab Alquran merupakan asal agama Islam, sumber ilmu pengetahuan dan sekaligus merupakan asas pelaksanaan pendidikan Islam; dan (2) tingkat atas. Kurikulum tingkat ini terdiri atas dua klasifikasi, yaitu (1) ilmu-ilmu yang berkaitan dengan zatnya sendiri, seperti ilmu syari'ah yang mencakup fikih, tafsir, hadis, ilmu kalam, ilmu bumi, ilmu ketuhanan dan ilmu filsafat (2) ilmu-ilmu yang ditujukan untuk ilmu-ilmu yang lain dan bukan berkaitan dengan zatnya sendiri. Misalnya, ilmu bahasa (linguistik), ilmu matematika dan ilmu mantik (logika).[25]
Sedangkan menurut Al-Ghazali klasifikasi isi kurikulum pada 3 kelompok yaitu :
1) Kelompok menurut kuantitas yang mempelajari
· Ilmu fardu (wajib) untuk diketahui oleh semua orang muslim, yaitu ilmu agama, ilmu yang bersumber dari kitab suci Allah
· Ilmu fardu kifayah untuk dipelajari setiap muslim. Ilmu ini adalah ilmu yang dimanfaatkan untuk memudahkan urusan duniawi, misalnya ilmu hitung (matematika), ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian dan industri
2) Kelompok menurut fungsinya
· Ilmu tercela adalah ilmu yang tidak berguna untuk masalah dunia maupun akhirat serta mendatangkan kerusakan, misalnya ilmu sihir, nujum dan ilmu perdukunan.
· Ilmu terpuji adalah ilmu agama yang dapat mensucikan jiwa dan menghindari hal-hal yang buruk, serta ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, misalnya ilmu tauhid, ilmu agama.
· Ilmu terpuji dalam batasan tertentu tidak boleh dipelajari secara mendalam karena akan mendatangkan ateis
3) Kelompok menurut sumbernya
· Ilmu Syar’iyah adalah ilmu-ilmu yang didapat dari wahyu ilahi dan sabda nabi
· Ilmu ‘Aqliyah adalah ilmu yang berasal dari akal pikiran setelah mengadakan eksperimen dan akulturas
Allah berfirman dalam Q.S. Fushshilat ayat 53 mengenai isi kurikulum yang artinya : “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan kami disegenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran iu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup bagi kamu bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu”
Ayat tersebut terkandung tiga isi kurikulum pendidikan Islam,yaitu :
1) Isi kurikulum yang berorientasi pada ketuhanan
Rumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan ketuhanan, mengenal dzat, sifat, perbuatan-Nya, dan relasinya terhadap manusia dan alam semesta. Bagian ini meliputi ilmu kalam, ilmu metafisika alam, ilmu fiqh, ilmu akhlak (tasawuf), ilmu-ilmu tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah (tafsir, mushtholah, linguistik, ushul fiqh, dan sebagainya). Isi kurikulum ini berpijak pada wahyu Allah SWT.
2) Isi kurikulum yang berorientasi pada kemanusiaan
Rumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan perilaku manusia, baik manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk berbudaya dan makhluk berakal. Bagian ini meliputi ilmu politik, ekonomi, kebudayaan, sosiologi, antropologi, sejarah lenguistik, seni, arsitek, filsafat, psikologi, paedagogis, biologi, kedokteran, pedagangan, komunikasi, administrasi, matematika, dan sebagainya.
3) Isi kurikulum yang berorientasi pada kealaman
Rumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan fenomena alam semesta sebagai makhluk yang diamanatkan dan untuk kepentingan manusia. Bagian ini meliputi ilmu fisika, kimia, pertanian, perhutanan, perikanan, farmasi, astronomi, ruang angkasa, geologi, geofisika, botani, zoology, biogenetik, dan sebagainya.[26]
Ibnu Sina berpendapat bahwa ilmu pengetahuan itu ada dua jenis, yaitu ilmu nazhori (teoritis) dan ilmu amali (praktis). Yang tergolong dalam ilmu nazhori ialah ilmu alam dan ilmu riyadhi (ilmu urai atau matematika). Tujuan filsafat secara teoritis untuk menyempurnakan jiwa dengan melalui ilmu. Adapun ilmu amali (praktis) ialah ilmu yang membahas tentang tingkah laku manusia dilihat dari segi tingkah laku individualnya. Ilmu ini menyangkut ilmu akhlak, dan ilmu siasat (politik). Tujuan praktisnya untuk menyempurnakan jiwa dengan melalui amal perbuatan.
Menurut Abdul-Rahman Shalih ‘Abdullah membagi kurikulum dalam tiga kategori, yaitu :
1) Al-ulum al-diniyyah,yaitu ilmu-ilmu keislaman normative yang menjadi kerangka acuan bagi segala ilmu yang ada
2) Al-ulum al-insaniyyah, yaitu ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang berkaitan dengan manusia dan interaksinya, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, pendidikan, dan lain-lain
3) Al-ulum al-kauniyyah, yaitu ilmu-ilmu kealaman yang mengandung asas kepastian. Seperti fisika, kimia, biologi, matematika, dan lain-lain.[27]
Dengan ketiga kategori ini, pendidikan islam secara tegas menolak dualisme dan sekularisme kurikulum, dimana dualisme kurikulum mengandung dua bahaya menurut Abdul-Rahman yaitu :
1) Ilmu-ilmu keislaman mendapat kedudukan yang lebih rendah daripada ilmu-ilmu lainnya
2) Lahirnya adopsi skularisme yang mengorbankan domain agama, yang pada gilirannya dapat melahirkan konsep anti agama
Menurut Prof. DR. Fadhil Al-Djamali (Guru Besar Ilmu Pendidikan pada Universitas Tunis) mengharapkan agar semua jenis ilmu yang dikehendaki oleh Al Quran diajarkan kepada anak yang meliputi ilmu agama, sejarah, ilmu falak dan ilmu bumi, ilmu jiwa, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu biologi, ilmu hitung, ilmu hokum dan perundangan, ilmu kemasyarakatan, ilmu ekonomi, ilmu balaghah, dan adab serta ilmu pertahanan negara dan lain-lain ilmu pengetahuan yang dapat memperkembangkan kehidupan manusia dan mempertinggi derajatnya.[28]Dengan demikian, kurikulum yang dipandang baik untuk mencapai tujuan pendidikan Islam adalah yang bersifat integrated dan komprehensif mencakup ilmu agama dan umum. Kurikulum harus bersifat dinamis dan konstruktif dalam arus proses perkembangan masyarakat manusia yang arahnya tidak sama. Yang sama adalah perkembangan itu sendiri tidak mampu memberi corak kehidupan yang sempurna kepada generasi mudanya tanpaadanya lembaga-lembaga pendidikan.
Sedangkan menurut Kilpatrick, kurikulum yang baik itu didasarkan pada tiga prinsip yaitu:
1) Meningkatkan kualitas hidup anak didik pada tiap jenjang sekolah
2) Menjadikan kehidupan aktual anak kea rah perkembangan dalam suatu kehidupan yang bulat dan menyeluruh (all round living) yaitu dapat berkembang ke arah tingkat kehidupan masyarakat yang paling baik yang harus diusahakan oleh sekolah yang tidak menghambat masyarakat serta perkembangan kualitas yang tinggi dari hidup anak didik
3) Mengembangkan aspek kreatif kehidupan sebagai suatu uji coba atas keberhasilan sekolah, sehingga anak didik mampu berkembang dalam kempuannya yang actual untuk aktif memikirkan hal-hal baru yang baik untuk diamalkan
Ketiga prinsip diatas disebut emerging curriculum yaitu kurikulum yang mendorong anak didik untuk maju.
F. Konferensi Internasional Pendidikan Islam di Makkah tahun 1977
Islamisasi merupakan sebuah karakter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup (worldview) yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan (theology). Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Secara historis, ide atau gagasan islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada saat diselenggarakan konferensi dunia yang pertama tentang pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University ini berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40 negara, dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan serta penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut islamisasi ilmu pengetahuan. Gagasan ini antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam makalahnya yang berjudul “ Preliminary Thoughts on the Nature ofKnowledge and the Definition and the Aims of Education, dan Ismail Raji al- Faruqi dalam makalahnya “Islamicizing social science.”
Dalam makalahnya tersebut, Naquib al-Attas mengungkap tentang arti pentingnya upaya merumuskan dan memadukan unsur-unsur Islam yang esensial serta konsep-konsep kuncinya sehingga menghasilkan suatu aan dikembangkan dalam sistem pendidikan Islam dari tingkat bawah sampai tingkat tertinggi. Penekanan yang menjadi tumpuan utama bagi al-Attas adalah manusia itu sendiri.
Berbeda dengan al-Faruqi yang melakukan islamisasi pada disiplin itu sendiri. Al-Faruqi lebih menekankan pada objek islamisasi itu sendiri, yakni disiplin ilmu modern. Letak perbedaan strategi antara al-Attas dan al-Faruqi mengarah pada subjek islamisasi ilmu yakni manusianya. Al-Faruqi mengarah pada objek islamisasi ilmu yakni disiplin ilmu itu sendiri dengan lima sasaran dan dua belas langkah sistematis.
Dalam konferensi Internasional Pendidikan Islam itu telah melahirkan keputusan-keputusan penting terkait rumusan-rumusan pendidikan Islam yang kemudian menjadi acuan bagi umat Islam sedunia. Lebih detail Konferensi Internasional I tentang Pendidikan Islam di Makkah tahun 1977 telah merumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut : “Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya : spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh ummat manusia.”
Pada saat itu, ilmu diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu:
1) Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu Ilahi yang tertera dalam Al Quran dan Hadis serta segala yang dapat diambil dari keduanya
2) Ilmu yang dicari (acquired knowledge) termasuk sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas dan pengalihan antar budaya selama tidak bertentangan dengan Syari’ah sebagai sumber nilai[29]
G. Kurikulum Pendidikan Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman
Di dalam era millenium baru ini, efek negatif dari globalisasi dan krisis lingkungan hidup harus dihadapi oleh agama yang notebene selalu mendidik ke arah perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan hidup. Itu pula yang dihadapi oleh Pendidikan Islam sekarang dan yang akan datang. Padahal persoalan internal Pendidikan Islam sendiri, baik secara kelembagaan maupun keilmuan, masih menghadapi persoalan-persoalan klasik yang belum terpecahkan sampai sekarang, dari persoalan managemen, ketenagaan, sumber dana, sampai ke masalah infrastruktur dan kurikulum.[30]
Dari kenyataan di atas menyebabkan kualitas Pendidikan Islam sangat rendah. Di sisi lain hal tersebut mengakibatkan para pengelola Pendidikan Islam tidak lagi sempat dan mampu mengantisipasi adanya tantangan globalisasi yang sudah begitu jelas menghadang di hadapannya. Lebih lanjut lagi menurut Amin Abdullah bahwa Pendidikan Islam masih selalu bergerak dengan perspektif “inward looking” (berorientasi ke dalam), tidak banyak upaya pengembangan ke luar karena masih sibuk mengurusi diri sendiri sehingga menyebabkan terjadinya stagnasi. Dalam menghadapi perkembangan global, Pedidikan Islam harus mulai membuka diri dengan menggunakan perspektif “outward looking”, yakni memahami apa yang terjadi dan berkembang di dunia global untuk kemudian mengantisipasinya dengan perbaikan-perbaikan ke dalam.
Dampak negatif yang turut menyertai globalisasi terhadap Pendidikan Islam di antaranya, krisis moral. Melalui tayangan acara-acara di media elektronik dan media massa lainnya, yang menyuguhkan pergaulan bebas, sex bebas, konsumsi alkohol dan narkotika, perselingkuhan, pornografi, kekerasan, dan lain-lain. Hal ini akan berimbas pada perbuatan negatif generasi muda seperti tawuran, pemerkosaan, hamil di luar nikah, penjambretan, pencopetan, penodongan, pembunuhan oleh pelajar, malas belajar dan tidak punya integritas dan krisis akhlaq lainnya. Yang ke dua dampak negatif dari era globalisasi adalah krisis kepribadian. Dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan di suatu negara yang menyuguhkan kemudahan, kenikmatan dan kemewahan akan menggoda kepribadian seseorang. Nilai kejujuran, kesederhanaan, kesopanan, kepedulian sosial akan semakin terkikis.Melihat berbagai hal dampak negatif yang ditimulkan oleh perkembangan zaman tersebut, maka sudah suatu keharusan bagi Pendidikan Islam untuk merumuskan kurikulum yang mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang kebal terhadap dampak negatif tersebut.
Selain dampak negatif, arus perkembangan zaman juga memunculkan tantangan semakin hilangnya batas-batas semu antarnegara dan bangsa di dunia akibat arus modal, jasa, komoditas, pengetahuan, dan manusia yang saling melintas antarperbatasan. Hal tersebut mangkibatkan dunia menjadi “rata”, artinya semua pesaing memiliki kesempatan yang sama, sehingga mereka yang tidak mampu menggunakan dan memanfaatkan peluang dan kesempatan yang ada, akan segera tertinggal. Dalam konteks penidikan, negara-negara yang tidak bisa menghasilkan lulusan-lulusan berkualitas internasional akan segera tertinggal di arena kompetisi dunia.[31]
Untuk menjawab berbagai tantang tersebut minimal ada enam orientasi atau pendekatan dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Islam, meliputi:
1) Pendekatan rasionalisme akademik
Pendekatan ini menganut asumsi bahwa kurikulum merupakan transmisi budaya, nilai dan pengetahuan serta ketrampilan. Kurikulum harus mampu membuat peserta didik menggunakan kaidah-kaidah yang berpikir ketat dan terkendali dalam menguasai ilmu yang diajarkan.
2) Pendekatan pengembangan proses kognitif
Pendekatan yang tidak hanya mengutamakan konten pendidikan tetapi juga bagaimana mengolah konten tersebut. Setiap aktifitas pembelajaran berpusat pada siswa dan proses yang terjadi di dalam kelas. Dasar pikiran yang digunakan adalah peserta didik harus dilihat sebagai unsur yang interaktif dan adaptif dalam sistem.
3) Pendekatan struktur pengetahuan
Asumsinya adalah penekanan yang benar dalam proses pembelajaran adalah membuka wawasan peserta didik akan struktur pengetahuan. Peserta didik harus memahami ide-ide yang fundamental, kosnep-kosnep dasar, serta materi yang diajarkan diorganisasikan dalam pola hubungan satu sama lain, baik hubungan di dalam disiplin ilmu maupun bersifat interdisipliner.
4) Pendekatan teknologis
Pendekatan yang menekankan pada teknologi bagaimana ilmu pengetahuan itu ditransfer dan bagaimana memberi kemudahan-kemudahan dalam proses pembelajaran.
5) Pendekatan aktualisasi diri
Kurikulum adalah alat untuk memperoleh pengalaman yang terbaikdalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologik secara keseluruhan. Sebagai alat, kurikulum harus mempunyai daya pebebas untuk pembentukan integritas personal peserta didik.
6) Pendekatan relevansi-rekonstruksi sosial
Menurut pendekatan ini, kurikulum harus mencerminkan hubungan-hubungan permasalahan sosial masa kini dan masa depan dengan perkembangan peserta didik yang sesuai. Perkembangan sosial dan pengaruh timbal balik terhadap kualitas mentalitas dan kualifikasi diri peserta didik harus dijadikan dasar pemikiran dalam pengembangan kurikulum.[32]
Selain pendekatan-pendekatan yang diambil dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Islam guna menghadapi tantangan zaman, lembaga pendidikan Islam perlu merumuskan kurikulum yang menyajikan program-program yang kompetitif. Dilihat dari metode penyajianya, program-program tersebut menyentuh tiga aspek pembelajaran, yaitu kognitif (pemahaman), afektif ( penerimaan/sikap) dan psikomotorik (ketrampilan). Jika mengacu pada konsep dasar pendidikan oleh UNESCO, proses pembelajaran di Lembaga Pendidikan Islam harus dapat membantu peserta didik memiliki lima kemampuan, yaitu to know (meraih pengetahuan) , to do (berbuat sesuatu), to be (menjadi diri sendiri), to live together (hidup berdampingan), to know god’s creation (mengenal ciptaan Tuhan.
Bila semua aspek dan kemampuan ini disajikan secara terpadu, maka para lulusan lembaga Pendidikan Islam diharapkan memiliki keseimbangan antara kualitas ilmu/intelektual, iman dan amal/akhlak.
III. KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Kurikulum tidak hanya memuat sejumlah mata pelajaran di sekolah, tetapi juga mencakup sejumlah pengalaman yang diperoleh, baik di sekolah maupun di luar sekolah, yaitu di lingkungan masyarakat sekitarnya.
2. Ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam menurut Al Syaibany diantaranya yaitu :
1) Menonjolkan mata pelajaran agama dan akhlak
2) Memperhatikan pengembangan yang menyeluruh aspek pribadi siswa
3) Memperhatikan keseimbangan antara pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat, akal dan rohani manusia
4) Memperhatikan juga seni halus
5) Mempertimbangkan perbedaan-perbedaan kebudayaan yang sering terdapat di tengah manusia
Prinsip kurikulum dalam pendidikan Islam menghendaki adanya keterkaitan antara kurikulum dengan sumber pokok agama Islam, yaitu Alquran dan hadis di mana pun dan kapan pun pendidikan itu berlangsung. Secara garis besarnya dalam kurikulum pendidikan Islam harus terlihat adanya unsur-unsur: ketauhidan, keagamaan, pengembangan potensi manusia sebagai khalifah Allah, pengembangan hubungan antar manusia.
3. Asas atau landasan kurikulum, yaitu :
1) Asas teologis
2) Asas filosofis
3) Asas sosiologis
4) Asas organisatoris
5) Asas psikologis
4. Isi kurikulum pendidikan Islam
1) Menurut Herman H. Horne yang masuk kedalam isi kurikulum yaitu The ability and needs of children, The legitimate demands of society, The kind of universe in which we live.
2) Ibn Khaldun membagi kurikulum pendidikan Islam ke dalam dua tingkatan yaitu tingkat pemula dan tingkat atas.
3) Al Ghazali membagi kurikulum kedalam 3 kelompok yaitu menurut kuantitas yang mempelajari, menurut fungsinya dan sumbernya.
4) Ibnu Sina membagi ilmu pengetahuan menjadi dua jenis, yaitu ilmu nazhari (teoritis) dan ilmu amali (praktis).
5) Menurut Abdul-Rahman Shalih ‘Abdullah membagi kurikulum dalam tiga kategori yaitu Al-ulum al-diniyyah, al ulum al-insaniyyah dan al ulum al kauniyyah.
5. Dalam konferensi Internasional Pendidikan Islam itu telah melahirkan keputusan-keputusan penting terkait rumusan-rumusan pendidikan Islam yang kemudian menjadi acuan bagi umat Islam sedunia. Salah satu gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut islamisasi ilmu pengetahuan yaitu oleh Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi.
6. Untuk menghadapi tantangan zaman dalam pengembangan kurikulum Pendidikan ada enam orientasi atau pendekatan yaitu:
1) Pendekatan rasionalisme akademik
2) Pendekatan pengembangan proses kognitif
3) Pendekatan struktur pengetahuan
4) Pendekatan teknologis
5) Pendekatan aktualisasi diri
6) Pendekatan relevansi-rekonstruksi sosial
Demikian makalah ini dibuat. Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu saran dan kritik konstruktif sangat penulis harapkan untuk perbaikan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2005
Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Bandung: CV. Diponegoro, 1992
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam (Paradigma Humanisme Teosentris), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Al-Abrâshî, M. Atiyah, Dasar-Dasar Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Al-Shaybânî, Umar Muhammad Tuwmî, Filsafat Pendidikan Islam, Terjemahan oleh Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Arifin, H. M.. T.th. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. ke-4. Jakarta: Bumi Aksara
Crow and Crow. Pengantar Ilmu Pendidikan.edisi ke-1, Yokyakarta: Rake Sirasi,1990
Imas Kurniasih, Mendidik SQ Anak Menurut Nabi Muhammad SAW, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010
Jalaluddin & Said, Usman, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994
Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Al-Husna, 1987
Muhaimin & Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Cet. ke-1 Bandung: Trigenda Karya, 1993
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003
Nizar, Syamsul. Filsafat Pendidikan Islam.cet.ke-1, Jakarta, Ciputat Pers,2002
Nugiyantoro, Burhan, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah .Sebuah Pengantar Teoritis Dan Pelaksanaan, Yogyakarta: BPFE, 1980
Nuryanti, “Filsafat Pendidikan Islam tentang Kurikulum”, dalam Hunafa; Jurnal Hunafa, Desember 2008, Vol. 5, No. 3
S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, Bandung : Citra Adirya Bakti, 1991, cet. Ke-4
Uman Cholil, Ikhtisar Ilmu [1] Imas Kurniasih, Mendidik SQ Anak Menurut Nabi Muhammad SAW, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010, 63.
[2] Prof. Dr. Omar Muhammad Al-Touny al-Syaebani, Falsafah Pendidikan Islam, terjemahan Dr. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, 399.
[3] Muhaimin & Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Cet. ke-1 Bandung: Trigenda Karya, 1993, 183.
[4] Nugiyantoro, Burhan, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah .Sebuah Pengantar Teoritis Dan Pelaksanaan, Yogyakarta: BPFE, 1980, 21.
[10] Jalaluddin & Said, Usman, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994, 43.
[14] Al-Shaybânî, Umar Muhammad Tuwmî, Filsafat Pendidikan Islam, Terjemahan oleh Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, 1979, 489-517.
[15] Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, 51-52.
[20] Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Bandung: CV. Diponegoro, 1992, 273-277.
[24] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam (Paradigma Humanisme Teosentris), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, 122.
[25] Nuryanti, “Filsafat Pendidikan Islam tentang Kurikulum”, dalam Hunafa; Jurnal Hunafa, Desember 2008, Vol. 5, No. 3, 336.
[29] M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan Pustaka, 2007, 62-63.
[30] Kata Pengantar Amin Abdullah, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Yogyakarta: Presma UIN-Suka, 2004, ix.
[31] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, 91.
[32] Moch. Fuad, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Yogyakarta: Presma UIN-Suka, 2004, 85-87.
No comments:
Post a Comment