I. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan proses membimbing manusia dari kegelapan, kebodohan, dan pencerahan pengetahuan. Dalam arti luas, pendidikan, baik formal maupun informal, meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia tempat mereka hidup.[1] Sedangkan Kamal Hasan yang dikutip Imas Kurniasih mendefinisikan pendidikan sebagai suatu proses seumur hidup untuk mempersiapkan seseorang agar dapat mengaktualisasikan peranannya sabagai khalifatullah di muka bumi.[2]Dengan pengertian tersebut, proses pendidikan ditujukan sebagai usaha untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri manusia.
Dalam masyarakat yang peradabannya sangat sederhana sekalipun telah ada proses pendidikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sering dikatakan bahwa pendidikan telah ada semenjak munculnya peradaban manusia.[3]Sebab, semenjak awal manusia diciptakan upaya membangun peradaban selalu dilakukan. Manusia mencita-citakan kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Melalui proses kependidikan yang benar dan baik maka cita-cita ini diyakini akan terwujud dalam realitas kehidupan manusia.
Pendidikan pada umumnya ditujukan untuk menanamkan nila-nilai dan norma-norma tertentu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam filsafat pendidikan, yaitu nilai atau norma yang dijunjung tinggi oleh suatu lembaga pendidikan.[4]Namun tidak dapat dipungkiri, seringkali dasar filosofis tersebut belum terkonsep secara matang oleh pelaku pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada lembaga pendidikan tertentu dimana pola dan sistem pendidikan yang dilembagakan cenderung tidak stabil.
Oleh karena itu, dalam rangka mempersiapkan pendidikan yang baik maka perlu diawali dengan menetapkan dasar filosofis yang mantap dan ditunjang oleh seperangkat teori kependidikan yang memadai. Hal ini dikarenakan proses pendidikan yang dilakukan senantiasa didasarkan atas suatu keyakinan tertentu, yaitu suatu pandangan atau pemikiran yang bersifat idealis-filosofis-teoritis[5], termasuk pandangan tentang manusia dan masyarakat.
Manusia merupakan makhluk individu sekaligus makhluk sosial yang tereduksi dalam sebuah komunitas atau masyarakat.. Melalui konsep zoon politikon, Thomas Aquinas secara tidak langsung mengakui eksistensi sosial sekaligus individual manusia di atas. Meski beberapa ahli lebih menyatakan teori zoon politikon tak lebih dari kebutuhan manusia untuk bereksistensi di dalam masyarakat politik, tetapi bagi Aquinas, zoon politikon merupakan konsep yang menyatakan bahwa melalui kemampuan akal dan berbicaranya manusia bekerjasama untuk mendirikan komunitas politik, yaitu perkumpulan “manusia-manusia bebas”. Manusia bebas menurut Aquinas manusia yang dapat mengarahkan dirinya sendiri.[6]Kemampuan mengarahkan diri sendiri yang menunjukkan kesempurnaan makhluk inilah yang kemudian mendasarinya menyebut manusia sebagai persona.[7]
Bagaimana dengan Islam? Pengakuan Islam atas eksistensinya sebagai individu maupun makhluk sosial salah satunya dapat kita lihat dari proses penciptaan manusia itu sendiri. Secara umum, al-Qur’an menyatakan manusia diciptakan dari yang satu, yaitu Adam, yang darinya Allah menciptakan perempuan, yaitu Hawa. Dan dari keduanya manusia berkembang biak. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً ….
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. …. (QS. An-Nisa’: 1)
Bila diteliti secara mendalam, di dalam al-Qur’an terdapat dua informasi penciptaan manusia, yaitu; pertama, penciptaan secara primordial, yakni tentang penciptaan manusia pertama, Adam as. Penciptaan ini berbeda dengan penciptaan manusia yang lain. Di dalam penciptaan jenis pertama ini, di dalam al-Qur’an, Allah sebagai al-Khaliq menggunakan kata ganti (dhamir) tunggal. Misalnya di dalam QS. Al-Baqarah ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah ayat 30)
QS. Al-Hijr ayat 28:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (QS. Al-Hijr ayat 28)
Dhomir tunggal ini menunjukkan tidak diperlukannya campur tangan pihak lain dalam proses penciptaan, kecuali Allah sendiri.[8] Ini menunjukkan kepada kita betapa sesungguhnya Allah mengajarkan kita akan kemampuan manusia secara individu untuk mengatur dirinya.
Penciptaan keduaadalah penciptaan manusia secara umum. Di dalam penciptaan ini, di dalam al-Qur’an dituliskan bahwa kata ganti Allah sebagai Sang Pencipta menggunakan kata ganti jamak. Kita bisa lihat dalam QS. Yasin ayat 77:
أَوَلَمْ يَرَ الإنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ
Dan Apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), Maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata! (QS. Yasin: 77)
Juga di dalam QS. Al-Insan ayat 2 yang berbunyi:
$¯RÎ) $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB >pxÿôÜR 8l$t±øBr& ÏmÎ=tGö6¯R çm»oYù=yèyfsù $JèÏJy #·ÅÁt/
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur[1535] yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan Dia mendengar dan melihat. (QS. Al-Insan: 2)
Dengan kata ganti (dhamir) jamak tersebut menunjukkan bahwa Allah melibatkan pihak lain dalam penciptaan manusia, yaitu manusia lain.[9]Ini mengindikasikan bahwa eksistensi manusia sebenarnya tidak terlepas dari eksistensi manusia lainnya. Di sinilah posisi manusia sebagai makhluk sosial.
Di dalam makalah ini penulis tidak hendak membahas eksistensi manusia secara pribadi, melainkan manusia sebagai makhluk sosial yang terkumpul dalam sebuah masyarakat manusia dilihat dari sudut pandang Islam. Berdasar pada prinsip-prinsip yang menjadi pandangan Islam mengenai masyarakat manusia ini kemudian akan dicari implikasi serta aplikasi pandangan tersebut di dalam Pendidikan Islam serta supervisi Pendidikan Agama Islam.
II. PEMBAHASAN
A. Definisi Masyarakat dalam Terminologi Modern
Masyarakat dipandang sebagai sebauah sistem sosial dapat diartikan sebagai sebuah organisme yang terdiri atas bagian-bagian yang saling bergantung karena memiliki fungsinya masing-masing dalam keseluruhan.[10]Bagian-bagian yang dimaksud adalah individu-individu yang menjadi anggotanya.
Masyarakat terdiri atas individu-individu manusia yang membentuk dan dibentuk oleh organisasi. Masyarakat adalah manusia organisasi. Masyarakat adalah perpaduan antara heterogenitas dan keteraturan. Masyarakat adalah bentuk paling modern dari peradaban manusia hingga saat ini, dari bentuk awalnya komunitas homogen berkembang menjadi massa yang heterogen.[11]
Terdapat beberapa ciri-ciri dari konsep masyarakat, antara lain:[12]
1. Manusia yang hidup bersama sekurang-kurangnya terdiri atas dua orang.
2. Bercampur atau bergaul dalam waktu cukup lama. Berkumpulnya manusia menimbulkan manusia-manusia baru. Sebagai akibat hidup bersama itu muncul sistem komunikasi dan peraturan yang mengatur hubungan antar manusia.
3. Sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan.
4. Merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama ini dapat memunculkan kebudayaan.
B. Term Masyarakat di Dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia berlaku secara universal. Artinya al-Qur’an meski diturunkan dalam bahasa Arab namun isi dan kandungannya tidak terbatas oleh negara, suku, ras, dan warna kulit.
Diturunkannya al-Qur’an ke dalam Bahasa Arab sendiri diakui oleh al-Qur’an melalui ungkapan eksplisit ke dalam dua bentuk. Bentuk pertama dengan ungkapan قرأناً عربيًا(al-Qur’an yang berbahasa Arab) sebanyak enam kali. Dan bentuk kedua dengan ungkapan لسانٌ عربيٌ (dengan Bahasa Arab) sebanyak tiga kali.[13]
Salah satu keistimewaan bahasa Arab yang dipilih Allah menjadi bahasa al-Qur’an adalah redaksinya singkat, teliti lagi padat serta kaya isi dan makna yang dalam. Sehingga penalaran dan informasinya memuaskan semua pihak yang mempunyai pemahaman dan tingkat kecerdasan yang berbeda-beda pada setiap masa dan tempat.[14]Dengan demikian pemilihan kosakata di dalam ayat al-Qur’an tentu tidak semata karena alasan kepraktisan redaksional semata, melainkan memiliki makna besar di dalamnya.
Pengungkapan al-Qur’an tentang masyarakat atau komunitas manusia melalui bentuk term yang bervariasi. Term-term tersebut antara lain; qaum, ummah, sya’b, qabilah, firqah, thaifah, hizb, dan fauj. Di dalam makalah ini akan dijelaskan pengertian dua term diantara berbagai term yang ada, yaitu qaum dan ummah.
1. Qaum
Menurut Ibnu Faris dalam Mu’jam al Maqayis fi al-Lughah yang dikutib oleh Ali Nurdin, Qaum (terdiri dari tiga huruf; qaf, wawu, dan mim) memiliki dua akar makna dasar, yaitu “kelompok manusia” dan “berdiri tegak atau tekad”.[15] Berdiri tegak di sini diartikan sebagai mampu memelihara sesuatu agar tetap ada.[16]
Sedangkan Muhammad Syahrur berpendapat setidaknya terdapat tiga definisi bagi term qaum, antara lain;
a. Qaum bermakna sebagai komunitas laki-laki, sebagai lawan kata an-nisa’ (komunitas perempuan)[17], seperti yang tertulis dalam QS.al-Hujurat: 11 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS.al-Hujurat: 11)
b. Qaum bermakna sebagai komunitas manusia berakal, baik laki-laki maupun perempuan pada kondisi sosial masyarakat tertentu.[18]Salah satu ayat yang menunjukkan makna ini adalah QS. Nuh ayat 1-2.
إِنَّا أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ أَنْ أَنْذِرْ قَوْمَكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (١) قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ (٢)
Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan): "Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih", Nuh berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu. (QS. Nuh: 1-2)
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ibrahim: 4)
Dengan pengertian-pengertian tersebut di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa qaum berarti komunitas manusia berakal yang mempunyai perangkat pemikiran serta alat komunikasi yang dengannya mereka bersama-sama menjaga/memelihara eksistensi mereka sendiri.
Kata qaum ini digunakan secara berulang sebanyak 383 kali di dalam al-Qur’an. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan term lain yang menunjukkan arti masyarakat. [20]
2. Ummah
Term ummah berasal dari kata amma yang kemudian berderivasi menjadi banyak kata, misalnya; imam(pemimpin yaitu orang-orang yang menganjurkan kebaikan dan diikuti perilaku dan petuahnya oleh manusia), dan al-ummi (bodoh).[21]
Selain makna tersebut, term ummahjuga bermakna sebagai binatang-binatang yang ada di bumi (QS. Al-An’am: 38), makhluk dari bangsa jin dan manusia (QS. Al-A’raf: 38), waktu yang terekam (QS. Hud: 8).
Ummah juga bisa bermakna kumpulan makhluk hidup (manusia) yang berakal yang memiliki perilaku seragam.[22] Hal ini dapat dilihat dari QS. Al-Baqarah: 123 yang berbunyi:
وَاتَّقُوا يَوْمًا لا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَلا هُمْ يُنْصَرُونَ
Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafa'at kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong. (QS. Al-Baqarah: 123)
a. Generasi manusia yang kepada mereka diutus seorang nabi atau rasul. QS. Al-An’am: 42 berbunyi:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ
Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. (QS. Al-An’am: 42)
b. Suatu jamaah atau golongan manusia yang menganut suatu agama. QS. Al-A’raf: 159 berbunyi:
وَمِنْ قَوْمِ مُوسَى أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ
Dan di antara kaum Musa itu terdapat suatu umat yang memberi petunjuk (kepada manusia) dengan hak dan dengan yang hak Itulah mereka menjalankan keadilan. (QS. Al-A’raf: 159)
c. Suatu jamaah manusia dari berbagai golongan sosial yang diikat oleh ikatan sosial yang membuat mereka bersatu. QS. Al-Mu’minun: 52 berbunyi:
وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ
Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku. (QS. Al-Mu’minun: 52)
Berdasarkan uraian di atas maka dapat kita simpulkan bahwa term ummah lebih ditujukan pada pengertian sekelompok manusia yang telah diikat dalam sebuah ikatan aturan (agama misalnya).
Berdasarkan dua pengertian dua term al-Qur’an yang merujuk pada pengertian masyarakat tersebut di atas, maka masyarakat di dalam al-Qur’an dapat dimaknai sebagai sekelompok manusia berakal yang dapat berkomunikasi dan diikat dalam sebuah aturan untuk menjaga/memelihara eksistensinya.
C. Prinsip-Prinsip Pandangan Islam Mengenai Masyarakat
Masyarakat merupakan arena tempat dimana individu dan kelomok berinteraksi, menjalin hubungan sesamanya, dimana usaha berpadu, saling memahami dan menyatakan rasa masing-masing.[24]
Prinsip-prinsip masyarakat dari sudut pandang Islam antara lain:
1. Prinsip pertama; kepercayaan bahwa masyarakat adalah sekumpulan dan sekelompok individu yang diikat oleh kesatuan tanah air, kebudayaan dan agama.[25]
Bila kita bandingkan dengan pengertian term-term al-Qur’an yang merujuk pada makna masyarakat di atas tentu kita akan sedikit menemukan perbedaan. Paling tidak pada keluasan cakupan ikatan yang menyatukan masyarakat itu sendiri. Perbedaan tersebut menjadi wajar jika kita melihat bahwa sudut pandang dan waktu pengambilan definisi yang berbeda pula.
Definisi al-Qur’an merupakan definisi eksplisit yang diambil dari teks-teks (ayat-ayat) yang bersifat baku. Sedangkan definisi terakhir yang dikemukakan merupakan definisi yang seringkali digunakan oleh sosiolog muslim modern.
Pertanyaannya adalah apakah perbedaan pengertian yang demikian merupakan hal yang prinsip atau bukan. Omar Mohammad al-Taoumy al-Syaibany menyadari bahwa di dalam sumber-sumber Islam yang pokok seperti Al-Qur’an, Sunah dan Riwayat Salafus Salih mungkin tidak ditemukan definisi masyarakat sebagaimana yang terdapat dalam ilmu sosiologi modern.[26]
Dan bila kita amati secara cermat, hemat penulis, sebenarnya tidak terdapat perbedaan signifikan dari kedua pengertian tersebut selain sekedar keluasan cakupan ikatan yang menyatukan masyarakat saja. Pengertian yang diambil dari al-Qur’an menitik-beratkan agama sebagai pengikat individu manusia di dalam masyarakat, sedangkan pengertian sosiolog modern meletakkan tanah air, budaya, dan agama sebagai pengikatnya.
Sebagai petunjuk hidup (guidance of life) dan jalan hidup (way of life), Islam mengatur tidak sekedar hubungan manusia dengan Tuhannya, akan tetapi juga memberi petunjuk bagaimana hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Maka semakin terlihat kentara bahwa Islam datang untuk membangun masyarakat yang baik dan utama[27]yang bersifat menyeluruh bagi semua manusia di dunia dengan segala perbedaan yang dimilikinya.[28]
Di dalam QS. Al-Anbiya: 107 Allah berfirman:
!$tBur»oYù=yör&wÎ)ZptHôqyúüÏJn=»yèù=Ïj9
Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya: 107)
Lafald rahmatal lil ‘alamin di dalam ayat tersebut menunjukkan Islam datang dengan ajaran yang bersifat universal, tentu dengan konsekuensi mengakui segala perbedaan yang ada, baik perbedaan suku, ras, maupun agama. Ini dibuktikan dengan sikap Islam menyangkut kebebasan untuk menganut kepercayaan. Kita bisa lihat hal ini di dalam QS. Al-Kafirun ayat 6 maupun QS. Al-Baqarah ayat 256.
2. Prinsip kedua; kepercayaan bahwa masyarakat Islam mempunyai identitas khas dan ciri-ciri tersendiri.[29]
Dalam dunia modern dengan berbagai macam corak masyarakat, maka nilai universalitas Islam, seperti yang telah dikemukakan pada prinsip pertama, menjadi sangat penting. Dengan nilai universal di atas, Islam mampu bergaul dengan segala jenis dan bentuk masyarakat. Pada posisi ini, Islam telah memasuki arena komunikasi di antara berbagai bangsa yang memiliki kepercayaan, kebangsaan, dan kebudayaan yang berbeda beda dengan pemikiran terbuka tanpa perasaan curiga.
Meski masyarakat Islam merupakan masyarakat yang universal yang mengakui perbedaan bangsa, suku, warna kulit, dan agama, namun masyarakat Islam memiliki identitas dan ciri khusus yang membedakannya dengan masyarakat lainnya. Dengan ciri khusus ini-lah kemudian Islam berusaha membangun masyarakat ideal, yang di dalam al-Qur’an disebut dengan term ummatan wasathan (masyarakat pertengahan, moderat, adil)[30],ummatan muqtashidah (masyarakat yang tidak berlebih-lebihan)[31],dan khaira ummah (masyarakat terbaik, unggul, ideal)[32].
Al-Syabany melalui bukunya “Falsafatut Tarbiyah Al-Islamiyyah” yang disadur oleh Hasan Langgulung, menyebutkan ciri-ciri masyarakat Islam[33], antara lain:
a. Masyarakat Islam terwujud atas tonggak iman kepada Allah SWT, para nabi, rasul dan kitab-kitab samawi, ahri akhir, hari kebangkitan, hari berkumpul dipadang maksar, perhitungan dan balasan. Prinsip tersebut disebut prinsip tauhid, artinya menghilangkan kesyirikan, salah satunya syirik sosial (menjadikan manusia lain seperti Tuhan dan penguasa mutlak), dan hanya mengakui satu penguasa, Sang Penguasa, yaitu Allah SWT.
b. Agama diletakan pada proposi yang tertinggi
c. Penilaian yang tinggi diberikan kepada akhlak dan tata susila.
d. Ilmu diberi perhatian yang tinggi.
e. Masyarakat Islam menghormati dan menjaga kehormatan manusia.
f. Keluarga dan kehidupan keluarga mendapat perhatian yang besar.
g. Masyarakat islam ialah masyarakat yang dinamik.
h. Kerja mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam masyarakat Islam.
i. Nilai dan peranan harta diperhitungkan untuk menjaga kehormatan insan dan pembangunan masyarakat umat.
j. Kekuatan dan keteguhan yang dilentur oleh agama.
3. Prinsip ketiga; kepercayaan bahwa dasar pembinaan masyarakat Islam adalah aqidah keimanan tentang wujud, dan ke-Esaan Allah.[34]
Rukun iman merupakan salah satu tiang asas masyarakat Islam. Artinya, jika keimanan telah ada pada semua individu maka dipastikan sesungguhnya masyarakat ideal seperti halnya ciri-ciri yang telah diuraikan pada prinsip kedua akan segera terwujud.
Keimanan yang memberikan manfaat adalah keimanan yang memadukan keyakinan di hati dan di lisan, keimanan yang mampu melahirkan kebaikan.[35]Dengan sungguh-sungguh beriman kepada Allah maka mendorong manusia lebih berpegang teguh pada nilai-nilai luhur, keutamaan dan akhlak yang tinggi ketika bergaul dengan orang lain.[36]Implikasi nyata keimanan pada diri seseorang adalah dampak positif yang ditimbulkannya berupa kesehatan jiwa, akal, dan moral. Keimanan kepada Alah juga merupakan motivator bagi perilaku yang baik, sebab ia menjadikan kebaikan dan kesalehan sebagai pondasi yang kokoh.[37]
Agama pada hakikatnya mengarahkan konsep hidup manusia, hubungannya dengan Tuhan, jagat raya, pribadi dan kelompok masyarakat. Maka melihat Islam bukan semata pada persoalan fiqhiyah (yang sering dimakanai sebagai ibadah), tetapi juga pada persoalan-persoalan hubungan manusia dengan lingkungannya (muamalah).
Ibadah dalam kaidah ubudiyah merupakan tata aturan Ilahi yang mengatur hubungan ritual langsung antara hamba dan Tuhannya dimana acara, tatacara, serta upacaranya telah ditentukan secara terinci dalam al-Qur’an dan Sunah Rasul.[39]Sedang dalam artian luas, ibadah merupakan segala sikap, gerak-gerik, tingkah-laku, dan perbuatan yang memiliki tiga tanda, yaitu; niat yang ikhlas sebagai titik tolak, keridhaan sebagai titik tujuan, dan amal salih sebagai garis amalan.[40]
Dengan kedua makna ibadah di atas, maka manusia yang menyatakan dirinya beriman praktis akan senantiasa mengontrol perbuatannya agar sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan, tujuannya supaya setiap tindakannya dapat bernilai ibadah.
Sedangkan muamalah merupakan tata aturan Ilahi yang mengatur hubungan sesama manusia dan hubungan antara manusia dan benda.[41]Aturan-aturan Islam dalam bidang muamalah inilah kemudian yang seringkali menjadi dasar konsep masyarakat menurut Islam seperti yang sedang dibahas dalam makalah ini.
5. Prinsip kelima; kepercayaan bahwa ilmu itu adalah dasar yang terbaik bagi kemajuan masyarakat sesudah agama.[42]
Bagi Abdul Munir Mulkhan, ilmu dianggap sebagai hasil kerja intelektual yang kebenarannya tidak bersifat final atau relative sehingga membuka peluang bagi lahirnya ilmu-ilmu baru selain teori-teori yang pernah ada.[43]
Di dalam Islam, keberadaan ilmu hampir bisa dikatakan selalu terbagi menjadi dua, ilmu yang bersifat teologia yang berisi tuntunan bagaimana berhubungan dengan Tuhan, dan ilmu yang bersifat alamiah yakni ilmu yang berkaitan dengan manusia dalam hubungannya dengan alam sekitarnya.
Ilmu yang bersifat teologia yang demikian, mendasarkan dirinya pada ayat-ayat qauliyah (al-Qur’an dan Hadits). Sedangkan ilmu alamiah mendasarkan pada ayat-ayat kauniyah, yaitu fenomena alam (natural phenomena).
Di dalam Islam, term ‘alam seakar dengan al-‘ilm, yang bisa dimaknai sebagai penunjuk jalan. Dalam konteks ini, ‘alam dengan seluruh fenomenanya adalah merupakan penunjuk jalan bagi manusia untuk sampai pada makna sesuatu atau objek ilmu pengetahuan.[44]
Dengan pengertian term ‘ilmu sebagai petunjuk jalan di atas, maka sudah jelas bahwasanya Islam memposisikan ilmu di dalam posisi yang tinggi dalam meletakkan pondasi masyarakat Islam yang ideal. Hal ini dinyatakan Allah dalam QS. Al-Mujadalah ayat 11.
Perubahan yang dimaksudkan di sini adalah perubahan yang meliputi struktur masyarakat, sistem, kebudayaan, nilai, akhlak dan cara hidup, tradisi, kebiasaan, undang-undang, dan segala sesuatu yang ada dalam masyarakat tersebut. [46]
Sementara itu Selo Sumarjdan yang dikutip oleh Bagja Waluya merumuskan perubahan sosial sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.[47]
Untuk menjadikan proses perubahan itu baik dan terpuji hendaklah berlaku dalam batas akidah agama dan akhlak. Perubahan tersebut harus diawali dari pemikiran dan perencanaan mendalam dan dilakukan tahap demi tahap sesuai dengan perhitungan matang.[48]
Dalam hal perubahan, Islam merupakan agama yang sesuai dengan segala zaman dan tempat. Namun perubahan dalam masyarakat Islam harus tetap pada atas ajaran yang tertuang di dalam al-Qur’an dan sunah, tauhid yang mutlak, akhlak mulia, rasional, dan realistis untuk kepentingan manusia.[49]
Sebagaimana diketahui bahwa kebutuhan manusia berbeda menurut keadaan, masa, dan tempat. Kadangpula terjadi ketidak-puasan masyarakat akan kondisi sosial, akibat dari tekanan pihak lain atau kekecewaan, maka masyarakat menginginkan ada perubahan agar terlepas dari kondisi lama dan menyesuaikan dengan kondisi yang baru.[50]Ini berarti bentuk pergaulan muamalah dan peraturan harus disesuaikan dengan keadaan-keadaan tersebut. Seandainya peraturan dan disiplin tidak disesuaikan dengan kebutuhan, maka ia akan ditinggalkan orang dan mereka mencari yang lain.[51]
7. Prinsip ketujuh; kepercayaan pada pentingnya individu dalam masyarakat.
Hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat pada hakekatnya merupakan hubungan antara peranan-peranan individu dalam masyarakat.[52]Dan oleh karena peranan pentingnya di dalam sebuah komunitas bernama masyarakat inilah kemudian Islam mengakui harga diri dan nilai diri manusia tersebut.
Pribadi dan masyarakat mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling bekerja sama saling menyempurnakan antara satu dengan lainnya. Di antara keduanya memiliki hubungan saling mempengaruhi. Oleh karenanya, pribadi tidak boleh melepaskan diri dari masyarakat, dan masyarakat tidak akan lepas dari pribadi.[53]
Keluarga merupakan jiwa masyarakat dan tulang punggungnya.[55]Kesejahteraan lahir dan batin yang dinikmati oleh suatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan dan keterbelakangannya, adalah cerminan dari keluarga keluarga yang hidup pada masyarakat bangsa tersebut. Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu Negara.
Menurut pandangan al-Qur’an, kehidupan kekeluargaan, di samping menjadi salah satu tanda dari sekian banyak tanda-tanda kebesaran Ilahi, juga merupakan kenikmatan yang harus dapat dimanfaatkan sekaligus disyukuri. Di dalam QS. Ar-Rum: 21 Allah berfirman:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21)
Lembaga keluarga juga merupakan tempat pembentukan karakter anak utama, terlebih pada masa-masa awal pertumbuhan mereka sebagai manusia. Dalam hal ini keluarga memiliki investasi afeksi yang tidak dapat tergantikan oleh peranan lembaga lain di luar keluarga.[56]
9. Prinsip kesembilan; kepercayaan bahwa segalah yang menuju kesejahteraan bersama, keadilan, dan kemaslahatan antara manusia merupakan tujuan syariat dan agama Islam.[57]
a. Prinsip Maslahat Umat
Secara umum, tujuan yang ingin dicapai oleh ajaran Islam adalah kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan di dunia dan akhirat.[58]Syariat Islam bukan untuk memberikan kebahgian dan kebahagiaan golongan tertentu atau perseorangan semata. Oleh karena pentingnya prinsip kemaslahatn umat tersebut, maka ulama-ulama Islam meletakkan prinsip-prinsip umum (yaitu ijma’ dan qiyas) menjadi salah satu sumber utama Islam setelah Qur’an dan hadist.[59]
b. Prinsip Keadilan
Keadilan merupakan sebagian prinsip Islam. Seluruh umat Islam harus menerapkannya sesuai dengan bidangnya masing-masing. Allah berfirman di dalam QS. An-Nisa’: 58 sebagai berikut:
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (QS. An-Nisa’: 58)
Keadilan di dalam Islam bukanlah keadilan semu atau sekedar formalitas, tetapi keadilan yang memiliki makna dalam. Keadilan merupakan suatu nilai absolut, bukan relatif, suatu kewajiban yang harus diupayakan keada sesama orang beriman dan juga kepada musuh.[60]
c. Prinsip Persamaan
Sudah lazim dikemukakan bahwa manusia adalah umat yang satu (ummatan wahidatan). Perbedaan Bahasa dan warna kulit tidak menjadi penghalang bagi kesatuan dan persamaan manusisa secara menyeluruh. Perbedaan-perbedaan tersebut sebenarnya hanyalah sunnatullah dalam kejadian manusia.[61]Demikian pula adanya berbagai macam suku dan jenis bangsa bukanlah untuk berpecah belah, melainkan untuk saling mengenal dan saling membantu di dalam kebaikan. Seperti yang tertuang di dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)
d. Prinsip Keseimbangan Sosial
Berkaitan dengan prinsip keseimbangan, Nurcholis Madjid, seperti yang dikutip oleh Mohammad Monib dan Islah Bahrawi menyamaikan:
“Islam adalah ajaran yang sangat menekankan kesimbangan (al-mizan). Karena itu, menegakkan kembali ajaran ini – apalagi dalam hal keseimbangan antara hal-hak pribadi dan kewajiban sosial – adalah hal yang sangat mendesak, dan kelihatannya agak terlupakan oleh sebagaian kaum Muslimin Indonesia.”[62]
Prinsip keseimbangan sosial adalah prinsip memerangi perbedaan-perbedaan ekonomi yang buruk dan memerangi kelas-kelas sosial dan ekonomi.[63] Ini artinya prinsip keseimbangan sosial adalah salah satu prinsip Islam dalam hal sistem ekonomi Islam. Kesimbangan di dalam pengertian ini menyangkut pertimbangan antara kepentingan (kebebasan) perorangan dan kepentingan umum harus dipelihara.
Prinsip ini sangat relevan dengan prinsip yang ada di dalam ushul fiqh, yaitu maslahah mursalah.[64] Pertumbuhan ekonomi seharusnya dilihat sebagai suatu proses menuju keseimbangan (growth with equality). Apabila di dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat terdapat ketimpangan maka harus ada tindakan untuk mengembalikan keseimbangan semula.
e. Prinsip Jaminan Dan Setia Kawan
Di dalam konteks kekinian, prinsip jaminan sosial muncul melalui perkembangan hak-hak sosial kaum pekerja dan jelas merupakan pencapaian politik masyarakat, dan dengan partisipasi orang-orang yang dilindungi di dalam administrasi institusi.[65]
Namun jauh sebelum masyarakat dan sistem modern merumuskannya, Islam sudah terlebih dahulu mengajarkan dan bahkan mencontohkan prinsip jaminan dan setia kawan tersebut.
Salah satu contohnya adalah ketika beliau menerima seorang janda dari saudara sepupunya, Ja’far bin Abi Thalib, yang dating mengadukan nasib kedhuafaan anak-anaknya. Pada saat itu beliau bersabda: “Tanggungan keluargakah yang engkau takuti atas diri mereka itu, padahal akulah penanggung jawab di dunia dan akhirat”.[66]
Pada kisah di atas, Rasulullah menandaskan betapa pentingnya pemberian jaminan sosial kepada kaum dhuafa untuk meringankan beban hidup mereka.
D. Implikasi Dan Aplikasinya Bagi Pendidikan Islam
Berikut ini merupakan analisis pemakalah mengenai bentuk-bentuk implementasi pandangan Islam mengenai konsep masyarakat terhadap pendidikan Islam.
1. Tujuan Pendidikan Islam diarahkan pada penanaman ketauhidan.
Prinsip ketauhidan, secara substansial, adalah mengakui ke-Esa-an Allah dan pengakuan Muhammad sebagai pembawa risalahNya.[67]Namun, ketauhidan secara luas tidak hanya berhenti sampai di sana. Implikasi dari pengakuan akan ke-Esa-an Allah dan pengakuan Muhammad sebagai utusan-Nya akan menyebar luas terhadap seluruh perilaku manusia. Singkatnya, setiap manusia dengan ketauhidan di atas, maka konsekuensinya adalah menerima seluruh ajaran Allah, baik segi keimanan, ibadah, muammalah dan juga akhlak. Dengan demikian ketauhidan akan mengontrol seluruh perilaku manusia.
2. Pendidikan Islam sebagai jalan menumbuhkan kesadaran bahwa Islam adalah jalan hidup.
Mengakui Islam sebagai jalan hidup (way of life) dan juga bimbingan hidup (guidance of life) berarti memaknai Islam dalam beberapa kaidah, antara lain:[68]
a. Hanyalah Islam yang mampu menyelamatkan nilai-nilai kemanusiaan dari ancaman bahaya-bahaya yang membinasakan.
b. Hanyalah Islam yang mampu memberikan jalan yang sesuai dengan fitrah dan kebutuhan-kebutuhan manusia yang hakiki.
c. Hanyalah Islam yang mampu menyelaraskan antara penciptaan aspek lahiriah dan ketenangan rohaniah.
3. Pendidikan Islam sebagai sarana penanaman nilai-nilai universal.
Pendidikan agama yang selama ini terjadi, seperti yang ditulis oleh Zakiyyudin Baedhawy, disinyalir telah mengalami kegagalan. Pendidikan yang seharusnya menanamkan nilai-nilai toleransi, mutual respect, mutual understanding, keterbukaan dalam keragaman –etnik, kultural dan agama-, malah bercorak eksklusifis, yakni mengajarkan agamanya sendiri sebagai benar dan satu-satunya jalan keselamatan (salvation and truth claim), sembari merendahkan agama orang lain.[69]
Melihat hal tersebut, menurut Zakiyyudin, perlu dilakukan perubahan paradigma mengenai pendidikan Islam perspektif keberagaman khas multikuluturalis.[70]Pendidikan multikultural hadir untuk menjawab kelelahan-kelelahan paradigmatik dan epistimologik pendidikan yang dianggap tidak sesuai tersebut. Pendidikan multikultural diharapkan mampu memberikan ruang yang sama atas berbagai kepentingan individu dan kelompok kultural, tanpa mendahulukan dan atau mengesampingkan hak-hak individu dan kelompok kepentingan tertentu.
4. Pendidikan Islam harus menjadi peletak pondasi masyarakat Islami.
Meski di dalam Islam mengakui nilai-nilai yang bersifat universal (demokrasi), namun masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki karakteristik unik yang tidak dimiliki oleh masyarakat lain. Ciri khas tersebut antara lain; landasan keimanan, amar ma’ruf nahi munkar, menegakkan keadilan, persaudaraan antara sesame anggota masyarakat, dan pentingnya ilmu yang kemudian diimplementasikan dalam kerja nyata.
5. Pendidikan Islam harus menanamkan ajaran bahwa Islam bukan sekedar urusan iman, melainkan juga akhlak dan muamalah.
Dengan kesadaran ini maka umat Islam tidak sekedar berorientasi pada urusan akhirat semata (hubungan dengan Tuhan semata), melainkan juga memperhatikan hubungannya dengan sesame manusia dan alam sekitar.
6. Pendidikan Islam haruslah menanamkan kecintaan muslim kepada Ilmu.
Dengan pengertian ini, maka pendidikan Islam diarahkan pada bentuk-bentuk pengajaran yang menimbulkan rasa kecintaan pada ilmu, salah satu caranya dengan menggunakan metode yang menggugah rasa ingin tahu (curiosity) peserta didik.
7. Pendidikan Islam harus menanamkan sifat terbuka pada hal-hal baru.
Hal ini di dasari oleh prinsip keenam yaitu kesadaran bahwa masyarakat akan selalu berubah. Untuk menghadapi perubahan tersebut maka Pendidikan Islam seyogyanya menanamkan sifat keterbukaan kepada hal-hal yang baru.
8. Pendidikan Islam haruslah dibangun atas dasar penghargaan kepada individu.
Dengan memperhatikan implikasi-implikasi di atas, maka setidaknya terdapat lima aspek yang menjadi bagian dari aplikasi pendidikan Islam. Ke-enam aspek tersebut antara lain:[71]
1. Aspek Agama
Aspek ini sangatlah penting dalam pendidikan Islam. Maka guru hendaknya berusaha semaksimal mungkin menanamkan ajaran agama di dalam diri anak didik seperti penanaman akidah. Kesadaran lemahnya pondasi agama mengakibatkan rapuhnya kepribadian anak didik ketika dewasa juga menjadi pertimbangan penting dalam aspek agama.
2. Aspek Akhlak
Aspek akhlak juga merupakan aspek penting di dalam Pendidikan Islam. Untuk itu, para guru harus menanamkan akhlakul karimah kepada anak didik, kapan dan di manapun tanpa terkecuali.
3. Aspek Intelektual
Pendidikan intelektual berarti membina anak didik agar dapat berpikir sehat, menganalisa, membandingkan, dan menghipotesis dengan bijaksana. Intelektualitas muslim perlu dikembangkan sesuai dengan kemajuan teknologi yang ada, sehingga Islam dapat mencapai kejayaan dan terhindar dari keterbelakangan.
4. Aspek Jasmani
Makna dari pendidikan jasmani tentu saja bukan semata untuk kesehatan badan, melainkan juga membiasakan anak didik agar berdisiplin, patuh, bertanggung jawab, tenggang rasa dan suka menolong sesamanya untuk kepentingan bersama di masyarakat kelak.
5. Aspek Sosial
Karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, maka sejak kecil anak didik harus dibina dengan sikap mau bekerja sama dengan orang lain, saling menghargai antara individu, termasuk juga menghargai dan menghormati lingkungan sekitar.
E. Implikasi Dan Aplikasinya Bagi Supervisi Pendidikan
Menurut Ross L yang dikutip Ketut Jelantik, Supervisi pendidikan adalah pelayanan kepada guru-guru yang bertujuan menghasilkan perbaikan pengajaran, pembelajaran dan kurikulum.[72]Dengan pengertian ini maka kegiatan supervisi diarahkan untuk membantu guru dalam kegiatan pembelajarannya.
Prinsip kepercayaan pada pentingnya individu dalam masyarakat, seperti yang dikemukakan di dalam prinsip pandangan Islam atas masyarakat di atas, merupakan sebuah pengakuan Islam atas setiap peran individu dalam masyarakat. Setiap individu di dalam masyarakat memiliki tugas dan fungsinya masing-masing. Dan oleh karena fungsi dan peran individu tersebut maka terciptalah sebuah komunitas ideal yang bernama masyarakat.
Selain itu, prinsip persamaan yang juga telah di kemukakan, merupakan pengakuan akan persamaan kedudukan, hak dan kewajiban setiap individu. Di hadapan Allah tidaklah ada manusia yang paling sempurna dan paling baik, kecuali yang bertaqwa.
Sesuai dengan prinsip kepercayaan pada pentingnya individu dalam masyarakat dan di dasarkan akan prinsip persamaan individu di dalam masyarakat tersebut maka kesadaran supervisor akan kesamaan derajat antara supervisor dan guru sangat dibutuhkan. Kedudukan antara guru dan supervisor adalah sama dengan peran dan fungsinya masing-masing. Tidak ada yang leih tinggi antara satu dengan lainnya.
III. KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Di dalam ilmu modern, masyarakat dipandang sebagai sebuah sistem sosial dapat diartikan sebagai sebuah organisme yang terdiri atas bagian-bagian yang saling bergantung karena memiliki fungsinya masing-masing dalam keseluruhan.
2. Di dalam al-Qur’an, masyarakat dapat dimaknai sebagai sekelompok manusia berakal yang dapat berkomunikasi dan diikat dalam sebuah aturan untuk menjaga/memelihara eksistensinya.
3. Terdapat Prinsip-prinsip masyarakat dari sudut pandang Islam antara lain:
a. kepercayaan bahwa masyarakat adalah sekumpulan dan sekelompok individu yang diikat oleh kesatuan tanah air, kebudayaan dan agama
b. kepercayaan bahwa masyarakat Islam mempunyai identitas khas dan ciri-ciri tersendiri.
c. kepercayaan bahwa dasar pembinaan masyarakat Islam adalah aqidah keimanan tentang wujud, dan ke-Esaan Allah.
d. kepercayaan bahwa agama itu akidah, ibadah, dan muamalah.
e. kepercayaan bahwa ilmu itu adalah dasar yang terbaik bagi kemajuan masyarakat sesudah agama.
f. kepercayaan bahwa masyarakat selalu berubah.
g. kepercayaan pada pentingnya individu dalam masyarakat.
h. kepercayaan pada pentingnya keluarga dalam masyarakat.
i. kepercayaan bahwa segalah yang menuju kesejahteraan bersama, keadilan, dan kemaslahatan antara manusia merupakan tujuan syariat dan agama Islam.
4. Implementasi dari prinsip-prinsip masyarakat dari sudit pandang Islam di atas terhadap Pendidikan Islam antara lain;
a. Tujuan Pendidikan Islam diarahkan pada penanaman ketauhidan.
b. Pendidikan Islam sebagai jalan menumbuhkan kesadaran bahwa Islam adalah jalan hidup.
c. Pendidikan Islam sebagai sarana penanaman nilai-nilai universal.
d. Pendidikan Islam harus menjadi peletak pondasi masyarakat Islami.
e. Pendidikan Islam harus menanamkan ajaran bahwa Islam bukan sekedar urusan iman, melainkan juga akhlak dan muamalah.
f. Pendidikan Islam haruslah menanamkan kecintaan muslim kepada Ilmu.
g. Pendidikan Islam harus menanamkan sifat terbuka pada hal-hal baru.
h. Pendidikan Islam haruslah dibangun atas dasar penghargaan kepada individu
5. Sebagai konsekuensi atas implementasi tersebut maka pendidikan Islam dirumuskan dalam lima aspek, yaitu: aspek agama, aspek akhlak, aspek intelektual, aspek jasmani, dan aspek sosial.
6. Implementasi dari prinsip-prinsip masyarakat dari sudit pandang Islam di atas terhadap supervisi pendidikan antara lain;
a. Kesadaran akan kesamaan derajat dalam kegiatan supervisi pendidikan.
b. Kegiatan supervisi dilakukan dalam kerangka untuk memperbaiki kualitas pendidikan, tanpa ada sikap otoriter.
[1] Fadlil Yani Ainussyam, “Pendidikan Akhlak”, dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Jakarta: PT. Imtima, 2007, 20.
[2] Imas Kurniasih, Mendidik SQ Anak Menurut Nabi Muhammad SAW, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010, 63.
[3] Muhammad Noor Syam, “Pengertian dan Hukum Dasar Pendidikan”, dalam Dasar-Dasar Kependidikan, Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Surabaya: Usaha Nasional, 1981, 2.
[5] Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009, 17.
[6] E. Sumaryono, Etika Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002, 243.
[8] Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami, Membangun Kerangka Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008, 19
[10] Bagja Waluya, Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat, Badndung: Setia Purna Inves, 2007, 10.
[11] Gunawan Sumodiningrat dan Riant Nugroho, Membangun Indonesia Emas, Model Pembangunan Indonesia Baru Menuju Negara-Negara Yang Unggul Dalam Persaingan Global, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2005, 112.
[13] Ali Nurdin, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal Dalam Al-Qur’an, Jakarata: Penerbit Erlangga, 2006, 55.
[17] Muhammad Syahrur, Tirani Islam, Geneologi Masyarakat dan Negara, Terj. Saifuddin Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 1994, 59.
[24] Omar Mohammad al-Taoumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1979, 163.
[28] Anwar Harjono, Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, 37.
[35] Syaikh Abdurrahman As-Sa’adi, Bacalah al-Qur’an Seolah Ia Diturunkan Kepadamu, Terj. Abdurrahim, Jakarta: Penerbit Hikmah, 2008, 128.
[37] Rod Lahij, Dalam Buaian Nabi: Merajut Kebahagiaan Si Kecil, terj. M. Ilyas dan Ali bin Umar, Jakarta: Pustakazahra, 2005, 199.
[39] Musthafa Kamal Pasha dan Adabi Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam: Dalam Perspektif Historis dan Ideologis, Yogyakarta: LPPI Universitas Muhammadiyah, 2000: 256.
[40] Endang Saifudin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma dan SIstem Islam, Jakarta: Gema Insani, 2004, 45.
[43] Abdul Munir Mulkhan, Manusia al-Qur’an: Jalan Ketiga Religiositas di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007, 206.
[47] Bagja Waluya, Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat, Bandung: Setia Purna Inves, 2007, 3.
[55] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan Pustaka, 2007, 253.
[56] Doni Koesoema, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: Grasindo, 2007, 181.
[58] Bustanuddin Agus, Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial: Studi Banding Antara Pandangan Ilmiah dan Ajaran Islam, Jakarta: Gema INsani Press, 1999, 116.
, Teori dan Praktek, terj. M. Irsyad Rhafsadi dan Khairil Azhar, Jakarta: Pustaka Alvabet dan Yayasan Wakaf Paramadina, 2010, 64.
[61] Amrullah Achmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, 102.
[62] Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholis Madjid, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, 198.
[64] Moh. Ali Aziz, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma Aksi Metodologi, Yogyakarta: LKiS, 2005, 29.
[65] Vladimir Rys, Jaminan Sosial: Kembali ke Prinsip-Prinsip Dasar, terj. Dewi Wulansari, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011, 49.
[68] Syeikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Syarah Riyadhus sholihin, terj. M. Abdul Ghaffar, Jakarta: Pustaka Imam As-Syafi’I, 2005, 489.
[69] Zakiyyudin Baedhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008, 31.
[71] Adi Sasono, Solusi Islam Atas Problematika Umat: (Ekonomi, Pendidikan, dan Dakwah), Jakarta: Gema Insani Press, 1998, 133.
[72] A.A. Kett Jelantik, Menjadi Kepala Sekolah Profesional: Panduan Menuju PKKS, Yogyakarta: Deepublish, 2015, 84.
No comments:
Post a Comment