A. Pendahuluan
Istilah hermeneutika tidaklah muncul sebagai suatu daftar khusus dalam catalog studi-studi di universitas.[1] Bidang ini biasanya dipandang sebagai suatu subdisiplin teologi, yang mencakup kajian metodologis tentang otentikasi dan penafsiran teks. Hal ini setidaknya muncul dalam Oxford English Dictionary, edisi 1937 , yakni ”Seseorang mengijinkan untuk dirinya sendiri hak-hak tersebut dalam membaca kitab suci yang tidak pernah diijinkan”.
Dalam tradisi Barat, hermeneutika pada awalnya merupakan bagian dari ilmu filologi, yakni ilmu yang membahas tentang asal usul bahasa teks. Barulah pada abad 16, hermeneutika mengalami perkembangan dan memperoleh perhatian yang lebih akademis dan serius ketika di kalangan ilmuan gereja di Eropa terlibat diskusi dan debat mengenai auntentisitas Bible. Memasuki abad ke 18, hermeneutika mulai dirasa sebagai teman dan sekaligus tantangan bagi ilmu sosial, terutama sejarah dan sosiologi, karena hermeneutika mulai berbicara dan menggugat metode dan konsep ilmu sosial pada umumnya. Kemudian pada masa kini, hermeneutika diperbincangkan dalam kajian filsafat posmodernisme.
Lahirnya hermeneutika sebagai sebuah ilmu dilatari adanya krisis epistemologis yang melandasi ilmu-ilmu social. Krisis ini bukan dalam bentuk berkurangnya pengetahuan, tetapi lebih merupakan “penyempitan” pengetahuan akibat reduksi-reduksi metodologis yang disertai dengan fragmentasi dan instrumentalisasi pengetahuan sebagai dampak dari runtuhnya tatanan nilai masyarakat abad pertengahan melalui renaissance dan memuncak pada masa aufklarung.[2]
Periodisasi hermeneutika dapat dibedakan menjadi tiga fase, fase klasik, pertengahan dan modern. Pada fase klasik, hermeneutika lebih bercorak pada bentuk penafsiran teks dan “artof interpretation”
B. Pengertian Hernemeutika
Secara umum hermeneutika dapat diartikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna.[3]Hermeneutika juga sering diartikan sebagai metode pemahaman atas pemahaman (understanding of understanding).[4] Dalam studi Islam, hermeneutika merupakan istilah baru sebagai istilah turunan yang muncul dalam tradisi Barat. Pada awalnya istilah ini dikenal sebagai turunan dari kata kerja hermeneuin yang berhubungan dengan kata benda hermenes[5]dan terkait dengan nama dewa dalam mitologi Yunani kuno “Hermes”.
Kata hermeneuinsendiri secara literal memiliki arti menafsirkan, menginterpretasikan atau menerjemahkan.[6]Kata bendanya hermenia yang berarti penafsiran atau interpretasi dan hermeneutis memiliki arti interpreter(penafsir).[7]Sedangkan kata Hermes dalam mitologi Yunani kuno merupakan seorang dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan dari Sang Dewa Kepada manusia. Dalam versi lain, Hermes adalah seorang utusan yang diberikan tugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Ia bertugas untuk menerjemahkan pesan-pesan Yupiter dari gunung Olimpus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Dalam mitologi tersebut, Hermes digambarkan sebagai sosok yang memiliki kaki bersayap dan ia lebih dikenal dengan sebutan Mercurius.
Sebagai utusan Sang Dewa Hermes dituntut memiliki kemampuan untuk mengiterpretasikan atau menerjemahkan sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Dalam hal ini Sang Dewa memiliki bahasa tersendiri (bahasa “langit”) yang tidak terjangkau oleh manusia sebagai pendengar pesannya yang memiliki bahasa tersendiri pula (bahasa “bumi”). Sejak saat itulah Hermes menjadi seorang duta yang ditugasi menginterpretasikan pesan dan oleh karenanya fungsi Hermes ini menjadi penting sebab jika terjadi kesalahpahaman dalam menginterpretasikan pesan Sang Dewa akibatnya akan sangat fatal bagi umat manusia.
Secara teologis peran Hermes ini bisa dinisbatkan kepada peran Nabi utusan Tuhan. Hepotesa Sayyed Husain Nashr mengatakan bahwa Hermes tidak lain adalah Nabi Idris a.s., yang disebut dalam al-Qur’an sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan, teknologi tenun, kedokteran, astrologi dan lain-lain patut untuk diselidiki lebih lanjut.[8]Sedangkan di lingkungan agama Yahudi Hermes dikenal sebagai Thoth, yang dalam mitologi Mesir dikenal sebagai nabi Musa a.s. Keahlian nabi Idris a.s. sebagi tukang tenun/ memintal pada akhirnya melahirkan makna metaforis, yaitu memintal atau merangkai kata Tuhan agar dapat ditangkap dan mudah dipahami oleh manusia.
Dengan demikian, kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan (the art of interpretation) sebuah teks. Sebagai sebuah ilmu, hermeneutika harus menggunakan cara-cara ilmiah dalam mencari makna, rasional dan dapat diuji. Sebagai sebuah seni, ia harus menampilkan sesuatu yang baik dan indah tentang suatu penafsiran.
Zygmunt Bauman sebagaimana disampaikan oleh Fakhrudin Faiz mengungkapkan bahwa hermeneutika merupakan bentuk upaya menjelaskan dan menelusuri pesan serta pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi para pembaca.[9]Hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti terutama proses ini melibatkan bahasa sebagai mediasi paling sempurna dalam proses.[10]
Menurut Palmer[11] mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Dewa Hermes itu terkandung dalam tiga bentuk makna dasar dari herme>neuin dan herme>neia. Tiga bentuk tersebut menggunakan verba dari herme>neuin, sebagai berikut :
Pertama, Herme>neuin sebagai to express (mengungkapkan), to assert (menegaskan) atau to say (menyatakan), hal ini terkait dengan fungsi pemberitahuan Hermes. Kedua, herme>neuin sebagai to explain (menjelaskan), interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif. Interpretasi lebih menitik beratkan pada penjelasan dari pada dimensi interpretasi ekspresif. Ketiga, herme>neuin sebagai to translate. Pada dimensi ini to interpret (menafsirkan) bermakna to translate (menerjemahkan) yang merupakan bentuk khusus dari proses interpretasi dasar “membawa sesuatu untuk dipahami”. Dalam kontek ini, seseorang membawa apa yang asing, jauh dan tak dapat dipahami ke dalam mediasi bahasa seseorang itu sendiri, seperti Dewa Hermes, penerjemah menjadi media antara satu dunia dengan dunia yang lain.
“Penerjemahan” membuat kita sadar akan cara bahwa kata-kata sebenarnya membentuk pandangan dunia, bahwa bahasa adalah perbendaharaan nyata dari pengalaman cultural, sedang pengalaman kultur tidak dapat terlepas dari kontek. Dengan kata lain bahwa asusmi dasar sebuah hermeneutika adalah bahwa perbedaan kontek mempengaruhi perbedaan pemahaman.[12]
“Penerjemahan” yang merupakan asosiasi hermeneutika dengan peran Hermes membawa implikasi adanya tiga unsure pokok di dalam setiap proses hermeneutika. Ketiga unsure tersebut adalah : (1) tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa Hermes ; (2) pranata atau penafsir (Hermes) ; (3) penyampaian pesan itu yang dibawa oleh sang Perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima.[13]
Dengan demikian, jika hermeneutika dimaknai secara lebih aplikatif, maka ia dapat didefinisikan ke dalam tiga hal, yakni : (1) mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir ; (2) usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh pembaca ; dan (3) pemindahan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi ungkapan yang jelas.[14]
Dalam perjalanannya,hermeneutika, sebagaimana diungkap oleh Richard E Palmer, dapat dipetakan menjadi :
Pertama, hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci. Dalam hal ini, hermeneutika membicarakan tentang tradisi gereja dimana masyarakat Eropa mendiskusikan otentitas Bibel untuk mendapatkan kejelasan maknanya, dengan kata lain hermeneutika digunakan terhadap adanya problem otentias yang terdapat dalam exegesis of scripture (Bibel).
Kedua, hermeneutika sebagai sebuah metode filologi. Dalam pengertian ini, pihak gereja menganggap hermeneutika sebagai sebuah metode penafsiran sekuler. Anggapan ini muncul oleh karena adanya pengaruh filologi klasik terhadap hermeneutika Bibel, di mana, kenyataan ini kemudian menimbulkan kritik sejarah dalam teologi.[15]
Ketiga,hermeneutika sebagai pemahaman ilmu linguistic (science of linguistic understanding). Secara umum, hermeneutika memiliki arti memahami. Arti tersebut merupakan asal dari hermeneutika. Oleh karenanya, dalam perpektif historis, hermeneutika patut dianggap sebagai pahlawan dalam penafsiran Bibel dan filologi tradisional, sebab kedua bentuk tersebut menandai adanya pemahaman linguistic terhadap teks.
Keempat, hermeneutika sebagai tradisi ilmu kemanusiaan. Predikat ini dikenalkan oleh Wilhelm Dilthey,[16] ia berusaha membawa hermeneutic dalam menafsirkan ilmu kemanusiaan, seperti menginterpretasikan ekspresi kehidupan manusia. Usaha ini terus berlanjut sampai pada akhirnya ia berusaha menginterpretasikan psikologi dalam memahami dan menginterpretasikan. Dalam pengertian ini, pada dasarnya heremeneutika bersifat menyejarah, artinya suatu makna tidak pernah berhenti pada suatu masa saja, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah.[17]
Kelima, hermeneutika sebagai fenomena das sein dan pemahaman eksistensial. Yakni bahwa hermeneutika tidaklah terikat dengan ilmu atau peraturan interpretasi teks, dan juga tidak terkait dengan metodologi bagi ilmu sejarah (humaniora), tetapi terkait dengan pengungkapan fenomenologis dari cara beradanya manusia.
Keenam, hermeneutika sebagai system penafsiran. Dalam pengertian ini, hermeneutika adalah suatu proses penguraian yang bertolak dari isi dan makna yang tampak kepada makna yang tersembunyi. Ia merupakan teori tentang peraturan yang menentukan suatu eksegesis, interpretasi suatu bagian teks atau kumpulan tanda yang dianggap sebagai teks. Artinya, obyek interpretasi adalah teks dalam pengertian luas, yang mencakup symbol-simbol mimpi, mitos dan symbol masyarakat atau literature. Hermeneutika dalam bentuk ini dikenalkan oleh Paul Ricoeur.
Asumsi dasarnya adalah bahwa hermeneutika mengandung aspek pluralitas dalam proses pemahaman manusia, suatu keniscayaan yang bersumber dari keragaman kontek hidup manusia. Ketika seseorang berinteraksi dengan sesuatu, kemudian memahaminya lalu menghasilkan sebuah pengetahuan tentang sesuatu tersebut, tidak pernah seseorang itu mampu memproduksi pengetahuan tentang sesuatu tersebut secara otentik adanya, namun pengetahuan yang dihasilkannya merupakan pengetahuan tentang sesuatu “menurut dia” atau sebagaiman yang ia tangkap.
C. Prinsip Penafsiran Pendekatan Hermeneutis
Metode hermeneutika sebagai metodologi penafsiran yang dikembangkan oleh para penafsir kontemporer sangatlah beragam. Keragaman ini tidak saja dikarenakan semakin terbukanya umat Islam terhadap gagasan-gagasan yang berasal dari luar, seperti isu tentang HAM, gender, demokrasi, civil society, pluralism dan sebagainya, namun juga karena adanya dinamika dan kesadaran pada mereka akan kekurangan-kekurangan metode dan pendekatan yang ada selama ini.[18]
Keragaman metode hermeneutika sebagai alternative penafsiran yang menjadi konskwensi pertemuan antara ilmu tafsir dengan cabang-cabang ilmu dari luar membawa dampak pada beragamnya pula jenis dan corak penafsiran. Di satu sisi, hal semacam ini merupakan langkah positif yang dapat dilakukan untuk memperkaya hasanah penafsiran, tetapi di sisi lain, hal ini justeru dapat mengantarkan pada maraknya penafsiran-penafsiran “kiri” (menyimpang) dari kaidah-kaidah penafsiran.
Oleh karenanya penafsiran harus selalu diarahkan untuk menghasilkan suatu pembacaan teks yang produktif (al-qiro’ah al-muntijah). Hal ini sekaligus untuk menghindari pembacaan teks yang repetitive (al-qiro’ah at-tikra>riyah) sebagaimana banyak dilakukan oleh para penafsir pada era klasik,[19] atau pembacaan yang ideologis-tendensius (al-qira’ah al-mugridhah). Dengan demikian, menurut Abdul Mustaqim, suatu penafsiran terhadap teks tradisional harus selalu diarahkan bagaimana supaya teks tersebut selalu dapat kita pahami dalam kontek kekinian yang situasinya sangat berbeda. Penafsiran hermeneutis meniscayakan bahwa setiap teks (penafsiran) perlu dicurigai adanya kepentingan atau ideology apa yang ada dibalik penafsiran tersebut.[20]
Lebih dari pada itu, penafsiran hermeneutis tidak saja mengandalkan ilmu-ilmu yang dipergunakan para penafsir dahulu, seperti ilmu nahwu sharaf, ushul fikih dan balaghah tetapi juga menggunakan ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, antropologi, filsafat ilmu, sejarah dan sebagainya.[21] Menurut Husserl sebagaimana dikutip oleh situs amrinarose 13, penafsiran hermeneutic perlu didasarkan pada prinsip fenomenologi. Baginya penafsiran hermeneutis harus di arahkan pada hasil sebuah penafsiran yang terbebas dari relativitas historis dan perubahan social sekaligus kesadaran harus bebas dari dugaan supaya diperoleh kebenaran mandiri.[22]
Menurut pandangan Heidegger yang merupakan murid Husserl, pemahaman adalah cara berada (mode of being) dan harus dapat dipahami oleh orang biasa, hal itu adalah dasar bagi eksistensi manusia. Baginya pemahaman dikaitkan dengan pemroses hubungan social dan penafsiran adalah pemahaman secara sederhana yang tampak jelas dalam bahasa.[23] Sedang menurut Gadamer dalam hermeneutika tertarik pada proses pemahaman. Pemahaman harus diletakkan dalam tradisi historis , suatu waktu dan tempat teks ditulis . Hermeneutik berlangsung di luar analisis teks menuju ke konteks historisnya. Menurutnya terdapat tiga prinsip yang harus diterapkan dalam penafsiran hermeneutika, yakni:
1. Kegiatan hermeneutic diterapkan pada sesuatu di luar apa yang dikatakan menuju pada sesuatu yang secara alami ketika dikatakan makna sehari-hari dan situasi dimana percakapan itu terjadi.
2. Hermeneutik dilakukan dengan cara memadukan horizon pelaku hermeneutic dan horizon teks sasaran. Benturan dengan horizon lain akan memunculkan kesadaran yang berupa asumsi dan dugaan tentang horizon suatu makna yang belum disadari. Dalam hal ini hermeneutika adalah penjembatan atau mediasi bukannya rekonstruksi.
3. Pembacaan sebagai bagian dari hermeneutik melibatkan aplikasi sehingga pembaca menjadi bagian dari yang ia mengerti. Karena itu ketermilikan, partisipasi, bahasa sebagai medium berpengalaman tentang dunia adalah landasan yang nyata bagi pengalaman hermeneutik.
Dalam perkembangan selanjutnya, Ricoeur mengembangkan hermeneutikanya dengan berbasis pada teks. Dia memanfaatkan dikotomi langue dan parole serta mencarikan posisi eksplanasi dan pemahaman dalam sebuah penafsiran. Dan kaidah-kaidah teks menurutnya ada 3 kategori, yakni:[24]
1. Teks selalu mengalami pelepasan konteksnya dari kondisi sosio-historis pengungkapannya, karena itu teks selalu membuka diri terhadap pembacaan yang tidak terbatas.
2. Teks merupakan suatu langue dan parole. Begitu juga dalam proses pemahamannya. Ketika dianggap sebagai languemaka teks harus diperlakukan sesuai dengan aturan linguistic sekuat mungkin. Dan ketika dianggap sebagai parole maka teks adalah perbincangan dan pada saat inilah teks ditafsirkan. Penafsiran menurut pandangannya merupakan dialektika antara dua kegiatan tersebut.
3. Penafsiran merupakan proses dinamis yang mekanisme pengujian kebenaran hasilnya harus diserahkan pada proses negosiasi dan debat.
Menurut Paul Ricoueur, suatu penafsiran hermeneutis harus dilaksanakan berdasarkan prosedur :
1. Teks harus dibaca dengan kesungguhan, menggunakan simpatic imagination.
2. Penta’wil mesti terlibat dalam analisis structural mengenai maksud penyajian teks, menentukan tanda-tanda yang terdapat di dalamnya sebelum dapat menyingkap makna terdalam dan sebelum menentukan rujukan serta konteks dari tanda-tanda signifikan dalam teks.
3. Pentakwil mesti melihat bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan makna dan gagasan dalam teks merupakan pengalaman tentang kenyataan non-bahasa.[25]
Terhadap penafsiran al-Qur’an, Hasan Hanafi[26]mengembangkan prinsip-prinsip penafsiran hermeneutis pada lima nilai :
1. Wahyu diletakkan dalam tanda kurung, tidak diafirmasi dan tidak pula ditolak
2. Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti materi penafsiran, kode hukum, karya sastra, teks filosofis, dokumen sejarah dan lain sebagainya
3. Tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau salah. Yang ada adalah perbedaan pendekatan yang ditentukan oleh perbedaan kepentingan dan motivasi
4. Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, yang ada pluralitas penafsiran yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman para penafsir
5. Konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio-politik dan bukan konflik teoritis
D. Contoh Penafsiran Hermeneutis
E. Kelebihan dan kekurangan Hermeneutika
F. Pro dan Kontra Metode Hermeneutika
Hasan Hanafi dikenal sebagai orang pertama mengenalkan hermeneutika dalam dunia Islam dengan karyanya yang berkaitan dengan metode penafsiran yang bercorak baru. Pengenalan ini pada awalnya hanya merupakan penggunaan metodologis bersifat uji coba yang terbebas dari pengaruh positivisme dan kekhasan hukum Islam serta yurisprudensinya yang ortodoks dan tradisionalis. Ia memandang bahwa hermeneutika bukan hanya sekadar teori penafsiran dan pemahaman, akan tetapi merupakan ilmu yang menerangkan penerimaan wahyu sejak perkataan sampai pada tingkat kenyataan, serta menggambarkan pemikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.[14]Proses pemahaman teks ini menurut Hasan Hanafi dilakukan setelah melakukan kritik kesejarahan. Kritik kesejarahan dilakukan untuk menjamin keaslian sebuah teks atau kitab suci dalam sejarah sebab belum tentu semua teks asli atau tidak mengalami distorsi kepentingan ideologis maupun politis. Keaslian ini akan mempermudah pemahaman yang tepat.
Tokoh lain adalah Nashr Hamid Abu Zaid yang telah banyak mengkaji hermeneutik dalam tafsir klasik, sebagaimana yang dilakukan oleh 'Abid al-Jabiri. Abu Zaid banyak memberikan pijakan dasar dalam memahami hermeneutika khususnya berkaitan dengan al-Qur'an. Bahkan beberapa tulisannya dianggap sebagai horizon baru dalam hermeneutika al-Qur'an kontemporer. Ia seorang yang akrab dengan pemikiran para tokoh hermeneutika Barat, seperti Heidegger dengan teori hermeneutikanya, Hans George Gadamer dengan hermeneutika filosofisnya, Schleiermacher dengan lingkaran hermeneutikanya, dan lainnya. Akan tetapi ia tidak meninggalkan kekayaan tradisi Islam yang dapat memelopori pembaharuan dan pemikiran kritisnya.[15]
Ali Harb merupakan tokoh yang ikut meramaikan diskusi panjang tentang kritik teks, meskipun ia tidak sepenuhnya memperhatikan sastra ataupun seni tetapi lebih menekankan kepada ihwal pemikiran.[16] Sekalipun di dalam melakukan kritik teks dan pemikirannya banyak menggunakan teori sastra terutama berkenaan dengan teori teks, di samping filsafat. Permikirannya lebih cenderung kepada permasalahan keterpurukan umat Islam, khususnya pemikiran di dunia Arab dalam menyikapi kemajuan. Ia banyak menyoroti pola pemikiran dunia Arab kontemporer yang masih berkutat dalam kerangka kultural, nasional, ataupun keagamaan.
Tokoh Islam yang memiliki kemiripan dengan Ali Harb ialah Muhammad Syahrur dalam hal memandang kemunduran dan ketertinggalan dunia Arab-Islam dengan Barat karena sistem pemikiran yang digunakan tidak mampu mengeluarkannya dari kejumudan dan taklid. Hal serupa disampaikan oleh Khaled M. Abou el-Fadl yang menyoroti para penafsir periode terdahulu telah melahirkan mateode penafsiran yang cenderung berkonsentrasi pada upaya pengembangan berbagai kaidah untuk memecahkan makna teks berdasarkan waktu dan tempat turunnya. Pelaksanaan ini berkutat pada asumsi bahwa setiap runtutan huruf, kata, dan kalimat merupakan sesuatu yang telah matang dan benar, tidak mungkin Tuhan salah di dalam peletakaknnya, sehingga pemahamannya harus berangkat dari susunan kalimat tersebut. Di sinilah letak kekakuan dalam memberi interpretasi suatu ayat, lebih-lebih berkaitan dengan hukum. Sehingga hokum yang dihasilkan hanya meliputi maksud asal teks untuk melayani teks, bukan dalam rangka memberi jawaban persoalan kehidupan dengan berdasarkan teks.[17]Jika demikian maka keberadaan al-Qur'an belum mampu memberikan hidayahnya kepada umat manusia yang membutuhkan penerangan hukum.
Berikut ini akan dipaparkan dua pandangan tokoh Islam yang dikelompokkan kepada kiri Islam yakni Nashr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Syahrur tentang hemerneutika. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengkhususkan pembahasan.
a. Nash Hamid Abu Zaid
Nashr Hamid Abu Zaid, seorang Profesor bahasa Arab dan Studi al-Qur’an di Universitas Kairo Mesir. Ia juga menjadi dosen tamu di Universitas Leiden Belanda, sejak tahun 1995 sampai sekarang. Intelektual asal Mesir ini berupaya menerapkan metode analisis teks bahasa-sastra (nahj tahlil an-nushush al-lughawiayyah al-adabiyyah) ketika mengkaji al-Qur'an. Ia berpendapat metode tersebut satu-satunya yang dinilai manusiawi dan berarti untuk mengkaji Islam.[18]Menurutnya Peradaban Islam dapat dikatakan sebagai peradaban teks karena terfokus pada teks (al-Qur’an) inilah peradaban Islam bergulir. Dengan demikian perlu adanya dialektika yang kontinu antara teks (al-Qur’an) dan kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara pesat.
Paparan Abu Zaid di atas diperkuat oleh ungkapan Muhammad Arkoun, yang menyatakan bahwa sebuah tradisi – termasuk Islam yang di dalamnya berlandaskan nilai al-Qur’an – akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara kontinu melalui pengkajian ulang sejalan dengan dinamika sosial.[19]Untuk itulah pemahaman terhadap al-Qur’an dengan berbagai metode sesuai sosial-budaya yang melingkupinya perlu terus dilakukan sebagai inspirasi pemikiran, pergerakan dan perilaku keagamaan. Ia menilai para ulama berlebihan di dalam menyikapi teks, sehingga pada hasilnya membawa pemahaman yang dikotomis antara teks dan realitas. Penilaian yang sakral terhadap teks berdampak pada penafsiran dan pemahamannya, sementara realitas yang ada seringkali dilupakan. Ini melahirkan suatu klaim kebenaran oleh individu, kelompok, atau madzhab tertentu ketika memahami teks.
Di dalam pemahaman teks, ia menggunakan dua pendekatan, yakni semiotika dan hermeneutika. Dua metode pendekatan inilah yang kemudian menghasilkan kesimpulan bahwa al-Qur’an merupakan produk budaya (cultural product, al-muntaz ats-tsaqafi).[20]Inilah yang membuat ia dinilai sebagai tokoh kontroversial sehingga masyarakat Mesir pada awalnya menolak dan sempat hendak mengusirnya, atau bahkan menilai kafir. Sebelum memunculkan kesimpulan tersebut, ia memiliki pandangan tentang dua fase teks al-Qur’an yang menggambarkan dialektika teks dengan realitas sosial budayanya. Fase tesebut ialah (a) fase keterbentukan (marhalah at-Tasyakkul), pada fase ini teks masih mengkonstruksi dirinya secara struktural dalam sistem budaya yang ada; (b) fase pembentukan (marhalah at-tasykil) Pada fase ini terk al-Qur’an membentuk dan mengkonstruk ulang budaya dengan sistem bahasa khusus yang berbeda dengan bahasa induknya yang kemudian mempengaruhi sistem kebudayaan.[21]
Ia mulai mengenal teori-teori hermeneutika ketika "ngaji" di Universitas Pennsylvania, Philadephia antara tahun 1978-1980. Ia mengakui hermeneutika telah membuka cakrawala pemikirannya, di mana ia bersentuhan langsung dengan karya filsafat dan hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks yang ada. Setelah lama berkecimpung dengan literature hermeneutika Barat, Ia lalu membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam kajian hermeneutika.[22]
Al-Qur'an, menurut Abu Zaid adalah Kalam Allah dalam wujud bahasa manusia, ini sebagai tujuan Allah agar maksud dan harapannya dapat dimengerti oleh manusia. Menurutnya, Kalam Allah itu perlu mengadaptasi dengan bahasa manusia, jika tidak maka manusia tidak akan mampu mengetahui maksud Sang Pemberi Kalam itu. Dan sebenarnya al-Qur'an merupakan hasil riwayat Nabi Muhammad saw. Teks al-Qur'an ketika diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Merupakan teks Ilahi menjadi sebuah konsep atau teks manusiawi, karena ia berubah dari tanzil menjadi takwil. Jadi teks al-Qur'an adalah pemahaman Rasulullah saw. Atas apa yang diterimanya dari pewahyuan tersebut.[23]Dengan bahasa lain, bahwa al-Qur'an merupakan produk budaya, budaya Arab kala itu yang dipahami oleh Nabi Muhammad saw. Dari sini dapat dipahami bagaimana Abu Zaid cukup terpengaruh dengan apa yang ditemukannya dalam diri Hermes yang berperan mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang dimengerti manusia. Dan inilah yang dikhawatirkan oleh kalangan Muslim lain yang menolak hermeneutika sebagai metode pemahaman al-Qur'an.
Dengan demikian teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang sama dengan teks-teks lain di dalam budaya, sekalipun asalnya dari Allah. Oleh sebab itu untuk memahaminya tidak diharuskan menggunakan metode khusus dan tertentu yang pada akhirnya akan melahirkan pengkultusan terhadap penafsiran. Inilah yang disebutkan oleh Khaled M. Abou el Fadl sebagai bentuk kelaliman, karena itu akan mengunci teks dalam sebuah makna tertentu.[24]Anggapan inilah yang merubah paradigma pemahaman al-Qur'an klasik yang dikritik oleh Abu Zaid dengan istilah teologis-spekulatif yang disebut sebagai "dialektika turun", yaitu memahami teks berdasarkan sudut pandang penutur teks, sebagai kebalikan dari paradigma baru sebagai bentuk "dialektika naik", yaitu mendekati teks dari realitas empirik serta kulturalnya sehingga lebih obyektif ilmiah.[25]
Abu Zaid mendirikan bangunan metode pemahaman teks - sebagaimana yang dipaparkan oleh Sunarwoto – dengan mengkritik pola penafsiran yang dilakukan oleh Mu'tazilah dengan pendekatan majaz, dan kelompok sufi dengan takwilnya.[26]Pembacaan teks melalui kedua pola tersebut dipengaruhi oleh faktor sosial-politik dan budaya penafsir. Pemahaman semacam ini tetap akan dipengaruhi oleh orang yang menfsirkannya, baik latar belakang keilmuan maupun tradisi yang berlaku pada dirinya. Abu Zaid mengalami kegelisahan akademik ketika menyaksikan wacana keagamaan kontemporer - khususnya di Mesir - dalam menyakapi warisan intelektual keislaman di satu sisi, dan menghadapi gencarnya pembaruan.
Dalam konteks ini apa yang dilalui Abu Zaid sebenarnya dilakukan pula oleh Ali Harb bahwa di kalangan masyarakat Arab-Islam terdapat pola pemahaman yang kontradiktif. Tipe penalaran itu ia sebut dengan nalar eksklusif ('aql mughallaq) yang cenderung membelenggu teks dan menetapkan maknanya dan membatasi metode dari satu sisi saja. Sehingga hasil dari penalarannya dianggap suatu kepastian (absolut) dan berakibat pada munculnya fanatisme buta. Sedangkan tipe kedua adalah nalar insklusif ('aql munfatih)[27]yang memandang teks tidak hanya dinalar melalui satu sisi pandangan semata. Di sinilah akan melahirkan pemahaman bahwa kebenaran dari penalaran itu banyak variasinya karena kemungkinan dari hasil nalar teks memang demikian, adapun sesuatu yang benar tetap satu.
Pemahaman yang menempatkan teks kepada posisi pasif dan pola penalaran eksklusif akan mengubah fungsi teks itu sendiri kepada alat untuk melegitimasi kemauan penafsir dengan berbagai latar belakang dan alirannya, dan menjadikan pemahaman terhadap teks mengalami kemandegan dan tidak produktif. Untuk menghindarkan yang demikian, perlu adanya interaksi antara teks dengan sistem budaya yang ada.
Konsep lain yang dimunculkan oleh Abu Zaid ialah tentang konsep takwil. Takwil bagi Abu Zaid adalah sisi lain dari teks. Takwil menjadi salah satu mekanisme cultural dan peradaban yang cukup penting di dalam menghasilkan pengetahuan.[28]Jika demikian berarti teks merupakan sumber pengetahuan yang dapat dihasilkan dari penalaran dan penakwilan, sedangkan takwil lebih merupakan cara untuk mengeluarkan kandungan pengetahuan yang ada di dalam teks. Takwil dalam pandangan Abu Zaid,[29]adalah upaya pengungkapan makna yang tersembunyi di balik teks (istinbat) dan berbeda dengan tafsir yang dipahami sebagai pengungkapan makna teks berdasarkan pada dalil atau riwayat yang hanya pada tataran eksternal teks.
Sampai di sini tampaknya Abu Zaid tidak membedakan makna tafsir dari kebanyakan ulama tafsir yang memahami kata tafsir sebagai upaya pencarian kandungan teks al-Qur'an berdasarkan tanda atau riwayat yang ada di dalam teks. Ini kemudian lebih dikenal dengan istilah tafsir bi al-ma'tsur. Sedangkan takwil adalah lebih cenderung kepada upaya nalar di dalam memahami kandungan teks al-Qur'an yang disebut tafsir bi ar-ra'yi. Abu Zaid menawarkan pola pembacaan teks kepada beberapa istilah, yaitu (a) takwil untuk mengetahui makna di balik teks yang tersembunyi, ini tidak terbatas pada sisi bahasa, tetapi konteks pemakaiannya serta konstektualitas yang menyelimutinya; (b) talwin (ideologisasi) atau pembacaan tendensius yang cenderung menghasilkan subyektifitas pembaca; (c) pembacaan produktif. Agar pembacaan terhadap teks dapat menghasilkan signifikansi baru dari teks ke dalam realitas budaya pembaca yakni pemahaman baru sesuai social-budaya st pemahaman itu dilakukan berdasarkan makna histories teks, maka perlu diperhitungkan pola pembacaannya, yaitu; (a) teks al-Qur'an dan dinamikanya dalam konteks historisnya sendiri, dan (b) situasi dan cakrawala pembacaan saat ini sesuai konteks histories budaya dan ideologisnya.[30]
b. Muhammaad Syahrur
Sebenarnya apa yang dialami oleh Abu Zaid terdapat kemiripan dengan pengalaman Muhammad Syahrur, seorang Profesor di jurusan Tehnik Sipil Universitas Damaskus dengan latar belakang ilmu mekanika tanah dan teknik pondasi. Ia menunjukkan komitmen dan konsistensinya ketika beralih menekuni studi al-Qur'an. Syahrur – sebagaimana Abu Zaid – mengkritik kelemahan yang dilakukan para penafsir sebelumnya. Ia menilai para penafsir terdahulu tidak ada pijakan metode ilmiah obyektif. Ia berguru kepada seorang ahli linguistik sebagai modal dalam pengkajian al-Qur'an. Pada tahun 1980 ia bertemu dengan dosen linguistic bernama Ja'far Dak al-Bab dalam sebuah organisasi etnis di Uni Soviet. Pertemuan itu membawa ketertarikannya pada studi linguistik, filsafat. Dan studi al-Qur'an. Hasilnya ia mengenal ahli linguistik di lingkungan pemikir Arab seperti al-Farra, Abu Ali al-Farisi, dan muridnya Ibnu Jinni serta Abdul Qahir al-Jurjani.
Untuk menguak pemikiran yang diambil oleh Syahrur dari linguis Arab, Ja'far Dak al-Bab telah memberikan pengantar dalam penerbitan tulisan perdana Syahrur yakni al-Kitab wa al-Qur'an. Ja'far menggabungkan teori Ibnu Jinni dan al-Jurjani, meski tetap dalam jalur linguistik Abu Ali al-Farisi. Pemikiran utama dari pemikiran tersebut adalah; (1) Penggabungan antara studi diakronik al-Jurjani dan sinkronik Ibnu Jinni; (2) Teori Ibnu Jinni yang menyatakan bahwa bahasa tidak terbentuk seketika dan teori al-Jurjani tentang hubungan antara bahasa dan pertumuhan pemikiran merupakan hal yang saling terkait. Dengan demikian bahasa dengan segala aturannya tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan pemikiran manusia. Sedangkan ciri linguistik Abu Ali al-Farisi dapat disimpulkan; (a) bahasa pada dasarnya adalah sebuah system, (b) bahasa merupakan fenomena social dan strukturalnya terkait dengan fungsi transmisi yang melekat pada bahasa tersebut (konteks di mana bahasa itu disampaikan), dan (c) adanya kesesuaian antara bahasa dan pemikiran.[31]
Beberapa pandangan di atas menunjukkan telah terjadi modernisasi dalam pemikiran linguistik di Arab, dan keluar dari pemikiran ortodoks yang menyatakan bahwa bahasa Arab adalah bahasa khusus karena ia adalah bahasa suci, bahasa yang digunakan Tuhan untuk menyampaikan wahyunya, sehingga bahasa tidak terkait dengan pemikiran dan struktus social masyarakatnya. Sekalipun aliran-aliran di atas cukup terkait dengan strukturalisme namun ia telah menunjukkan sikap kritisnya sehingga unsur-unsur historis diterima dalam linguistic tanpa menafikan adanya struktur.
Modernisasi dalam linguistik tersebut membuka peluang bagi Syahrur untuk merumuskan prinsip-prinsip dalam studi al-Qur'an, yakni:
1. Memaksimalkan seluruh potensi karakter linguistik Arab dengan berpijak pada tiga teori pendaulunya, yaitu metode linguistik Abu Ali al-Farisi, perspektif linguistik Ibnu Jinni dan Abdul Qahir al-Jurjani dan syair Arab jahiliyyah.
2. Berdasar pada produk akhir ilmu linguistic modern yang menyatakan bahwa bahasa manapun tidak memiliki karakter sinonim. Sebuah kata dalam koridor historisnya, mengalami dua alterntif proses yaitu akan mengalami kehancuran atau membawa makna baru selain makna asalnya.
3. Jika Islam bersifat relevan pada setiap ruang dan waktu, maka harus dipahami bahwa al-Kitab juga diturunkan kepada kita yang hidup pada abad dua puluh ini. Kitab-kitab tafsir dan fiqh yang dihasilkan generasi terdahulu harus dipandang sebagai interaksi mereka dengan al-Kitab dalam sejarah mereka. Artinya kita perlu merumuskan kembali kajian tafsir dan pemahaman tekstual keagamaan guna menghasilkan fiqh ‘ala’ modern meskipun tanpa harus melupakan hasil kajian ulama terdahulu.
4. Allah tidak perlu memberi petunjuk – berupa al-Kitab – untuk diri-Nya sendiri. Maka Dia menurunkannya sebagai petunjuk bagi menusia. Oleh karena itu seluruh kandungan al-Kitab pasti dapat dipahami sesuai dengan kemamuan akal. Al-Kitab diturunkan dalam sebentuk media yang sesuai dengan kapasitas pemahaman manusia. Media tersebut berupa bahasa (linguistic) Arab murni (al-lisan al-Arab al-Mubin). Tidak ada kontradiksi antara bahasa dan pemikiran, maka tidak ada ayat yang tidak bisa dipahami dan pemahaman terhadap al-Kitab selalu bersifat relatif, histories, dan temporal. Jika terdapat ayat yang tidak mampu ditembus oleh pemahaman manusia, maka fungsi al-Kitab sebagai petunjuk belum dapat dirasakan.
5. Tidak ada pertentangan akal dan wahyu, dan tidak ada pertentangan wahyu dan realitas yang berupa kebenaran informasi dan rasionalitas penetapan hukum.
Tawaran Syahrur di atas mengakibatkan al-Qur’an harus dipahami berdasarkan metodologi ilmiah. Termasuk di dalamnya adalah pendekatan filsafat dengan berbagai cabangnya, dan pendekatan kebahasaan. Syahrur membedakan antara konsep al-Qur’an dengan al-Kitab, menurutnya al-Kitab bukan hasil teks budaya manusia, tetapi merupakan wujud teks al-Kitab. Karena al-Kitab merupakan Kalam Allah, dan Allah bersifat absolut, dan memiliki sifat kesempurnaan, maka Kalam tersebut yang terwujud dalam al-Kitab memiliki nilai absolut. Ini semua berwujud pada teks berbahasa Arab yang merupakan hasil budaya manusia yang tidak lepas dari struktur nalar dan kondisi sosial. Dengan demikian al-Kitab menngandunng unsur absolut ilahiah, sedangkan pemahaman terhadap teks bersifat relatif. Relatifitas dalam pandangan Syahrur ialah kerangka hubungan antara pembaca dengan teks al-Kitab yang berbahasa Arab, dan bukan al-Kitab itu secara hakiki.
Antara Abu Zaid dan Syahrur
Al-Kitab – Syahrur membedakannya dengan al-Qur’an – menurut pemikiran Syahrur bukan merupakan teks budaya dalam pengertian yang dihasilkan oleh manusia, tetapi wujud teks al-Kitab adalah teks berbahasa Arab. Bahasa Arab merupakan hasil budaya masyarakat Arab yang terikat dengan struktur nalar dan sosial masyarakatnya. Sebenarnya sama dengan apa yang disampaikan oleh Abu Zaid yang menyatakan bahwa al-Qurán adalah produk budaya. Suatu pemikiran yang berseberangan dengan kesepakatan ulama di kalangan umat Islam dan seakan menghilangkan nilai kesakralan al-Qur’an. Berbeda dengan Syahrur, Abu Zaid memiliki dalil logika sendiri yang beralasan bahwa al-Qur’an mengalami dua fase yang menggambarkan dialektika teks dengan realitas sosial-budayanya.
Syahrur menyimpulkan bahwa kandungan al-Kitab (al-muhtawa) mengandung unsur ilahiah yang absolut, namun pada sisi pemahaman terhadapnya bersifat manusiawi yang relatif. Manusia tidak diberi kemampuan untuk menangkap seluruh kandungan wahyu yang absolut, untuk itulah Allah telah menurunkan wahyu dengan perantara yang memungkinkan manusia mampu memahaminya yaitu bahasa. Inilah yang dimaksud relatifitas dalam kerangka pemikiran Syahrur dalam kaitannya antara pembaca dengan teks al-Qur’an yang berbahasa Arab.
Hubungan pembaca dengan teks al-Qur’an yang berbahasa Arab mewajibkan adanya ilmu bahasa sebagai sebuah metode penafsiran untuk meyelami makna al-Qur’an. Syahrur menetapkan pemikiran linguistik kontemporer sebagai landasan. Ini sebagai bentuk konsistensi Syahrur tentang temporalitas pemahaman. Syahrur mengajak kita yang hidup di masa kontemporer untuk menggunakan seluruh pemikiran kontemporer sebagai sarana memahami kandungan al-Qur’an. Tetapi tentunya tidak semua teori kontemporer bisa digunakan, dalam hal ini harus disesuaikan dengan kebutuhan.
Syahrur menyadari akan keberadaan al-Kitab, yakni sepanjang zaman dan tempat, untuk itulah ia mengajak umat Islam dalam memahami kandungan al-Kitab itu disesuaikan dengan kondisi zaman dan tempat. Tidak mesti mengekor kepada hasil penafsiran atau pemahaman di masa Rasulullah. Meskipun ketika mengambil pemahaman tidak slah bila merujuk kepadanya. Pemahaman yang dilakukan Nabi Muhammad dan para sahabatnya merupakan contoh hasil pemikiran tentang kandungan al-Qu’an dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang ada kala itu. Persoalan berbeda, tentu cara penyelesaiannya pun berbeda, meskipun hasil pemahamannya bermuara dari satu sumber yang sama. Pemikiran Syahrur di atas dapat dikatakan sama dengan pemaparan Abu Zaid tentang pola pemahaman terhadap al-Qur’an, ia mengajak umat Islam untuk memahami kandungan al-Qur’an harus mendasarkan pada kondisi masyarakat dan juga peradaban bangsa Arab. Karena al-Qur’an yang kita baca sekarang ini – menurut Abu Zaid – merupakan teks budaya yang dipengaruhi oleh perkembangan peradaban Arab pada saat itu, dan selanjutnya ia menuntun menuju satu budaya baru yakni budaya Islam. Atas pemikiran ini pula, Abu Zaid telah dinilai mengingkari aspek sakralitas al-Qur’an, yang menganggapnya sebagai teks manusia (budaya).
Usaha yang dilakukan oleh Syahrur dengan hermeneutikanya – seperti yang dilakukan Abu Zaid, juga menitikberatkan pada linguistik dan hermeneutika, baru kepada konteks sejarah, budaya, sosial-politik, di dalam memahami teks al-Qur’an- berkaitan dengan fiqh Islam pada tema gender, ia menggunakan analisis struktural yang luar biasa terhadap teks al-Qur’an. Ia berbekal linguistik kontemporer mampu menemukan struktur khas teks al-Qur’an dan memandang tidak ada satupun yang bernilai sia-sia. Setelah itu ia menggunakan filsafat dan ilmu pengetahuan kontemporer di dalam menemukan makna totalitas yang dituju oleh teks. Keilmuan kontemporer di maksud misalnya filsafat, sosiologi, antropologi, dan politik, yang ditempatkannya dalam dialektika kritis dengan makna teks untuk menuju pemahaman yang lebih baik. Hasilnya memberi pemahaman bahwa al-Qur’an tidak pernah bertentangan dengan akal atau teori ilmu pengetahuan manapun.
Hermeneutik dalam Perspektif Pengingkarnya
Seiring dengan hegemoni peradaban Barat atas Dunia Islam, hermeneutika-pun mengalami perkembangan lebih jauh lagi, yakni diaplikasikan oleh para intelektual muslim liberal terhadap Al-Qur`an. Pelopornya adalah para modernis (pembaharu) muslim abad ke-19 M, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Ghulam Ahmad Parvez, dan Muhammad Abduh. Pada abad ke-20, dalam dekade 60-an hingga 70-an, muncul beberapa tokoh dengan karya-karya hermeneutika. Hassan Hanafi, Arkoun, Fazlurrahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd disebut-sebut sebagai tokoh-tokoh yang menafsirkan Al-Qur`an dengan metode hermeneutika[33]
Freidrich Scheiermacher dianggap sebagai bapak hermeneutika modern yang juga teolog, mengembangkan hermeneutika sebagai alat untuk mengkaji al-Kitab (Bibel) dengan karyanya Hermeneutics and Criticism, sebuah karya tentang metodologi kritik teks Perjanjian Baru.[34]Para Sarjana Muslim kemudian menilai kemunculannya ini merupakan sarana untuk menumbuhkembangkan gagasan Barat tentang relativisme dan antikemapanan. Satu hal yang cukup amat penting ilalah bahwa itu sebuah metodologi yang tidak menghormati nilai kesakralan, sebagaimana ketika digunakan untuk membongkar Injil, bukan dari sisi pemahamannya saja akan tetapi terjadi pada teksnya juga
Hermeneutika, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah ke analisis konteks, untuk kemudian "menarik" makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian Al-Qur`an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks Al-Qur`an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya
Fahrudin Faiz menyatakan, ketika asumsi-asumsi hermeneutika diaplikasikan pada Ulum Al-Qur`an, ada tiga variabel yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, sudah jelas Ulum Al-Qur`an telah membahasnya secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf Al-Qur`an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabun nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap aspek "konteks" dalam penafsiran Al-Qur`an. Tapi, Faiz menyatakan bahwa kesadaran konteks hanya membawa ke masa lalu. Maka kata dia, harus ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di dalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.[35]
Hermeneutika al-Qur`an seperti yang diuraikan di atas wajib ditolak berdasarkan beberapa alasan berikut :
a. Hermeneutika Produk Orang Kafir
Hermeneutika sebenarnya sejak awal harus dicurigai, karena bukan berasal dari tradisi keilmuan Islam, melainkan dari tradisi keilmuan kafir, yaitu kaum Yahudi dan Kristen, yang digunakan sebagai metode untuk menafsirkan kitab agama mereka (Bible). Allah SWT berfirman (artinya) : "Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (QS Al-Hasyr [59] : 7)
Mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik) ayat itu, adalah "apa yang diberikan selain Rasul kepadamu, maka janganlah kamu terima dia." (wa maa ataakum min ghairi ar-rasuul fa-laa ta’khudzuuhu).[36]Maka jelaslah bahwa hermeneutika yang tidak datang dari Rasul, haram hukumnya diterima oleh umat Islam. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab ra. pernah memegang selembar Taurat. Nabi saw. melihatnya lalu bersabda,"Tidakkah aku telah mendatangkan sesuatu yang terang benderang bagimu, yang tidak tercemar dan tidak rusak. Andaikata Musa saudaraku menjumpaiku, niscaya dia tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti aku." [37]
Jika lembaran-lembaran Taurat saja ditolak oleh Islam, maka lebih-lebih lagi (min baabi aula) metodologi tafsirnya alias hermeneutika. Namun sebagai catatan, Islam membolehkan kita mengadopsi sesuatu dari orang kafir selama tidak mengandung muatan pandangan hidup asing (value-free), seperti sains dan teknologi. Di sinilah makna sabda Nabi saw. : Antum a’lamu bi-umuuri dunyaakum (Kamu lebih tahu urusan-urusan duniamu) (HR Muslim). Adapun segala ide atau benda yang mengandung muatan pandangan hidup asing (value-bond/value-laden), seperti hermeneutika, Islam tidak dapat menerimanya.
Hermeneutika bukan termasuk sains dan teknologi yang bersifat universal, melainkan termasuk dalam peradaban (hadharah) yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan kufur yang bertentangan dengan Islam.
b. Hermeneutika Tidak Tepat Untuk Menafsirkan Al-Qur`an
Barangkali hermeneutika memang cocok (compatible) dengan Bible, yang sudah kehilangan nilai orisinalitasnya dan banyak masalah, seperti kontradiksi ayat dengan ilmu pengetahuan. Hermeneutika dapat diumpamakan tongkat untuk orang buta (cacat). Itu memang cocok dan sudah seharusnya demikian. Contoh, dalam Mazmur (Pasal) 93 ayat 1 tertulis,"Yea, the world is established, it shall never be moved." Ayat ini menerangan bumi tidak bergerak, yakni sebagai pusat tatasurya (geosentris). Ayat ini secara literal bertentangan dengan temuan Copernicus dan Galileo yang menteorikan matahari sebagai pusat tatasurya (heliosentris). Di sinilah hermeneutika diperlukan untuk menafsirkan ayat tadi secara allegoris(kiasan), bukan dalam makna literalnya yang jelas akan menimbulkan kekacauan pemahaman atau bahkan kegoncangan iman Kristiani. Jadi, hermeneutika mungkin memang cocok untuk Bible, seperti halnya kebutuhan orang buta akan tongkat penuntunnya.
Tapi tongkat tidaklah diperlukan untuk orang yang matanya sehat. Al-Qur`an tidak memerlukan hermeneutika. Karena Al-Qur`an masih terjaga orisinalitasnya, dan tidak mengalami masalah-masalah seperti yang dialami Bible. Allah SWT berfirman menegaskan di dalam surat al-Hijr ayat 9 yang menjamin keutuhan dan keamanan al-Qur'an. Jadi menerapkan hermeneutika untuk menginterpretasikan Al-Qur`an, adalah tidak cocok (incompatible).
Menurut Wan Mohd. Nur Wan Daud, hermeneutika teks-teks agama Barat bermula dari masalah-masalah besar, yaitu : (1) ketidakyakinan tentang kesahihan teks-teks tersebut oleh para ahli dalam bidang itu sejak awal karena tidak adanya bukti materiil teks-teks yang paling awal, (2) tidak adanya laporan-laporan tentang tafsiran yang dapat diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan ijma’, (3) tidak adanya sekelompok manusia yang menghafal teks-teks yang telah hilang itu. Ketiga masalah besar yang dialami Bible ini, tidak dialami oleh Al-Qur`an.[38]
Sesuatu yang mengerikan adalah, ada sebagian pemikir liberal yang kemudian mencoba membuktikan bahwa Al-Qur`an juga bermasalah, sebagaimana Bible. Tujuannya supaya penggunaan hermeneutika menemukan alasannya yang rasional. Mereka menggugat otentisitas teks Al-Qur`an yang disebut-sebut sebagai hasil dari hegemoni Quraisy, yang katanya bermotifkan politik belaka. Jelas ini sikap taqlid yang berbahaya. Ini dapat diumpamakan seperti orang yang sebenarnya bermata sehat, tapi ingin memakai tongkat untuk orang buta, supaya keren dan terlihat hebat. Akhirnya orang itu pergi ke rumah sakit untuk membutakan matanya, agar punya alasan kuat untuk memakai tongkat orang buta.
c. Hermeneutika Menguatkan Sekularisme
Dalam praktiknya untuk menafsirkan Al-Qur`an, hermeneutika justru mengokohkan sesuatu yang seharusnya dihancurkan umat Islam, yakni hegemoni sekularisme-liberalisme di Dunia Islam. Sebagai contoh kasus, ingat kembali kasus draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) yang digagas oleh Siti Musdah Mulia. Draft tersebut telah menghasilkan beberapa pasal berbahaya dan kontroversial. Misalnya, mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris laki-laki dan perempuan (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam waktu tertentu alias membolehkan kawin kontrak (pasal 28), menghalalkan perkawinan antar agama secara bebas (pasal 54), dan sebagainya.
Pasal-pasal ini lahir karena metodologi yang digunakan untuk memahami Al-Qur`an adalah hermeneutika. Dengan hermeneutika, ayat-ayat Al-Qur`an ditundukkan pada sejumlah prinsip yang sekaligus merupakan pokok-pokok ide sekularisme. Menurut para penggagas CLD KHI, sejumlah ide yang menjadi paradigma draft itu adalah : (1) kesetaraan gender, (2) pluralisme, (3) hak asasi manusia, dan (4) demokrasi. Dari sini jelaslah pola kerja hermeneutika dalam memperlakukan ayat Al-Qur`an di satu sisi, dengan ideologi Barat di sisi lain. Modus hermeneutika tidak lain dan tidak bukan adalah menyesuaikan Al-Qur`an dengan ideologi Barat, atau praktik ideologi Barat dalam realitas. Ibaratnya, Al-Qur`an sekedar ’makmum’, sementara ’imamnya’ adalah ideologi kapitalisme-sekular. Apapun gerakan dan doa sang imam, makmum wajib mengikutinya dengan seksama, tanpa menyelisihinya apalagi mendahuluinya. Inilah bentuk "sholat jamaah" yang bid’ah dholalah dan munkar yang menjadi pola kerja khas hermeneutika. Kemungkaran keji inilah yang sering mereka sebut sebagai "kontekstualisasi Al-Qur`an" untuk menyesatkan umat Islam.
Hasil akhir dari aplikasi hermeneutika terhadap Al-Qur`an tentu saja bukan untuk kepentingan umat Islam apalagi untuk meninggikan agama Islam. Hasil akhirnya adalah justru untuk menyesatkan umat Islam, menghancurkan agama Islam, dan mengokohkan dominasi sekularisme di Dunia Islam.
Sebuah Kompromi
Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa hermeneutika itu tidak lain adalah suatu metode pemahaman, metode memahami suatu pemahaman yang didasarkan pada beberapa langkah dan ciri khasnya, sebagai sarana untuk menguak kandungan teks tertentu, termasuk teks al-Qur’an. Di dalam menyikapi dua kutub umat Islam yang berkomentar tentang hermeneutika sebenarnya terdapat beberapa cacatan yang dapat diambil, yakni :
1. Benar bahwa hermeneutika merupakan produk Barat, sebagai alat memahami Bibel, akan tetapi tentunya tidak serta-merta harus dicemooh atau dinilai kafir bagi penggunanya, karena bagaimanapun ia hanya sebatas sarana pemahaman. Sebab hermeneutika saat diaplikasikan pada Ulum Al-Qur`an, ada tiga variabel yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, dalam istilah Ulum Al-Qur`an telah dibahas secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf Al-Qur`an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabun nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap aspek "konteks" dalam penafsiran Al-Qur`an. Dan di sinilah perlu ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di dalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.
2. Bagi pengguna heremenutika perlu menyadari bahwa al-Qur’an merupakan suatu Kitab suci yang memiliki nilai sakral ilahiah yang perlu dijaga. Prinsip hermeneutika yang mempertanyakan keorisinalitasan al-Qur’an karena ada ayat dinilai berpihak pada otoritas tertentu, sehingga perlu direduksi – seperti halnya Injil – maka itu perlu ditinjau kembali. Sebab Al-Qur`an masih terjaga orisinalitasnya, dan tidak mengalami masalah-masalah seperti yang dialami Bible.
G. Kesimpulan
Hermeneutika merupakan suatu pola pemahaman teks dari hasil pemikiran manusia. Suatu sarana untuk sampai kepada makna yang terkandung di dalam suatu teks dengan beberapa langkah dan tekniknya. Meskipun dinilai sebagai produk Barat akan tetapi tidak mesti dinafikan, karena dalam Islam dituntut mengembangkan kreatifitas pemikiran manusia. Sebagai hasil kreatifitas pemikiran itu ialah teori hermeneutika yang telah terbukti mampu melahirkan pemahaman baru yang berdampak pada peradaban yang lebih maju. Dalam kaitan dengan pemahaman teks al-Qur’an, penggunaan hermeneutika tidak perlu dikhawatirkan meski akan bermunculan penfasiran berbeda-beda. Ada pepatah mengatakan: “likulli maqal maqam wa li kulli maqam maqal”. Kesadaran akan kemukjizatan dan keorisinalitasan al-Qur’an juga harus tetap dijunjung tinggi.
[1] Roy J. Howard, Hermeneutika; Pengantar Teori-teori Pemahaman Kontemporer, Pent. Kusmana dan MS. Nasrullah, Bandung : Penerbit Nuansa, 2000 : 25.
[2] Damanhuri “Belajar Teori Hermeneutik bersama Betti” dalam Edi Mulyono, (dkk.), Belajar Hermeneutika dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Jogjakarta : IRCiSod, 2012 : 37.
[3] Ahmala, “Hermeneutika : Mengurai Kebuntuan Metode Ilmu-ilmu Sosial” dalam Edi Mulyono, (dkk.), Belajar Heremeneutika : dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Jogjakarta : IRCiSoD, 2012 : 15.
[4] Ilyas Supena, “Hermeneutika Teologis Rudolf Bultmann” dalam dalam Edi Mulyono, (dkk.), Belajar Heremeneutika : dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Jogjakarta : IRCiSoD, 2012 : 100.
[5] U Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009 : 17
[6] Ahmala, “Hermeneutika : Mengurai Kebuntuan Metode Ilmu-ilmu Sosial” dalam Edi Mulyono, (dkk.), Belajar Heremeneutika : dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Jogjakarta : IRCiSoD, 2012 : 15.
[7] E Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, 1999 : 23-24
[8] Ahmala, “Hermeneutika : Mengurai Kebuntuan Metode Ilmu-ilmu Sosial” dalam Edi Mulyono, (dkk.), Belajar Heremeneutika : dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Jogjakarta : IRCiSoD, 2012 : 16.
[9] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, Yogyakarta : Qolam, Cet.II , 2002 : 23
[10] Richard E Palmer, Hermeneutika : Teori Baru mengenai Interpretasi, terj. Mansur Hery, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003 : 15
[11] Richard E Palmer, Hermeneutika : Teori Baru mengenai Interpretasi, : 15-36
[12] H.U. Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual : Usaha Memaknai Kembali Pesan al-Qur’an, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009 : 18
[13] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, Yogyakarta : Qolam, Cet.II , 2002 : 21
[14] Fakhruddin Faiz : 2002 : 22
[15] Sahiron Syamsudin, Hermeneutika Madzhab Yogya, Yogyakarta : Islamika, 2003 : 57
[16] Hans-George gadamer, Kebenaran dan Metode Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad Syahidah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004 : 260
[17] Ahmala, “Hermeneutika : Mengurai Kebuntuan Metode Ilmu-ilmu Sosial” dalam Edi Mulyono, (dkk.), Belajar Heremeneutika : dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Jogjakarta : IRCiSoD, 2012 : 22-23
[18] Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2008 : 87
[19] Abdul Mustaqim mengelompokkan study tafsir kedalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah Tafsir pada Era Formatif dengan nalar mitis. Tafsir pada era ini menjadikan al-Qur’an, Hadis Nabi, qiraat, pendapat para sahabat, kisah-kisah isra>iliyat dan syair-syair jahili sebagai sumber penafsiran. Kelompok kedua adalah Tafsir pada Era Afirmatif dengan nalar ideologis. Era ini terjadi pada Abad Pertengahan, di mana penafsiran lebih didominasi kepentingan-kepentingan politik, mazhab atau ideology keilmuan tertentu sehingga al-Qur’an lebih sering dipakai sebagai legitimasi bagi kepentingan-kepentingan tersebut. Dan terakhir, Tafsir pada Era Reformatif dengan nalar kritis. Era ini dimulai dengan munculnya tokoh-tokoh Islam seperti Sayyed Ahmad Khan dengan karyanya Tafhi>mul Qur’a>n, Abduh dan Rasyid Ridha dengan al-Manar-nya. Baca lebih lanjut Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2008 : 34-111.
[20] Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2008 : 86
[21] Abdul Mustaqim : 87
[22] http://amrinarose13,blogspot.com/2013/03/hermeneutika-dan-teori-kritis.html diunduh pada senin 12 January 2015
[23] Richard E Palmer, Hermeneutiks: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Evanston, III:Northwestern Univ. Press, 1969 : 13
[24] P Ricouer, ‘appropriation’. In J.B.Thomson (ed.), Paul Ricoeur, Hermeneutiks and the Human Sciences, pp. 182-193. Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1981 : 192-193.
[25] Hadi WM, sebagaimana diolah oleh Abdul Wahid BS, Hermeneutika Sebagai Sistem Interpretasi Paul Ricoueur dalam Memahami Teks-teks Seni, Imaji, Volume 4, No (2 Agustus 2006), 210-221
[26] Hasan Hanafi adalah seorang pemikir Muslim kelahiran Kairo yang menyelesaikan program master dan doktoralnya di Universitas Sorbone Perancis
No comments:
Post a Comment