I. PENDAHULUAN
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut, jelas bahwa pendidikan harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa kelemahan yang masih sering dijumpai dalam penginternalisasian pendidikan karakter di sekolah diantaranya, kelemahan dalam aspek proses pembelajaran di kelas, dimana aktivitas peserta didik kurang memberdayakan potensi diri, bakat, dan minat peserta didik. Masih juga sering ditemui pembelajaran yang cenderung kepada guru sentris atau berpusat pada guru. Pengorganisasian pengalaman belajar peserta didik juga menjadi kelemahan tersendiri. Pengelolaan kurikulum juga masih kurang memperhatikan aspek karakteristik peserta didik secara integral dan berjenjang. Selain itu sarana prasarana yang kurang memadai juga dinilai menghambat pelaksanaan pendidikan karakter di Indonesia.[1]
Meskipun permasalahan pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah cukup kompleks, namun berbagai upaya telah dilaksanakan agar pendidikan karakter dapat berjalan dengan maksimal. Makalah berikut akan membahas tentang berbagai usaha sekolah dalam menerapkan pendidikan karakter.
II. PEMBAHASAN
A. Pendidikan Karakter di Sekolah
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.[2]Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen stakeholder (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Pendidikan karakter di sekolah juga didefinisikan sebagai pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah.[3] Dalam definisi ini, terkandung makna bahwa pendidikan karakter terintegrasi dengan pembelajaran pada semua mata pelajaran. Pendidikan karakter diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh dengan didasarkan atas nilai yang dirujuk oleh sekolah.
Tujuan pendidikan karakter adalah meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Pendidikan karakter dalam lingkup nasional dilakukan dalam rangka mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[4]
Mengacu pada grand design yang dikembangkan Kemendiknas pada tahun 2010, secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development[5])yang dapat digambarkan sebagai berikut.
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Budaya sekolah cakupannya sangat luas, umumnya mencakup ritual, harapan, hubungan, demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, proses mengambil keputusan, kebijakan maupun interaksi sosial antar komponen di sekolah. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antaranggota kelompok masyarakat sekolah. Interaksi internal kelompok dan antar kelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam budaya sekolah.
Sasaran pendidikan karakter adalah semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah. Melalui program ini diharapkan lulusan memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan dapat menjadi budaya sekolah. Kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.
B. Prinsip-prinsip Pendidikan Karakter di Sekolah
Pendidikan karakter di sekolah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:[6]
1. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter
2. Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku
3. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter
4. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian
5. Memberi kesempatan kpeada peserta didik untuk menunjukkan perilaku yang baik
6. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses
7. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik
8. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama
9. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter
10. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter
11. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter posisitf dalam kehidupan peserta didik.
C. Strategi Penanaman Karakter di Sekolah
Thomas Lickona memberikan catatan bahwa ada enam unsur yang sangat penting dalam usaha menciptakan budaya moral yang baik di sekolah.[7]Enam unsur tersebut adalah:
a. Kepemimpinan moral dan akademis dari kepala sekolah
b. Disiplin dalam seluruh lingkungan sekolah yang memberi teladan, mendorong, dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral
c. Kesadaran komunitas di seluruh lingkungan sekolah
d. Organisasi siswa yang melibatkan para siswa dalam mengurus diri sendiri dan menumbuhkan perasaan handarbeni terhadap sekolah
e. Sebuah atmosfer moral yang di dalamnya terdapat sikap saling menghormati, keadilan, dan kerja sama yang terwujud dalam semua bentuk hubungan antar individu.
f. Menjunjung arti penting moralitas dengan memberi waktu khusus untuk penanganan masalah moral.
Secara garis besar, pendidikan karakter dilaksanakan melalui dua strategi, yaitu strategi intervensi dan strategi habituasi.[8]Strategi intervensi dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah dikembangkan melalui suasana interaksi pembelajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karakter dengan menerapkan pengalaman belajar yang terstruktur. Agar proses pembelajaran tersebut berhasil guna, peran guru sebagai sosok panutan sangat penting dan menentukan. Strategi intervensi meliputi penguatan nilai-nilai pendidikan karakter bangsa pada pengembangan kurikulum, pendahuluan KTSP, visi dan misi sekolah, mata pelajaran, muatan lokal, pengembangan diri.
Strategi habituasi dilaksanakan untuk menciptakan situasi dan kondisi serta penguatan yang memungkinkan peserta didik pada satuan pendidikannya, di rumahnya, di lingkungan masyarakatnya membiasakan diri berperilaku sesuai nilai yang telah menjadi karakter dirinya, karena telah diinternalisasi dan dipersonalisasi dari dan melalui proses intervensi. Proses pembudayaan dan pemberdayaan yang mencakup pemberian contoh, pembelajaran, pembiasaan, dan penguatan harus dikembangkan secara sistemik, holistik, dan dinamis. Strategi habituasi meliputi implementasi nilai-nilai pendidikan karakter bangsa pada budaya sekolah, peraturan dan pengaturan sekolah/kelas, keteladanan, dan pembiasaan warga sekolah.
Tak dapat dipungkiri bahwa guru memiliki peran yang sangat sentral dalam pembentukan karakter siswa. Lickona mengingatkan bahwa guru dituntut untuk melihat signifikansi moral dari interaksi sosial, bahkan pada hal-hal kecil sekalipun; membayangkan pengaruh jangka panjang dari pengalaman anak-anak di sekolah terhadap nilai dan karakter mereka, serta masyarakat seperti apakah yang kelak akan mereka hadapi.[9]
Pengembangan karakter di sekolah dapat dibagi menjadi empat pilar, yaitu kegiatan pembelajaran di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya sekolah, kegiatan kokurikuler dan atau ekstrakurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah dan masyarakat. Keempat pilar itu dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan karakter dalam pembelajaran
Paradigma lama menganggap bahwa pendidikan karakter merupakan tanggung jawab mata pelajaran agama dan PKn, namun perlahan paradigma semacam ini mulai terkikis. Perlahan mulai muncul kesadaran bahwa pendidikan karakter merupakan ”kewajiban” semua komponen sekolah.
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Prinsip-prinsip yang dapat diadopsi dalam membuat perencanaan pembelajaran (merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian dalam silabus, RPP, dan bahan ajar), melaksanakan proses pembelajaran, dan evaluasi adalah prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual tersebut antara lain:
a. Konstruktivisme
Konstrukstivisme adalah teori belajar yang menyatakan bahwa orang menyusun atau membangun pemahaman mereka dari pengalaman-pengalaman baru berdasarkan pengetahuan awal dan kepercayaan mereka. Seorang guru perlu mempelajari budaya, pengalaman hidup dan pengetahuan, kemudian menyusun pengalaman belajar yang memberi siswa kesempatan baru untuk memperdalam pengetahuan tersebut. Memori siswa akan lebih mudah memahami informasi baru yang mengandung elemen yang telah diketahuinya sebelumnya.[10]
b. Bertanya & diskusi
Penggunaan pertanyaan untuk menuntun berpikir siswa lebih baik daripada sekedar memberi siswa informasi untuk memperdalam pemahaman siswa. Siswa belajar mengajukan pertanyaan tentang fenomena, belajar bagaimana menyusun pertanyaan yang dapat diuji, dan belajar untuk saling bertanya tentang bukti, interpretasi, dan penjelasan. Pertanyaan digunakan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Dengan melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan juga menanamkan pada mereka tentang tanggung jawab dalam keputusan tersebut, seperti menggunakan pertemuan dalam kelas untuk membicarakan tentang suatu kasus moral yang terjadi di sekolah.[11]
c. Inkuiri
Inkuiri adalah proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman, yang diawali dengan pengamatan dari pertanyaan yang muncul. Jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut didapat melalui siklus menyusun dugaan, menyusun hipotesis, mengembangkan cara pengujian hipotesis, membuat pengamatan lebih jauh, dan menyusun teori serta konsep yang berdasar pada data dan pengetahuan. Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis saat mereka berdiskusi dan menganalisis bukti, mengevaluasi ide dan proposisi, merefleksi validitas data, memproses, membuat kesimpulan. Kemudian menentukan bagaimana mempresentasikan dan menjelaskan penemuannya, dan menghubungkan ide-ide atau teori untuk mendapatkan konsep.
d. Komunitas belajar
Komunitas belajar adalah sekelompok siswa yang terikat dalam kegiatan belajar agar terjadi proses belajar lebih dalam. Semua siswa harus mempunyai kesempatan untuk bicara dan berbagi ide, mendengarkan ide siswa lain dengan cermat, dan bekerjasama untuk membangun pengetahuan dengan teman di dalam kelompoknya. Konsep ini didasarkan pada ide bahwa belajar secara bersama lebih baik daripada belajar secara individual.
Siswa belajar tentang moral dengan cara mempraktikkannya. Untuk itu, mereka harus berada dalam sebuah komunitas dimana mereka dapat berinteraksi, menjalin hubungan, menyelesaikan masalah, berkembang sebagai sebuah kelompok, dan belajar langsung dari pengalaman sosial yang mereka rasakan sendiri secara langsung.[12]
e. Pemodelan/keteladanan
Pemodelan adalah proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja, dan belajar. Pada saat pembelajaran, sering guru memodelkan bagaimana agar siswa belajar. Guru menunjukkan bagaimana melakukan sesuatu untuk mempelajari sesuatu yang baru sebagaimana dianjurkan Lickona bahwa guru bertindak sebagai pengasuh, teladan moral, dan pembimbing etis.[13]Keteladanan merupakan cara terbaik untuk mengajarkan moral pada orang lain, karena mencontoh adalah karakter dasar dan awal dari manusia. Profil dan penampilan guru hendaknya dapat membawa karakter kuat pada siswa.[14]
f. Refleksi
Refleksi memungkinkan cara berpikir tentang apa yang telah siswa pelajari dan untuk membantu siswa menggambarkan makna personal siswa sendiri. Di dalam refleksi, siswa menelaah suatu kejadian, kegiatan, dan pengalaman serta berpikir tentang apa yang siswa pelajari, bagaimana merasakan, dan bagaimana siswa menggunakan pengetahuan baru tersebut. Refleksi dapat ditulis di dalam jurnal, bisa terjadi melalui diskusi, atau merupakan kegiatan kreatif seperti menulis puisi atau membuat karya seni. Refleksi moral sangat penting untuk membangun sisi kognitif karakter sehingga mampu membuat pertimbangan moral terhadap perilaku sendiri dan orang lain.[15]
2. Pembentukan budaya sekolah
Salah satu strategi pengembangan pendidikan karakter adalah melalui transformasi budaya sekolah (school culture) dan habituasi. Strategi habituasi karakter melalui budaya sekolah ini dianggap lebih efektif daripada mengubah kurikulum dengan menambahkan materi pendidikan kaarakter ke dalam muatan kurikulum.
Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional menyarankan empat hal terkait pembentukan budaya sekolah. Empat hal itu antara lain:
a. Kegiatan rutin, artinya kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Misalnya, upacara bendera, salam dan salim di depan gerbang sekolah, piket kelas, infaq Jumat, sholat berjamaah, dan lain sebagainya.
b. Kegiatan spontan, meliputi kegiatan spontan dan insidental, misalnya pengumpulan sumbangan korban bencana alam, menjenguk teman yang sakit, takziyah, dan sebagainya.
c. Keteladanan. Perilaku peserta didik timbul karena meniru perilaku dan sikap guru, bahkan tidak hanya guru, melainkan semua warga sekolah, terutama yang lebih dewasa, seperti petugas kantin, satpam sekolah, penjaga, dan lainnya. Segala sikap yang tampak oleh peserta didik akan ditiru, misalnya kerapian dalam berpakaian, kedisiplinan, dan sebagainya.
d. Pengondisian, melalui penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter, misalnya kondisi meja guru yang rapi, toilet bersih, tersedianya tempat sampah, dan sebagainya.
3. Pendidikan karakter dalam kegiatan ekstrakurikuler
Ekstrakurikuler dapat diartikan sebagai kegiatan pendidikan yang dilakukan di luar jam pelajaran tatap muka. Kegiatan tersebut dilaksanakan di dalam dan/atau di luar lingkungan sekolah dalam rangka memperluas pengetahuan, meningkatkan keterampilan, dan menginternalisasi nilai-nilai atau aturan-aturan agama serta norma-norma sosial baik lokal, nasional, maupun global untuk membentuk insan yang paripurna. Dengan kata lain, ekstrakurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar jam pelajaran yang ditujukan untuk membantu perkembangan peserta didik, sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah.
Kegiatan ekstrakurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Melalui kegiatan ekstrakurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
Kegiatan ekstrakurikuler memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Pengembangan, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitas peserta didik sesuai dengan potensi, bakat dan minat.
b. Sosial, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial peserta didik.
c. Rekreatif, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan suasana rileks, mengembirakan dan menyenangkan bagi peserta didik yang menunjang proses perkembangan.
d. Persiapan karir, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kesiapan karir peserta didik.
Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah perlu didukung oleh penggunaan strategi yang relevan dengan situasi dan kondisi sekolah serta perkembangan peserta didik. Pemilihan dan penggunaan suatu strategi pembinaan, akan sangat bergantung kepada faktor penentu sebagai berikut: (a) pemahaman pendidik terhadap kondisi obyektif siswa; (b) tingkat penguasaan kompetensi pendidik; (c) tujuan yang akan dicapai; (d) proses pelaksanaan yang direncanakan; (e) materi kegiatan yang dikembangkan; dan (f) dukungan kelembagaan sekolah, baik berupa tenaga, dana, maupun sarana/prasarana.
4. Keseharian di rumah dan lingkungannya
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pendidikan karakter memang bukan sepenuhnya ranah sekolah dan lembaga pendidikan formal saja melainkan juga dalam ranah keluarga dan lingkungan sekitarnya. Namun sekolah juga dapat mengupayakan program-program yang juga dapat menjangkau keseharian peserta didik ketika berada di rumah dan lingkungannya.
Salah satu contoh penerapan program sekolah yang berlaku di rumah adalah upaya guru untuk membangunkan siswa untuk sholat shubuh melalui cara menelepon peserta didik pada pagi hari sekitar pukul 05.00 WIB. Upaya lain adalah pembiasaan peserta didik untuk mengikuti kegiatan keagamaan di lingkungannya, dibuktikan dengan buku catatan ibadah, sebagaimana telah banyak diterapkan saat bulan Ramadhan. Sekolah (dalam hal ini, guru) juga dapat menstimulus peserta didik untuk aktif dalam kegiatan organisasi di lingkungannya dengan memberikan poin nilai untuk setiap kegiatan yang diikuti.
III. PENUTUP
Secara garis besar, pendidikan karakter dilaksanakan melalui dua strategi, yaitu strategi intervensi dan strategi habituasi. Strategi intervensi dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah dikembangkan melalui suasana interaksi pembelajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karakter dengan menerapkan pengalaman belajar yang terstruktur. Strategi habituasi dilaksanakan untuk menciptakan situasi dan kondisi serta penguatan yang memungkinkan peserta didik pada satuan pendidikannya, di rumahnya, di lingkungan masyarakatnya membiasakan diri berperilaku sesuai nilai yang telah menjadi karakter dirinya, karena telah diinternalisasi dan dipersonalisasi dari dan melalui proses intervensi.
Pengembangan karakter di sekolah dapat dibagi menjadi empat pilar, yaitu kegiatan pembelajaran di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya sekolah, kegiatan kokurikuler dan atau ekstrakurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah dan masyarakat.
Bagaimanapun, sekolah berperan penting dalam pendidikan karakter peserta didik. Oleh karena itu, sekolah diharapkan dapat memaksimalkan peran tersebut sehingga tujuan pendidikan karakter di Indonesia dapat tercapai dengan baik.
[1] Agus Wibowo & Hamrin, Menjadi Guru Berkarakter, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2012, 82-83.
[2] Heri Gunawan, Pendidikan Karakter:Konsep dan Implementasi, Bandung:Alfabeta, 2014, 24.
[3]Dharma Kesuma, dkk, Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2011, 5.
[4]www.puskurbuk.net/ KerangkaAcuan Pendidikan Karakter.
[5] Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama, Jakarta:Kementerian Pendidikan Nasional, 2010.
[6] Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama, Jakarta:Kementerian Pendidikan Nasional,2010.
[7] Thomas Lickona, Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik, terj.Lita S Bandung:Nusa Media, 2013, 415.
[8] Muchlas Samani & Hariyanto, Pendidikan Karakter, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2013, 112.
[9] Thomas Lickona, Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap…120.
[10] Danie Baeulieu, Teknik yang Berpengaruh di Ruang Kelas, terj.Ida Kusuma, Jakarta:Indeks, 2008, 15.
[11] Thomas Lickona, Pendidikan Karakter dalam Pengelolaan Kelas Sekolah, Bantul:Kreasi Wacana, 2014, 170.
[12] Thomas Lickona, Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap… 123-159.
[13] Thomas Lickona, Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap… 110.
[14] Zainal Aqib, Pendidikan Karakter, Membangun Perilaku Positif Anak Bangsa, Bandung: Yrama Widya, 2011, 42.
[15] Thomas Lickona, Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap… 295.
Baca juga : Lirik Mars Penguatan Pendidikan Karakter
Baca juga : Lirik Mars Penguatan Pendidikan Karakter
No comments:
Post a Comment