A. Pendahuluan
Penciptaan Adam sebagai manusia pertama dalam sejarah peradaban umat manusia yang mengamanatkan suatu tata kelola terhadap alam semesta menjadi awal atas munculnya kebutuhan akan pendidikan. Dialog Tuhan dan Malaikat tentang keberadaan Adam sebagai khalifah di bumi merupakan bukti teologis sekaligus menjadi landasan moral bagi manusia untuk mencapai suatu pengetahuan tertentu dalam rangka melaksanakan amanah khalifah yang dibebankan kepadanya. Dengan demikian, pendidikan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan pengetahuan. Pendidikan dalam hal ini berfungsi sebagai pemberi makna atas perjalanan hidup seseorang. Dengan pendidikan, pengetahuan manusia akan meningkat dan dengan meningkatnya pengetahuan seseorang, niscaya derajat dan kedudukannya pun ikut meningkat. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Mujadilah : 11 yang artinya : “…niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”.
Dalam Islam, pendidikan merupakan salah satu kegiatan wajib yang mesti dilakukan oleh setiap muslim sepanjang hayat –long life education-. Ia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia, -meminjam istilah John Dewey- pendidikan telah menjadi “kebutuhan hidup” untuk menunjang eksistensi mereka agar tetap survive. Dengan kata lain bahwa antara pendidikan, proses hidup dan kehidupan manusia adalah kesatuan yang mesti berjalan serempak dan tidak terpisah satu dengan yang lainnya.[1]
Sebagai kebutuhan hidup yang menunjang keseluruhan aspek kehidupan yang terus mengalami perubahan, pendidikan perlu diarahkan kepada terealisasinya relevansi dan kemampuannya dalam menjawab tantangan serta masalah-masalah kemanusiaan. Dalam hal ini, pendidikan memerlukan adanya kajian dan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh, baik secara konseptual maupun operasional, sehingga menghasilkan output yang berdaya saing dan berdaya guna. Corak pengkajian dan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh atau dengan kata lain berpikir secara filosofis terhadap pendidikan mutlak dilakukan, baik terkait dengan landasan ontologis, epistemologis maupun landasan aksiologis dari sebuah pendidikan.
Berpikir filosofis mengandung arti upaya menggali hakekat pengetahuan secara menyeluruh, mendasar dan spekulatif. Menyeluruh mengandung makna bahwa sebuah pengetahuan atau ilmu tidak cukup dikenali dari sudut pandang pengetahuan atau ilmu itu sendiri, melainkan harus didasarkan pada pijakan konstelasi pengetahuan lainnya. Adapun berpikir secara mendasar merupakan aktifitas yang secara fundamen membongkar dan menelusuri kebenaran dari suatu pengetahuan atau ilmu. Corak berpikir semacam ini merupakan upaya mempertanyakan mengapa suatu hal dapat disebut benar, bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan, apakah kriteria itu sendiri benar, dan apakah yang dimaksudkan dengan benar itu sendiri, serta pertanyaan-pertanyaan lainnya yang seperti sebuah lingkaran yang dimulai dari suatu titik awal. Berpikir mendasar artinya mencari titik awal dari suatu pengetahuan atau ilmu tersebut. Sedang spekulatif mengandung maksud tidak adanya kepastian dalam suatu pengetahuan yang hendak dijadikan sebagai pijakan awal di dalam langkah-langkah berpikir.[2]
Dalam kajian filsafat, banyak disiplin ilmu yang telah ditemukan, sebut saja seperti rumpun ilmu-ilmu alam (the natural science), rumpun ilmu-ilmu social (the social science), dan rumpun ilmu-ilmu humaniora. Dalam perkembangannya, ilmu-ilmu alam mengalami perkembangan yang lebih cepat dibandingkan dengan dua rumpun lainnya, yang sedikit mengalami “stagnasi” keilmuan, walaupun pada akhirnya kedua rumpun inipun juga ikut berkembang.
Sebagai bagian dari kehidupan manusia, pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya, dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan hakikat dan ciri-ciri kemanusiaannya.[3] Berangkat dari hal inilah, peran dari sebuah analisa dan pemikiran yang mendalam mutlak diperlukan. Dengan kata lain bahwa sebuah analisa filosofis diorientasikan untuk menjawab persoalan-persoalan pendidikan yang bersifat filosofis pula, yang tidak cukup selesai hanya dengan menggunakan analisa ilmiah semata.
B. Pengertian Ilmu dan Kedudukan Filsafat Ilmu Dalam Kajian Pendidikan
Suatu hal dapat disebut sebagai ilmu jika memenuhi sekurang-kurangnya tiga hal, yakni pengetahuan, aktifitas dan metode. Ketiga-tiganya merupakan suatu kesatuan logis yang harus ada secara berurutan. Pemahaman yang menempatkan ilmu sebagai pengetahuan, aktifitas dan metode, menurut The Liang Gie[4] dapat digambarkan seperti bagan berikut :
|
|
|
Sebagai sebuah aktifitas penelitian, ilmu merupakan rangkaian aktifitas yang membentuk sebuah proses yang bersifat rasional, kognoitif dan teleologis. Proses ini dilaksanakan untuk mencapai pengetahuan, kebenaran, pemahaman, penjelasan, peramalan dan pengendalian, di mana tujuan-tujuan ini harus didasarkan pada prosedur tertentu atau dalam bahsa ilmiah disebut dengan metode ilmiah.[5]
Sebagai sebuah metode ilmiah, ilmu adalah prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau memperkembangkan pengetahuan yang ada. Dalam hal ini langkah-langkah yang dilakukan oleh imu adalah (1) pola procedural yang meliputi pengamatan, percobaan, pengukuran, survai, deduksi, induksi, analisis dan lainnya; (2) tata langkah yang terdiri dari pnentuan masalah, perumusan hipotesis, pengumpulan data, penurunan kesimpulan dan pengujian hasil; (3) berbagai taknik yang berupa daftar pertanyaan, wawancara, perhitungan, pemanasan dan lainny a; dan (4) aneka alat yang meliputi timbangan, meteran, perapian, computer, dan lainnya.
Sebagai pengetahuan sistematis ilmu mengandung arti keterangan-keterangan dan data-data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan yang mempunyai hubungan-hubungan ketergantungan dan teratur. Dalam hal ini, ilmu memiliki ciri-ciri empiris, obyektif, analitis dan verifikatif. Dengan demikian ilmu dapat diartikan sebagai rangkaian aktifitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan atau individu untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan ataupun melakukan penerapan.
C. Perkembangan Teori Pendidikan
Perbedaan pendekatan yang digunakan oleh para ahli filsafat atau para filosof pada rentang waktu tertentu dalam menyikapi suatu obyek permasalahan hidup telah melahirkan berbagai macam pandangan atau aliran, termasuk di dalamnya filsafat pendidikan. Hal ini dikarenakan sifat pemikiran filsafat yang tidak pernah mandeg dan tidak mengenal istilah final, sehingga di dalam percaturan filsafat, sering kali hanya berkisar pada permasalahan serupa, baik sebagai suatu bentuk persetujuan maupun penolakan terhadap kesimpulan yang telah ada.
Dalam sejarah perkembangan pemikiran dunia filsafat pendidikan, secara garis besar pemikiran tersebut dapat dibedakan ke dalam lima aliran pokok yang mencakup pemikiran-pemikirannya terhadap dunia pendidikan.[6] Kelima aliran tersebut adalah :
1. Aliran Progresivisme
Progresivisme adalah aliran filsafat pendidikan yang memiliki pandangan hidup fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh suatu doktrin tertentu), curious (ingin mengetahui, ingin menyelidiki), toleran dan open-minded (mempunyai hati yang terbuka). Aliran ini sangat berpengaruh pada abad ke 20, di seluruh dunia utamanya di Amerika Serikat. Akiran ini menawarkan pembaharuan dalam lapangan pendidikan.
Sebagai sebuah aliran pemikiran, progresivisme baru muncul pada pertengahan abad ke 19. Akan tetapi jika ditarik garis perkembangannya ke belakang, maka pemikiran progresivisme senyatanya telah ada sejak masa Yunani kuno, yakni sejak masa Heraklitus (± 544 – 484 SM), di mana sebagai seorang filosof, dia mengemukakan bahwa sifat yang terutama dari realita adalah perubahan. Menurutnya tidak ada sesuatu yang tetap di dunia ini, kecuali asas perubahan itu sendiri. Hal ini kemudian dikuatkan oleh Socrates (469 – 399 SM) yang berusaha mempersatukan antara epistemology dengan aksiologi. Menurut Socrates, bahwa yang baik dapat dipelajari dengan kekuatan intelek, dan pengetahuan yang baik dapat menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan kebajikan. Selanjutnya Protagoras mengajarkan bahwa kebenaran dan norma atau nilai tidak bersifat mutlak melainkan relative yaitu tergantung kepada waktu dan tempat. Aristoteles menawarkan moderasi dan kompromi (jalan tengah) dalam kehidupan.[7]
Pada masa modern, sejak abad 16 – 19, pemikiran Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant dan Hegel dapat merepresentasikan aliran progresivisme. Francis Bacon memberikan sumbangan dengan usahanya untuk memperbaiki dan memperhalus metode eksperimentil (metode ilmiah dalam pengetahuan alam). Pandangan Locke yang mengatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia ditentukan oleh faktor dari luar dan dari dalam dirinya, yaitu pengalaman baik yang sengaja maupun tidak. Menurutnya pendidikan dapat menentukan jalan hidup manusia.[8] Jean Jacques Rousseu yang menawarkan bahwa kebaikan berada di dalam manusia melulu karena kodrat yang baik dari manusia.[9]Dalam hal pendidikan Rousseu menawarkan tiga pinsip belajar mengajar yang berpusat pada anak didik, pendidikan dan sekolah.[10] Kant memulyakan manusia, menjunjung tinggi akan kepribadian manusia memberi martabat manusia suatu kedudukan yang tinggi. Bagi Kant, kebenaran merupakan pencocokan realitas terhadap intelek.[11] Sedang Hegel mengajarkan bahwa alam da masyarakat bersifat dinamis, selamanya berada dalam keadaan gerak, dalam proses perubahan dan penyesuaian yang tidak ada hentinya.
Pada abad ke 19 – 20, tokoh-tokoh seperti Thomas Paine dan Thomas Jefferson, melalui kepercayaan mereka terhadap demokrasi dan penolakan mereka terhadap sikap dogmatis, telah mengantarkan progresivisme ke pada puncak keberpengaruhannya di Amerika Serikat.
Dalam hubungannya dengan pendidikan, progresivisme tidak dapat dipisahkan dari keyakinan-keyakinan filsafat seperti pragmatism, instrumentalisme, dan eksperimentalisme, di mana untuk merealisasikan tujuan umum pendidikan, yang dalam bahasa John Dewey disebut sebagai warga masyarakat yang demokratis, pelaksanaan pendidikan, mulai dari konten, metode, dan praktik pendidikan harus dilaksanakan secara integratif dan tidak terpisah-pisah antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya.[12]
2. Aliran Esensialisme
Aliran ini muncul pada zaman Renaissans,[13]di mana ia memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas.[14] Hal ini berbeda dengan progresivisme yang lebih menekankan pada aspek fleksibilitas.
Dalam filsafat esensialisme merupakan bagian dari metafisika yang mengakui keunggulan zat. Menurut faham ini, setiap wujud jenis (kebendaan), memiliki kumpulan karakteristik tertentu. Esensialisme adalah generalisasi yang menyatakan bahwa sifat-sifat tertentu yang dimiliki oleh suatu kelompok (orang misalnya, hal-hal, ide-ide) bersifat universal dan tidak tergantung pada konteks.[15] Faham ini memiliki pandangan bahwa anggota kelompok tertentu mungkin memiliki karakteristik lain yang tidak diperlukan untuk membuat keanggotaanya tidak menghalangi keangotaan lainnya, tetapi esensi tidak hanya mencerminkan cara pengelompokan obyek, menghasilkan sifat dari obyek.
Dalam pendidikan, aliran esensialisme tidaklah berdiri sendiri, melainkan ia ikut diwarnai oleh paham-paham dari penganut aliran idealism dan realism. Menurut Imam Barnadib,[16] tokoh-tokoh yang ikut berperan dalam penyebaran aliran ini adalah :
a. Desiderius Erasmus, yaitu seorang humanis Belanda yang hidup antara akhir abad 15 dan permulaan abad 16. Ia menawarkan bahwa kurukulum sekolah harus bersifat humanistis dan internasional, sehingga bisa mencakup lapisan menengah dan kaum aristocrat.
b. Johann Amos Comenius (1592-1670), seorang realis-dogmatis. Ia berpendapat bahwa pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan, karena menurutnya, dunia adalah dinamis dan bertujuan
c. John Locke (1632-1704), seorang tokoh Inggris yang memiliki sekolah kerja untuk anak-anak miskin. Ia berpendapat bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi.
d. Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827) yang memiliki kepercayaan bahwa sifat-sifat alam ini tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya. Menurutnya bahwa manusia juga memiliki hubungan transcendental langsung dengan Tuhan.
e. Johann Friederich Frobel (1782-1852), seorang kosmis-sintetis. Ia berkeyakinan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini, sehingga manusia tunduk dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum alam. Menurutnya anak adalah sebagai makhluk yang berekspresi secara kreatif, yang dalam tingkah lakunya akan Nampak adanya kualitas metafisis. Oleh karenanya tugas pendidikan menurutnya adalah memimpin anak didik kea rah kesadaran diri sendiri yang murni, selaras dengan fitrah kejadiannya.
f. Johann Friederich Herbert (1776-1841), seorang murid Kant, ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari yang Mutlak dalam arti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan. Tujuan pendidikan menurutnya adalah “pengajaran yang mendidik”.
g. William T Harris (1835-1909), seorang tokoh dari Amerika Serikat. Ia berpandangan bahwa pendidikan memiliki tugas untuk mengijinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti berdasarkan kesatuan spiritual. Dalam hal ini, menurut Harris, sekolah berperan sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri kepada masyarakat.
Untuk mewujudkan tujuan umum dari sebuah pendidikan, maka menurut aliran esensialisme, isi pendidikan harus mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Sedangkan kurikulum sekolah menurut aliran ini merupakan miniature dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan.[17]Dalam filsafat pendidikan esensialisme, anak-anak harus belajar mata pelajaran dasar tradisional, yang harus dipelajari secara menyeluruh dan disiplin. Program pengajaran dilaksanakan secara progresif, dari ketrampilan kurang komplek sampai lebih komplek. Adapun materi pengajaran biasanya diarahkan mulai dari membaca, menulis, sastra, bahasa asing, sejarah, matematika, sains, seni dan music.[18]Aliran esensialis bertujuan untuk menanamkan hal-hal penting seperti pengetahuan akademik, patriotism dan pengembangan karakter bagi setiap anak didik.
3. Aliran Perenialisme
Dalam Oxford Learner’s Dictionary of Current English, perennial diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau “lasting for a very long time”-abadi atau kekal. Dalam filsafat, aliran perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang kepada nilai-nilai yang bersifat kekal dan abadi. Aliran ini menawarkan konsep “kembali kepada kebudayaan masa lampau” regressive road to culture untuk mengatasi krisis kemanusiaan yang timbul sebagai akibat dari modernism. Sebagai sebuah aliran flsafat pendidikan, perenialisme bersumber pada dua asas, yaitu perenialisme teologis di bawah ajaran Thomas Aquinas dan perenialisme sekuler yang berpegang pada ide dan cita-cita Plato.
Dalam bidang pendidikan pokok pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi dari pada hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal sehingga ketertiban social hanya mungkin bila ide telah menjadi ukuran. Tujuan pendidikan dalam hal ini adalah membina pemimpin yang sadar dan mempraktikkan asas-asas normative tersebut dalam semuaaspek kehidupan. Menurut Plato, manusia lahir dengan membawa tiga potensi kodratiah, nafsu, kemauan dan pikiran. Maka pendidikan menurutnya diorientasikan pada upaya pemenuhan potensi-potensi tersebut.
Sejalan dengan Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas mengembangkan ide-ide Plato dengan lebih mendekatkan kepada dunia kenyataan. Tujuan pendidikan bagi Aristoteles adalah “kebahagiaan” dan menurutnya untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara seimbang. Sedangkan bagi Thomas Aquinas tujuan pendidikan adalah sebagai usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas. Menurut paham filsafat pendidikan Thomas Aquinas, seorang guru berperan untuk mengajar, memberikan bantuan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya,[19]baik potensi-potensi yang bersifat kejiwaan maupun yang bersifat materi (fisik). Hal ini dipengaruhi oleh pemahamannya tentang manusia. Menurutnya manusia adalah suatu kesatuan yang berdiri sendiri, yang terdiri atas bentuk jiwa dan materi.[20]Dalam pandangannya tentang jiwa, menurutnya, jiwa memiliki lima daya, daya jiwa vegetative, daya jiwa sensitive, daya jiwa yang menggerakkan, daya jiwa untuk berpikir dan daya jiwa untuk mengenal.
4. Aliran Rekontruksionalisme
Latar kemunculan aliran ini sebanarnya sama dengan perenialisme, yaitu untuk mengatasi krisis kehidupan modern, akan tetapi jalan yang ditempuh sedikit berbeda. Dalam rekontruksionalisme, untuk mengatasi problem-problem kehidupan modern, maka perlu dilakukan pembinaan terhadap suatu consensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia, atau disebut dengan restore to the original form. Hal ini sedikit berbeda dengan perenialisme yang lebih mengedepankan pada proses kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal yang telah terpuji ketangguhannya.
Bagi rekontruksionalisme, kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungannya, harus segera didapatkan. Maka bagi aliran ini, lembaga dan proses pendidikan dijadikan sebagai sarana untuk mengubah tata susunan lama dan membangun tata susunanhidup kebudayaan yang sama sekali baru.[21] Para penganut aliran ini berkeyakinan bahwa bangsa-bangsa di dunia mempunyai hasrat yang sama untuk menciptakan satu dunia baru, dengan satu kebudayaan baru di bawah satu kedaulatan dunia, dalam pengawasan mayoritas umat manusia.
5. Aliran Eksistensialisme
Dalam filsafat eksistensialisme merupakan mazhab yang mempunyai prinsip bahwa segala gejala bertolak dari eksistensi, yaitu suatu cara pandang keberadaan dunia dan manusia berada yang membedakan dengan makhluk lain.[22] Aliran ini merupakan reaksi atas peradaban manusia yang hamper punah pasca perang dunia kedua.[23] Mereka bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Keberadaannya sebagai sebuah aliran filsafat berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah sebuah filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.[24]Dalam hal ini eksistensialisme mengandung makna suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis dan tidak ilmiah, ia menolak segala bentuk kemutlakan rasional.
Terkait dengan pendidikan, eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk dan oleh karenanya, bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang ini, tidak dapat diterima. Aliran ini menawarkan sebuah konsep kebebasan yang bukan dipahami sebagai arbitrium liberum di mana hampir semua hal yang mungkin dan mana nilai-nilai yang tidak penting untuk pilihan dan tindakan. Kebebasan eksistensialisme tidak terletak di beberapa jenis ruang abstrak, di mana semuanya mungkin, karena orang bebas, dan karena mereka sudah ada di dunia, maka tersirat bahwa kebebasan mereka hanya di dunia ini, dan bahwa hal itu juga terbatas.[25]
D. Kontriusi Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Pendidikan
Pendidikan adalah upaya-upaya dan keinginan untuk menyampaikan pengertian, pengalaman dan kemampuan generasi terdahulu kepada generasi penerus agar mereka dapat melaksanakan fungsinya sebagai manusia.[26] Dalam pengertian ini, pendidikan memiliki makna sebagai transferof knowledge yang berada di dalam perilaku manusia yang berada di dalam proses belajar mengajar. Pendidikan memiliki makna hakiki, yakni sebagai proses untuk “memanusiakan manusia”. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa pendidikan maka manusia tidak akan menjadi manusia dalam arti sebenarnya, yaitu manusia yang utuh , dengan segala fungsinya, baik fisik maupun psikis.
Dalam sejarah, pendidikan terus mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya manusia dan lingkungannya. Sebuah perkembangan yang melibatkan keseluruhan potensi manusia yang diarahkan untuk menemukan temuan-temuan baru melalui percobaan-percobaan, baik yang dikendalikan oleh pemerintah maupun swasta dengan berbagai pendekatan dan metodologi, di mana muara akhir dari perkembangan pendidikan ini adalah “tercapainya kedewasaan” yakni tercapainya titik optimal dari perkembangan semua potensi manusia yang mencakup fungsi-fungsi individualitas, sosialitas dan moralitasnya.[27]
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology yang secara spesifik mengkaji tentang hakikat ilmu. Ia merupakan bagian dari pengetahuan yang mempunyai karakteristik tertentu. Meskipun secara metodologi, ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu social, namun dikarenakan permaslahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial termasuk di dalamnya pendidikan.
Menurut Jujun S Suriasumantri,[28]filsafat ilmu merupakan suatu telaahan secara filsafat untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat ilmu yang berupa (1) obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? (2) bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut pengetahuan itu sendiri? Apakah kriteianya? Cara/teknik/ sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (3) untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/ professional?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mewakili setiap jenis dari landasan ilmu, di mana kelompok pertanyaan pertama disebut sebagai landasan ontologis, kelompok kedua sebagai landasan epistemologis dan kelompok ketiga sebagi landasan aksiologis. Ketiga landasan ini melekat pada setiap jenis pengetahuan, baik ia berupa ilmu, seni ataupun agama. Dengan demikian sebuah pengetahuan diketahui berdasarkan ketiga landasan tersebut atau dengan kata lain untuk membedakan jenis pengetahuan satu dengan jenis pengetahuan lainnya, maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah : Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontology)? Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologis)? Serta untuk apa pengetahuan tersebut dipergunakan (aksiologis)? Jawaban atas ketiga pertanyaan tersebut akan memudahkan seseorang untuk membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Dengan demikian, jenis-jenis pengetahuan seperti ilmu, seni dan agama mudah dikenali dan diletakkan pada tempatnya masing-masing. Pengenalan setiap ciri pengetahuan secara benar akan menyelamatkan kita dari kesalahan dalam menggunakan ilmu.
1. Pendekatan Ontologi
Pendekatan ontologis biasa juga disebut dengan pendekatan metafisis, ia membiacarakan obyek ilmu, hubungan antara subyek dengan obyek. Pada saat manusia menjawab obyek ilmu, obyek ilmu meliputi obyek material (subyekmatter) dan obyek formal (focus of interst).[29] Obyek material ilmu dapat dibedakan menjadi dua, obyek konkret dan abstrak, dan karenanya, kedua obyek tersebut telah melahirkan dua paham dalam metafisika, yakni realism dan idealism. Paham realism menitikberatkan pada kenyataan dalam obyektivitasnya, oleh karena itu hakikat yang ada adalah materi atau benda. Kenyataan konkret dapat diketahui atau dipahami melalui indra manusia. Sebaliknya idealism berpandangan bahwa kenyataan yang sesungguhnya adalah bersifat rohani atau kejiwaan. Oleh karena bersifat abstrak, kenyataan yang ada dapat dipahami melalui persepsi mental berupa kegiatan berpikir, menalar maupun intuisi. Landasan metafisis ilmu terletak pada obyek, baik konkrit maupun abstrak. Obyek ilmu juga berpengaruh pada subyek untuk menentukan metode apa yang digunakan untuk memahaminya.
Sedangkan obyek formal ontology adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam jumlah, telaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran materialism, idealism, naturalism, atau hylomorphisme.[30] Dalam pendidikan focus kajian dari pendekatan ontologis ini adalah mengenai hakikat pendidikan itu sendiri. Ia mencoba menafsirkan makna pendidikan ini sebagaimana adanya, ia mempertanyakan wujud hakiki dari pendidikan itu, ia juga mempertanyakan bagaimana hubungannya dengan manusia, sehingga muncul ilmu pendidikan.
Dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, pendekatan ini memiliki peranan, di antaranya : (1) mengajarkan cara berpikir cermat dan tidak lelah untuk menjawab persoalan-persoalan yang bersifat teka-teki; (2) adanya tuntutan orisinalitas berpikir untuk mengupayakan penemuan-penemuan baru maupun untuk menguji kebenaran-kebanaran yang pernah ditemukan; (3) memberikan bahan pertimbangan dan pijakan yang kuat terutama dalam pra anggapan; (4) memberikan ruang pada perbedaan visi dalam memahami realitas, sehingga dapat memahami perbedaan pandangan yang muncul dalam mencari solusi problematika.[31]
Lebih khusus lagi, terhadap pendidikan Islam, masalah-masalah yang menjadi perhatian ontologi menurut Muhaimin[32] adalah bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia. Pertanyaan-pertanyaan ontologis ini berkisar pada: apa saja potensi yang dimiliki manusia? Kata fitrah yang ditemukan dalam al-Qur’an maupun al-Hadis apakah sama dengan “potensi” dalam kamus pendidikan secular? Jika keduanya adalah sama, maka Potensi dan/ atau fitrah apa dan dimana yang perlu mendapat prioritas pengembangan dalam pendidikan Islam? Apakah potensi dan atau fitrah itu merupakan pembawaan (faktor dasar) yang tidak akan mengalami perubahan, ataukah ia dapat berkembang melalui lingkungan atau faktor ajar ?
Lebih luas lagi apa hakekat budaya yang perlu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Ataukah hanya ajaran dan nilai Islam sebagaimana terwujud dalam realitas sejarah umat Islam yang perlu diwariskan kepada generasi berikutnya? Inilah aspek ontologis yang perlu mendapat penegasan.[33]
2. Pendekatan Epistemologi
Epistemology, biasanya didefinisikan sebagai cabang ilmu filsafat yang membahas ilmu pengetahuan secara menyeluruh dan mendasar. Ia disebut sebagai theory of knowledge. Epistemology berbicara tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana manusia bisa meraih ilmu. Sementara knowledge atau ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia.[34] Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung maupun tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.
Pada dasarnya, setiap jenis pengetahuan merupakan jawaban atas pertanyaan yang tertentu. Oleh karenanya untuk dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita, maka harus kita ketahui jawaban apa saja yang mungkin bisa diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu, dengan kata lain bahwa kita perlu mengetahui kepada pengetahuan manakah suatu pertanyaan diajukan.
Epistemology dalam hal ini merupakan upaya untuk menyusun pengetahuan yang benar agar dapat memberikan jawaban yang benar sebagaimana yang diharapkan setiap orang yang mengajukan pertanyaan. Landasan yang digunakan oleh epistemology ini kemudian disebut sebagai metode ilmiah. Dengan kata lain bahwa metode ilmiah merupakan cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar.
Setiap jenis pengetahuan memiliki ciri yang spesifik mengenai apa (ontology), bagaimana (epistemology) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontology ilmu terkait dengan epistemology ilmu dan epistemology ilmu terkait dengan aksiologi ilmu. Jadi kalau kita ingin membicarakan epistemology ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontology dan aksiologi ilmu.[35]
Inti pendekatan epistemology adalah mempersoalkan bagaimana proses terjadinya ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya sarana ilmiah, sikap ilmiah, metode, kebenaran ilmiah. Pemikiran merupakan landasan utama dalam melakukan kegiatan ilmiah yang akan menggabungkan kemampuan akal dengan pengalaman dan data yang diperoleh selama melakukan kegiatan ilmiah.[36]
Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan tentang pengetahuan.[37] Dari sini kemudian muncul dua paham, rasionalisme dan empirisme. Paham rasionalisme menekankan pada peranan akal dalam memperoleh pengetahuan. Paham ini berpandangan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah akal dan rasio. Menurutnya syarat suatu pengetahuan dapat dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan adalah yang diperoleh melalui kegiatan akal. Rasionalisme memiliki ciri pokok, pertama, adanya pendirian bhawa kebenaran hakiki secara langsung dapat diperoleh dengan sarana akal dan kedua,adanya suatu penjabaran logis atau deduksi yang dimaksudkan untuk memberikan pembuktian seketat mungkin mengenai seluruh sisi bidang pengetahuan berdasarkan atas apa yang dianggap sebagai kebenaran-kebenaran hakiki.[38]
Idealisme merupakan akar dari paham rasionalisme, mereka menggunakan metode deduktif, akal, apriori dan koherensi di dalam mengembangkan pemikiran mereka. Sebaliknya empirisme menekankan kepada pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Dalam pandangan empirisme, pengalaman manusia meliputi pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman batin yang menyangkut pribadi manusia. Akar dari paham ini adalah realism yang menjadikan metode induktif dalam mencari kebenaran ilmiah. Upaya untuk mempertemukan kedua paham yang jelas-jelas berbeda ini telah dilakukan oleh Emanuel Kant dengan menawarkan paham kritisisme, di mana dalam pandangan paham ini pengetahuan pada dasarnya adalah hasil yang diperoleh adanya kerja sama antara bahan-bahan yang bersifat indrawi yang kemudian diolah oleh akal sehingga terdapat hubungan sebab akibat. Kebenaran ilmiah memerlukan data dan fakta yang akurat kemudian diolah dengan metode ilmiah atau metodologi yang digambarkan sebagai the rule of the game dalam ilmu yang pada dasarnya tidak pernah berakhir.[39]
Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan termasuk pendidikan, setiap manusia memiliki sarana berpikir yang meliputi logika, matematika, statistika dan bahasa. Logika adalah pengetahuan tentang kaidah berpikir atau usaha untuk menarik simpulan melalui kaidah-kaidah formal. Logika mempelajari argument, yakni wacana yang terdiri atas pernyataan simpulan yang ditarik dari dua atau lebih pernyataan yang daligus sebagai isebut premis. Matematika adalah bahasa artifisial yang bersifat cermat dan terbebas dari unsur emosi. Matematika memberikan sifat kuantitatif kepada pengetahuan keilmuan yang sekaligus sebagai sarana berpikir deduktif. Statistika membantu kita dalam penarikan simpulan secara induktif dari fakta-fakta empiris. Adapun bahasa memungkinkan manusia berpikir secara abstrak di mana obyek-obyek factual ditransformasikan menjadi symbol-simbol bahasa yang bersifat abstrak.
Dalam pendidikan, analisis epistemologis dilaksanakan terkait dengan landasan dan metode pendidikan. Di mana tujuan pendidikan adalah manusia, maka oleh karenanya menyentuh filsafat tentang manusia. Pendidikan merupakan kegiatan mengubah manusia sehingga mengembangkan hakikat kemanusiaan. Kegiatan pendidikan dilakukan terhadap manusia dan oleh manusia, yang bertujuan mengembangkan potensi kemanusiaan. Hal ini dapat terjadi jika manusia sebagai “animal educandum, educabile, dan educans”.Epistemology ini dikembangkan oleh Langeveld, seorang Paedagog Belanda.
Dalam kapasitasnya sebagai animal educandum, educabile dan educans, analisis fenomenologis tentang manusia sebagai sasaran tindakan pendidikan telah menempatkan paedagogik (ilmu pendidikan) sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang patut dipertimbangkan. Paedagogik sebagai ilmu pengetahuan melukiskan bahan pengetahuan pendidikan yang bermanfaat untuk melakukan pengajaran ilmu pengetahuan di sekolah.
Dengan demikian, analisis epistemologis dan metode fenomenologi tentang kegiatan pendidikan –menurut Dimyati- telah melahirkan paedagogik sebagai ilmu yang otonom. Sedangkan analisis epistemologi dengan pragmatismenya melahirkan philosophy of education sebagai cabang filsafat khusus. Dari sudut pandang pragmatisme, kegiatan pendidikan bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan; kegiatan pendidikan dipandang sebagai penerapan pandangan filsafat manusia terhadap anak manusia.[40] Implikasinya, dapat diilustrasikan jika manusia dipandang sebagai makhluk rasional, maka kegiatan pendidikan terhadap manusia adalah membuat manusia menjadi makhluk yang mampu menggunakan dan mengembangkan akalnya untuk memecahkan masalah-masalah kebudayaan manusia.
Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data paedagogi (pendidikan anak) dan data andragogi (pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data faktual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai yang normatif tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafat.[41]
Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogik adalah ilmu yang menyusun teori dan konsep pendidikan. Oleh sebab itu setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogik (telaah pendidikan mikro) serta pedagogik praktis dan andragogi (telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafat yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya dan sebagainya.
Menyangkut pendidikan Islam, menurut Muhaimin, pertanyaan-pertanyaan epistemologis yang dikembangkan adalah menyangkut hal-hal berikut: untuk mengembangkan potensi dasar manusia serta mewariskan budaya dan interaksi antara potensi dan budaya tersebut, apa saja isi kurikulum pendidikan Islam yang perlu diberikan? Dengan menggunakan metode apa pendidikan Islam itu dapat dijalankan? Siapa yang berhak mendidik dan dididik dalam pendidikan Islam? Apakah semua yang ada di alam semesta ini, ataukah hanya manusia saja, atau hanya Muslim saja yang dapat mendidik dalam pendidikan Islam?[42]
Pertanyaan-pertanyaan diatas mengarah pada upaya pengembangan pendidikan Islam yang secara mendasar berkaitan dengan persoalan dasar dan sekaligus metodologis. Oleh karena itu jika subtansi pendidikan Islam merupakan paradigma ilmu, menurut Abdul Munir Mulkhan maka problem epistemologis dan metodologis pemikiran Islam adalah juga merupakan problem pendidikan Islam.[43]
3. Pendekatan Aksiologi
Perkembangan ilmu pada akhir-akhir ini telah melampui batas yang dapat diperkirakan oleh manusia di masa-masa sebelumnya. Karena dewasa ini, ilmu telah mampu mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Ilmu tidak saja menimbulkan gejala dehumanisasi, tetapi bahkan kemungkinan dapat mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, karena ilmu tidak lagi hanya sekedar sarana yang membantu manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, tetapi keberadaan ilmu telah mampu menciptakan tujuan hidup itu sendiri.[44]
Menghadapi kenyataan seperi itu, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya. Pertanyaan-pertanyaan ilmu telah bergeser kepada untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Di mana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Dan ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan inti dari pendekatan aksiologis. Ilmu pada umumnya dimaksudkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia atau untuk memanusiakan manusia. Oleh karenanya, dalam hal pendidikan, focus pertanyaan aksiologisnya adalah pengetahuan yang bagaimanakah yang harus dipelajari dalam pendidikan, agar terjadi keseimbangan antara manusia sebagai makhluk social dengan lingkungannya?
Lebih dari pada itu, pendidikan yang didasarkan kepada landasan aksiologis ilmu harus selalu didasarkan pada pijakan nilai-nilai etis dan estetis. Mengingat keberadaanya sebagai fenomena sosial, kultural dan keagamaan, pendidikan tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai. Begitupun halnya dengan estetika yang mempelajari tentang hakekat keindahan, karena keindahan merupakan kebutuhan manusia dan melekat pada setiap ciptaan Allah. Tuhan sendiri Maha Indah dan menyukai keindahan.
Itu sebabnya pendidikan dalam prakteknya adalah fakta empiris yang syarat nilai dan interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat manusiawi. Untuk mencapai tingkat manusiawi itulah pada intinya pendidikan bergerak menjadi agen pembebasan dari kebodohan untuk mewujudkan nilai peradaban manusiawi
E. Penutup
Ilmu merupakan soko guru bagi kehidupan umat manusia, sedangkan pendidikan, baik formal maupun informal adalah sarana untuk meperoleh ilmu. Antara ilmu, pendidikan dan manusia adalah satu kesatuan tunggal, yang jika dipisah-pisahkan akan membentuk suatu bangunan yang tidak utuh. Untuk membentuk suatu bangunan peradaban yang memanusiakan manusia, keberadan ilmu dan pendidikan tidaklah dapat ditawar-tawar.
Sejarah panjang perjalanan ilmu, yakni sejak keberadaan manusia itu sendiri harus terus dilanjutkan dengan berbagai tindakan ilmu, melalui berbagai metode ilmu sehingga mampu menghasilkan produk ilmu yang berdaya guna bagi kelangsungan kehidupan umat manusia. Upaya untuk terus menggali berbagai fenomena dari sudut pandang ilmu tidak boleh berhenti sampai dengan berakhirnya kehidupan itu sendiri, begitu kiranya pesan dari seorang bijak “menuntut ilmu sejak dari dalam kandungan sampai dengan masuk ke liang lahat”.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1995.
Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu ; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993.
The Liang Gie, Pengantar Ilmu Filsafat, Yogyakarta : Liberty, 2004.
Muntu Abdullah, “Jurnal Akutansi, Manajemen Bisnis dan Sektor Publik”, dalam Peran Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Teori Akutansi, Vol. 4 No 1, Oktober 2007, 98-112.
Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat Pendidikan Teknologi, Vokasi dan Kejuruan, Bandung : Penerbit Alfabeta, 2013.
Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, Bandung : Pustaka Setia, 2010.
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1982.
Muhammad Noor Syam, Pengantar Filsafat Pendidikan, Malang : Penerbit IKIP, 1978.
Fernando R Molina, The Sources of Eksistensialisme As Philophys, New Jersey : Prentice-Hall, 1969.
Fuad Hasan, Kita dan Kami, Jakarta : Bulan Bintang, 1974.
Muslim A Kadir dalam Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar atas kerja sama dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1996.
Ahmad Ludjito dalam Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar atas kerja sama dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1996.
Lasiyo, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Hand Out Kuliah Filsafat Ilmu, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2007.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam : di Sekolah, Madarasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005.
http://jhonisamual.blogspot.com/2013/09/filsafat-ilmu-definisi-tujuan-implikasi.htmlSenin, 9 Maret 2015
Ardian Husaini, Filsafat Ilmu ; perspektif Barat dan Islam, Depok : Gema Insani, 2014.
Karl R Popper, Realism anda The Aim of Science, New Jersey : Rowman and Litlefield, 1983.
M. Dimyati, Dilema Pendidikan Ilmu Pengetahuan, Malang : IPTI, 2001.
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah (Yogyakarta: SIPRES, 1993).
[1] Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1995, 2.
[2] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu ; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993, 20-22.
[3] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 11.
[4] The Liang Gie, Pengantar Ilmu Filsafat, Yogyakarta : Liberty, 2004, 90.
[5] Muntu Abdullah, “Jurnal Akutansi, Manajemen Bisnis dan Sektor Publik”, dalam Peran Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Teori Akutansi, Vol. 4 No 1, Oktober 2007, 98-112.
[6] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 19-31.
[7] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 22-23.
[8] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat Pendidikan Teknologi, Vokasi dan Kejuruan, Bandung : Penerbit Alfabeta, 2013, 28.
[9] Zuhairini, dkk. Filsafat…,23.
[10] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…, 29.
[11] Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, Bandung : Pustaka Setia, 2010, 186.
[12] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 24.
[13] Renaissans berasal dari Bahasa Perancis renaissance yang berarti kelahiran kembali. Istilah renaissans merujuk pada berbagai periode kebangkitan intelektual yang terjadi di Eropa, khusunya di Italia sepanjang abad ke- 15 dan abad ke- 16. Istilah ini mulanya dikenalkan oleh seorang ahli sejarah kenamaan, Michelet, kemudian dikembangkan oleh J. Burchardt. Lihat Ayi Sofyan, Kapita…, 62-69.
[14] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 25.
[15] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…, 39.
[16] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1982, 34-40.
[17] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 27.
[18] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…, 43.
[19] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 28-29.
[20] Ayi Sofyan, Kapita…, 175
[21] Muhammad Noor Syam, Pengantar Filsafat Pendidikan, Malang : Penerbit IKIP, 1978, 183
[22] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…,44.
[23][23] Fernando R Molina, The Sources of Eksistensialisme As Philophys, New Jersey : Prentice-Hall, 1969, 1.
[24] Fuad Hasan, Kita dan Kami, Jakarta : Bulan Bintang, 1974, 7-8
[25] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…,53-54
[26] Muslim A Kadir dalam Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar atas kerja sama dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1996, 51
[27] Ahmad Ludjito dalam Reformulasi…, 21.
[28] Jujun S Suriasumantri, Filsafat…, 33-35.
[29] Muntu Abdullah, “Jurnal…, 105.
[30] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…,16.
[31] Lasiyo, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Hand Out Kuliah Filsafat Ilmu, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2007, 2.
[32] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam : di Sekolah, Madarasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005, 65.
[34] Ardian Husaini, Filsafat Ilmu ; perspektif Barat dan Islam, Depok : Gema Insani, 2014, 27.
[35] Jujun S Suriasumantri, Filsafat…,105.
[36] Muntu Abdullah, “Jurnal…, 106.
[37] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…,17.
[38] Lasiyo, Filsafat…, 2.
[39] Karl R Popper, Realism anda The Aim of Science, New Jersey : Rowman and Litlefield, 1983, 103
[42] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madarasah dan Perguruan Tinggi ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 66.
[43] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah (Yogyakarta: SIPRES, 1993), 213.
[44]Wowo sunaryo Kuswana, Filsafat…, 18.
No comments:
Post a Comment