Fenomena yang sama ternyata juga terjadi pada masyarakat pada umumnya sekarang ini. Setiap menjelang waktu berbuka puasa banyak sekali penjual makanan dan minuman menu berbuka. Para penjual tersebut yang menjajakan dagangannya di sepanjang jalan itu sudah tak terhitung lagi banyaknya. Kebanyakan pedagang-pedagang tersebut adalah pedagang musiman yang hanya berjualan ketika bulan suci Ramadhan. Namun anehnya, dari sekian banyaknya pedagang tersebut hampir tidak ada yang tidak laku dagangannya. Semua dagangan laris manis. Hal itu mengindikasikan tingginya tingkat belanja masyarakat, justru di bulan Ramadhan. Bulan yang seharusnya mendidik kita untuk mengekang dan menahan hawa nafsu kita, termasuk juga nafsu yang bersifat konsumtif.
Terkadang kita berpikir hal itu memang sesuatu yang lumrah. Sudah sepantasnya kita memperoleh imbalan yang setimpal. Setelah sepanjang hari menahan lapar dan dahaga, layak kiranya jika kita memuaskan lapar dan dahaga kita dengan makanan dan minuman yang agak “istimewa”. Rasanya kurang afdhal jika berbuka hanya dengan makanan dan minuman yang “biasanya”. Apalagi kita telah bersusah payah seharian dengan tidak makan dan tidak minum, jadi sedikit memuaskan keinginan kita dikala berbuka adalah suatu hal yang wajar.
Menurut saya, jalan pikiran semacam ini kurang bijak. Tujuan puasa adalah untuk mendidik kita agar lebih peka dan punya “rasa” sehingga derajat kualitas kita sebagai hamba Tuhan dan juga makhluk sosial dapat meningkat. Nah, jika setelah waktu berbuka tiba lalu kita kembali menuruti keinginan-keinginan konsumtif kita, dimana pengaruh puasa kita selama seharian itu.
Sering dikatakan bahwa puasa adalah sebuah media pendidikan karakter yang sangat efektif membina karakter hidup seseorang menjadi lebih bersahaja dan lebih bijak. Dengan mengumbar dan menuruti keinginan-keinginan konsumtif semacam itu justru dapat merusak fungsi dari puasa itu sendiri. Puasa menjadi nirnilai. Kita hanya mengekang nafsu kita untuk lalu kita puaskan secara berlebihan diwaktu sesudahnya. Jiwa yang seharusnya kita didik untuk menjadi lebih sederhana akan berubah menjadi pekerja-pekerja yang selalu memperhitungkan imbalan yang didapatkan. Sifat yang kemudian muncul adalah materialistis; karena saya telah berbuat kebaikan maka saya berhak untuk melanggar aturan; karena saya telah membangun yayasan sosial maka saya boleh mencuri uang negara; karena saya telah menyumbang panti asuhan maka mohon dimaafkan jika saya berbuat pornoaksi; dan sebagainya. Jika pemikiran ini dibiarkan saja berlanjut maka akan sulit kita temukan kader-kader bangsa yang memang bersedia mengabdi tulus pada negara dan masyarakat.
Bukankah Allah SWT pernah berfirman dalam sebuah hadits qudsy “ash-Shaoumu li wa ana ajzy bihi” yang artinya “amal ibadah puasa adalah milikKu (Allah) dan Aku sendiri yang akan membalasnya”. Hadits tersebut menunjukkan bahwa puasa (dan juga ibadah yang lain) menuntut adanya ketulusan dan kejujuran. Ibadah puasa yang kita laksanakan hendaknya memang benar-benar kita tujukan kehadirat Allah SWT. Masalah imbalan yang akan kita peroleh, kita serahkan saja pada Allah. Toh Allah adalah Dzat yang Maha Kaya dan Maha Pemurah.
Oleh karena itu, mari kita tempatkan ibadah puasa pada fungsi yang sebenarnya sebagai sarana olah batin kita menjadi manusia bertakwa. Kita tanamkan pada generasi muda bahwa ibadah puasa harus dilandasi dengan semangat kejujuran dan ketulusan. Ingatkan mereka bahwa tujuan utama ibadah hanya pada Tuhan semata, dan hanya Tuhanlah yang paling mengerti bagaimana mengganjar umatnya. Semoga dimasa depan anak-anak didik kita menjadi pemuda-pemuda yang sanggup berbakti pada agama, negara, dan bangsanya dengan tulus ikhlas.
No comments:
Post a Comment