Beberapa pihak telah memperkirakan bahwa tingkat kelulusan siswa dalam Ujian Nasional (Unas) tahun ini akan mengalami penurunan. Dan ternyata, prediksi mereka benar. Tingkat kelulusan siswa SMU/SMK turun sebesar 5 %.
Terlepas dari menurunnya tingkat kelulusan Unas tersebut, bagi mereka yang lulus, berarti mereka telah melewati satu ”fase ketegangan” akibat sistem pendidikan dengan baik. Namun permasalahannya tidak lantas berakhir sampai disitu saja. Mereka harus berhadapan dengan satu ”fase ketegangan” dilematis: melanjutkan ke sekolah atau universitas berkualitas tapi dengan biaya yang selangit; atau melanjutkan ke sekolah/universitas murah tapi kualitasnya pas-pasan. (kalau tidak dikatakan mengecewakan)
Agaknya pepatah Jawa ”Jer basuki mawa bea” memang telah merasuk kuat dalam budaya kita. Memang tak ada yang salah dalam pepatah tersebut, namun setidaknya pemahaman ini telah dijadikan ’dalil pembenar’ bagi mereka yang hendak mengkomersilkan pendidikan kita.
Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah dialog interaktif di salah satu radio swasta, seorang kepala sekolah sebuah SMU di Yogyakarta mengungkapkan bahwa biaya pendidikan di sekolahnya sebagian besar masih ditanggung oleh masyarakat. Sedangkan subsidi dari pemerintah hanya cukup sebagai tambahan saja. Dalam dilaog tersebut juga terungkap bahwa kebanyakan orang tua siswa merasa keberatan dengan banyaknya pungutan dari pihak sekolah. Meskipun pemerintah sudah melarang pihak sekolah untuk menarik pungutan-pungutan terhadap calon siswa baru, namun praktik-praktik seperti itu masih banyak dijumpai di lapangan. Fenomena ini menggambarkan betapa masih banyaknya beban yang harus ditanggung masyarakat.
Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya praktik pungutan pendidikan. Pertama, belum terrealisasinya ketetapan anggaran pendidikan sebesar 20 % dari seluruh APBN. Sebagaimana dalam APBN 2008, anggaran pendidikan hanya sebesar 12 %. Meskipun anggaran tersebut telah mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 11,8 %, namun anggaran itu masih belum sesuai dengan amanat Konstitusi yang menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20 %. Aspek pertama ini akan menimbulkan aspek kedua, berupa buruknya tingkat kesejahteraan para praktisi pendidikan kita. Sehingga disamping harus mengajar, mereka juga harus berusaha memanuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Bagi sebagian sekolah, mereka memang sudah mampu menggaji guru mereka dengan layak sehingga guru dapat berkonsentrasi penuh dalm mengajar. Namun kembali lagi, hal itu mengakibatkan biaya pendidikan yang harus dibayarkan oleh masyarakat menjadi sangat tinggi. Belum lagi jika melihat maraknya berbagai pungutan yang dilakukan pihak sekolah. Makanya jangan heran ketika timbul ketimpangan-ketimpangan output antar daerah, bahkan antar sekolah. Bagi mereka yang mampu membayar lebih, maka pendidikan mereka pun ”bergizi” tinggi. Sedangkan mereka yang tidak mampu, maka harus puas hanya dengan pendidikan yang seadanya.
Oleh karena itu, harus ada perhatian lebih dari pemerintah tentang pemerataan kesejahteraan sekolah/universitas dan guru melalui pemenuhan ketetapan biaya pendidikan sebesar 20 %. Sehingga pendidikan dapat menjalani fungsinya: menciptakan kemudahan dan ketenangan bagi manusia dan bukan malah menimbulkan kesukaran dan kegelisahan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment